Selasa, 09 Desember 2008

Bangka-Belitung

KOMPAS
Jumat, 21 November 2008

Ekstraksi SDA (04)

PARIWISATA DAN SEKTOR KELAUTAN JADI TUMPUAN

Oleh Kenedi Nurhan

“KEGIATAN tambang timah rakyat di Bangka Belitung masih diperlukan. Kalau dilarang atau ditutup sekarang bisa menimbulkan gejolak. Akan tetapi, pemerintah perlu segera bersikap dengan mendorong industri lain sebagai sumber ekonomi pengganti untuk memacu pertumbuhan di daerah ini.”

Johnnie Sugiarto percaya masa depan Bangka Belitung (Babel) tidaklah sesuram gambaran para penganut pandangan pesimistik, bahwa pasca-timah daerah ini akan kelimpungan. Sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri Babel, Johnnie percaya selalu ada ruang berusaha.

“Hanya, memang, jangan terlalu terfokus pada pertambangan,” kata Johnnie, pelaku industri pariwisata lewat Eljohn Group-nya. Di Bangka, Johnnie dikenal luas sebagai pioner mengelola jasa industri pariwisata melalui usaha perhotelan, antara lain di kawasan Pantai Parai Tenggiri (Parai Beach Hotel) dan Sungailiat (Hotel Bangka Permai).

Sebagai daerah yang sudah sejak berabad-abad lampau perekonomiannya ditopang oleh keberadaan komoditas timah, Babel memang sulit lepas dari bayang-bayang masa lalu itu. Sumbangan timah bagi pertumbuhan daerah ini pun tidaklah kecil, baik ketika masih sebagai kabupaten (Bangka dan Belitung) yang tergabung di bawah Provinsi Sumatera Selatan maupun setelah menjadi provinsi sejak 2001.

Catatan statistik memperlihatkan, sumbangan sektor pertambangan dan bahan galian—sebagian besar berasal dari timah—masih tetap jadi andalan. Pada kurun 2000-2005, kontribusinya terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai 18,7 persen. Sedikit di bawah sumbangan sektor pertanian dan kehutanan yang tercatat sebagai penyumbang terbesar, yakni 21,3 persen (www.bangkabelitungprov.go.id).

Bahkan, sebagai komoditas ekspor yang memberi nilai tambah bagi pemerintah Provinsi Babel lewat pajak dan royalti pertambangan, timah tetap yang terdepan. Pada tahun 2004 misalnya, nilai ekspor logam timah mencapai 224, 21 juta dolar AS atau 88,4 persen di antara 15 jenis komoditas perdagangan ekspor dari daerah ini. Jauh di atas komoditas lada putih Bangka yang berada di peringkat kedua, yang “cuma” menyumbang 18,5 juta dolar AS (7,3 persen).

Tahun 2007, andil lada dalam menyumbang devisa memang naik hingga 19 persen, tapi nilai ekspornya hanya bertambah menjadi 24,02 juta dolar AS. Sementara timah tetap sebagai penyumbang terbesar hingga 69 persen, dengan nilai transaksi 873,74 juta dolar AS.

Ketimpangan struktur perekonomian berorientasi ekspor ini memang tidak sehat bagi masa perekonomian masyarakat Babel secara keseluruhan. Sebab, sejak dulu timah hanya dikuasai oleh dua perusahaan besar, yakni PT Timah dan PT Koba Tin.

Sebelum tahun 2000 rakyat bahkan tidak punya akses terkait nilai ekonomi dari timah. Baru beberapa tahun belakangan, setelah reformasi bergulir, masyarakat baru bisa ikut mengais rezeki dengan membuka tambang skala kecil di areal kuasa pertambangan (KP) PT Timah dan atau lokasi kontrak karya (KK) PT Koba Tin yang sudah ditinggalkan.

Sementara tanaman lada, yang—sebelum rakyat beramai-ramai beralih menjadi penambang timah skala kecil—melibatkan hampir separuh dari sekitar 1,1 juta penduduk Babel, sangat fluktuatif. Baik dari luas areal tanam (data tahun 2006 seluas 43.797 hektar) maupun nilai tambah yang diperoleh petani, lantaran harga komoditas ini sangat bergantung pada permintaan pasar luar negeri.

Ketika harga lada di pasaran dunia melambung, bukan saja para petani yang menikmati berkahnya, ekonomi Babel secara keseluruhan pun ikut berdenyut kencang. Akan tetapi, begitu harganya jatuh—seperti sekarang—para petani lada dan masyarakat Babel pada umumnya langsung terkena imbasnya.

Untung masih ada timah! Ungkapan pesimistik ini kerap muncul tatkala harga lada jatuh hingga jauh di bawah biaya produksi. Sementara sektor-sektor usaha lain yang sebetulnya cukup prospektif, taruhlah seperti perkebunan karet, peternakan dan perikanan, belum mendapat tempat dalam tata ekonomi masyarakat kepulauan ini.

Dalam kasus kejatuhan harga lada pada dekade pertama abad ke-21 ini, bersamaan bergulirnya semangat reformasi yang diikuti penerapan otonomi daerah, peluang usaha penambangan timah sedikit dibuka. Pengaruhnya luar biasa. Hanya dalam beberapa tahun, ribuan lubang tambang digali, melibatkan puluhan ribu—bahkan ratusan ribu—warga lokal dan pendatang.

Meski bisa menggerakkan roda perekonomian yang sempat terpuruk, namun dampak ikutannya adalah rusaknya lingkungan akibat tak terkendalinya pembukaan lahan tambang. Dampak lain yang lebih besar dan memprihatinkan, sebagaimana dicatat dalam panduan seminar “Optimalisasi Sumber Daya Alam untuk Membangun Bangka Belitung”, beberapa waktu lalu, berpalingnya rakyat dari mata pencaharian pokok mereka: berkebun lada, karet, dan nelayan.

Lebih lanjut forum seminar mencatat, “Sekarang masyarakat lebih suka menambang, sehingga ada ketergantungan pada timah, dan tanpa disadari semakin hari cadangan timah semakin menipis. Maka, dapat diprediksi apa yang akan terjadi dan dialami masyarakat Kepulauan Bangka Belitung pasca-timah.”

Tidak membumi

Lima belas tahun lalu, bersamaan program restrukturisasi dan rasionalisasi PT Timah, upaya untuk lepas dari ketergantungan pada timah sudah digelorakan. Langkah antisipasi dirumuskan lewat serangkaian seminar dan lokakarya. Puluhan kertas kerja dibahas, ide-ide segar pun bermunculan.

Satu pesan yang mengkristal, seperti juga diulang dalam seminar baru-baru ini, yakni merumuskan apa yang harus dilakukan untuk mengangkat perekonomian Babel pasca-timah. Di antara gagasan itu adalah merancang strategi menjadikan Babel sebagai kawasan berikat dengan zona industri manufakturnya, industri galangan kapal, pusat pariwisata, hingga keinginan membentuk pusat pengembangan agribisnis dan agroindustri.

PT Timah yang kala itu memprediksi pada 2012 cadangan timah di Babel sudah tidak ekonomis lagi ditambang dalam skala besar, menggagas Bangka sebagai “Pulau Maufaktur” dan merancang Manggar di Belitung Timur sebagai pusat industri galangan kapal terbesar di Asia Tenggara. Untuk itu, PT Timah bahkan mendirikan Politeknik Manufaktur di Pulau Bangka

Lima belas tahun kemudian semua seperti jalan di tempat. Politeknik Manufaktur yang digagas Kuntoro Mangkusubroto (Dirut PT Timah kala itu) kini kabarnya akan dilebur ke Universitas Bangka Belitung. Bahkan upaya menjadikan Manggar sebagai industri galangan kapal sudah dilupakan.

Dalam kunjungan Kompas ke Manggar pada awal 1993, besi-besi bekas operasional PT Timah yang bisa dijadikan “bahan baku” awal industri galangan kapal masih terlihat menumpuk, memenuhi kawasan pantai di sana. Pada pertengahan Oktober lalu, pantai Manggar sudah “bersih” dari tumpukan besi bekas. Tak sedikit pun tersisa tanda akan dibangun suatu kawasan industri.

“Pada pertengahan 1990-an ribuan ton besi bekas di sini sudah diangkut oleh perusahaan anak pejabat negeri ini entah ke mana,” ujar seorang pensiunan PT Timah yang kini masih bermukim di Manggar.

Gagasan-gagasan besar itu kini mulai disisihkan. Berbagai kalangan melihat, keragaman potensi ekonomi di Babel lebih cocok dikembangkan dalam skala kecil-menengah. “Dan, keragaman itu harus didorong ke arah pembangunan berbasis komunitas,” kata Johnnie.

Sektor kelautan bersama pariwisata kini jadi tumpuan. Pada saat bersamaan, sektor pertanian, industri, serta perdagangan dan jasa juga perlu difasilitasi pertumbuhannya.

Sebagai provinsi yang berada di “tengah laut”, dengan pulau-pulau mengapung di antaranya, tentu saja bidang perikanan sangat potensial untuk dikembangkan. Pada tahun 2006 saja hasil tangkapan ikan di perairan seluas 65.301 kilometer persegi ini menghasilkan 126.244 ton. Apalagi bila usaha perikanan lebih difokuskan, seperti melalui pengembangan budidaya perikanan skala kecil-menengah serta pendirian industri pengolahan ikan, niscaya upaya yang lebih membumi itu bisa memacu pertumbuhan ekonomi setempat.

“Pembangunan tidak harus dimulai dengan membayangkan segala sesuatu serba megaproyek, serba spektakuler. Kita boleh saja mimpi yang besar, tapi langkah pertama yang kecil-kecil tetap harus dilakukan. Tanpa itu, mimpi besar tak akan terwujud,” kata Johnnie Sugiarto.

Adapun di bidang pariwisata, potensinya untuk dikembangkan menjadi sektor unggulan terbuka lebar. Keindahan pantai dan keragaman budaya merupakan modal utamanya. Memang masih ada hal-hal yang harus dibenahi, seperti infrastruktur dan sumber daya manusia.

“Kami sudah mencanangkan tahun 2010 sebagai tahun kunjungan wisata ke Babel dengan merancang agenda-agenda kebudayaan dan pariwisata,” kata Yan Megawandi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Babel.

Jadi, tunggu apa lagi?

2 komentar:

nuzulul sjahrudin mengatakan...

Salam jumpa...
Sy ckp tertarik dg tulisan bpk & sngt senang dgn visi & misi bpk mengembangkan wisata Babel. Sngt menarik.
Tentang timah, sy tdk setuju dgn pernyataan bhw TI/TR jgn dihapus krn menjd andalan org2 Babel. Sampai kpn Babel terbius dg timah? Sampai kpn Babel mau di-bodohi PT Timah dll? Berbagai riset tlh menyingkap tabir bhw 90% ind pertambangan sngt tdk memihak rakyat lokal! Sejarah membuktikan bhw "bom waktu" TI/TR justru dgn sengaja diciptakan oleh PT Timah! Arogansi & keserakahan sgelintir oknum penguasa & pengusaha tlh membuat Babel mabok timah pak... Ditambah lg dg maklumat Gub yg keblinger itu... Apa gunanya dia jln2 ke LME? Apa Gub tdk tau bhw LME itu hanya markas bg broker/trader timah kelas kakap? Mana peduli mrk dg harga timah? Mana peduli mrk dg warga Babel? Pak, sy bkn org Babel, tp sy sungguh prihatoh dg kondisi kond warga Babel...sadar/tdk sadar Babel tlh menjadikan timah spt "agama kedua" nya! Kasin sekali sy pak. Kt tdk bs berlama2 excuse dg kond ini. Babel hrs memiliki shock therapy agar warganya bangkit dr bius timah yg mematikan ini. Sy punya bbrp opini yg dilain wkt akan sy sampaikan. Tp yg jls, sy salut dg peran bpk selaku trigger wisata di Babel, bravo! Salam... (m nuzulul sjahrudin - mnuzuls@yahoo.co.id)

Lada Putih Bangka mengatakan...

Mohon info lengkap harga Lada Putih Bangka ke saya gan