Minggu, 13 Juni 2010

Muara Enim

Potensi Kepariwisataan
di Muara Enim

• Wisata Pedesaan dan Rekayasa Budaya: Sebuah Gagasan

Oleh Kenedi Nurhan

Menjelang pergantian abad lalu, di saat jutaan orang dengan penuh harap dan cemas berdiri di tubir zaman menyambut kehadiran milenium baru, milenium kedua di awal abad ke-21, kawasan pegunungan dan hutan hujan tropis Peru di Amerika Selatan tiba-tiba jadi begitu terkenal. Para petualang dari berbagai belahan dunia berduyun-duyun datang ke sana, mencari sesuatu yang lebih bersifat metafisik, yakni suatu jalan yang akan menuntun mereka menemukan kebenaran kosmis dan proses transformasi spiritual.

Adalah James Redfield lewat The Celestine Prophecy (Manuskrip Celestine) yang jadi pemicunya. The Celestine Prophecy adalah novel pertama dari trilogi kisah pencarian spiritual yang bertumpu pada keaslian alam yang digarap Redfield, sebelum ia menulis dua novel lainnya: The Tenth Insight (Wawasan Kesepuluh); dan The Secret of Shambhala: In Search of the Eleventh Insight (Rahasia Shambhala: Mencari Wawasan Kesebelas). Sejak itu, hutan hujan tropis Peru tidak saja jadi pusat perhatian mereka yang mulai bosan dengan keriuhan dunia yang serba matrialistik, tapi juga diyakini memendam "kekuatan" luar biasa, yang memberi kemungkinan bagi para pencari wawasan dan energi baru untuk memahami makna kehidupan sesungguhnya di milenium kedua ini.

Novel The Celestine Prophecy itu sendiri berkisah tentang proses pencarian Sembilan Wawasan Kehidupan. Melalui kisah penemuan manuskrip kuno dari masa 600 sebelum Masehi di pedalaman hutan dan pegunungan di Peru, pembaca diajak untuk menelusuri satu demi satu dari sembilan wawasan yang termuat dalam manuskrip, bagai mengupas lapisan bawang sebelum sampai dan menemukan intisarinya.

Berkat kepiawaian Redfield bertutur dan memberi gambaran detail tentang hutan hujan tropis di Peru, yang dipadukan dengan perjalanan spiritual tokoh-tokoh cerita rekaannya itu, rasa ingin tahu banyak orang pun muncul. Lalu, berduyun-duyunlah para petualang memasuki hutan-hutan lebat di sana, terlibat dalam apa yang disebut Redfield sebagai parabel petualangan sambil berwisata, sekaligus menikmati proses kembali ke alam dalam pengertian yang sesungguhnya.

“Ramalan” John Naisbitt dan istrinya Patricia Aburdene (Megatrends 2000) yang mengkonstantir bahwa menjelang abad ke-21 umat manusia akan lebih menitikberatkan pada dimensi spritual menemukan pembenarannya. Dalam The Celestine Prophecy, fenomena kebangkitan spritualisme baru itu ditandai romantisme untuk kembali ke alam, di mana alam dengan segala misteri yang dikandungnya dijadikan semacam wahana sekaligus titik keberangkatan dalam pencarian jatidiri.

Dalam konteks perbincangan kita hari ini, kesadaran baru semacam itu ternyata memberi dampak positif pada dunia kepariwisataan. Ada pelajaran berharga yang patut dipetik. Bahwa, daya tarik alam dan lingkungan tidak semata ditafsir dalam arti sempit: hanya berkutat pada hamparan pasir pantai yang putih, alam pengunungan yang elok, keindahan bawah laut dengan aneka jenis terumbu karang berikut keanekaragaman biota lautnya, ataupun eksotisme budaya masyarakat di satu destinasi wisata. Daya tarik alam dan lingkungan ternyata bisa didekati (baca: dijual) dari dimensi lain, yakni lewat pemaknaan baru dengan menghadirkan “cerita” berikut petualangan tokoh-tokoh parabelnya dalam merajut hubungan antarsesama manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta alam semesta.

Dalam kasus Indonesia, sebelum kemunculan novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata, rasanya nama Pulau Belitung (juga Bangka) tidak banyak dikenal orang selain sekadar pulau penghasil lada dan timah. Akan tetapi, setelah novel pertama dari tetralogi-nya Andrea Hirata [tiga buku lain: Sang Pemimpi (2007), Endesor (2007), dan Maryamah Karpov (2008)] lewat perjalanan hidup tokoh Ikal yang merepresentasikan biografi penulisnya itu sukses di pasaran, persepsi dan pandangan banyak orang terhadap Pulau Belitung ikut bergeser. Belitung ternyata tidak sekadar timah dan lada, tetapi juga ada keindahan yang selama ini seolah tersembunyi berikut “sisa peradaban timah” dengan kelas sosialnya yang pantas ditoleh dan ditengok.

Lebih-lebih setelah Laskar Pelangi diangkat ke layar lebar oleh sineas Mira Lesmana, dengan judul yang sama, keindahan pantai dengan pasir putih berikut batu-batu besar yang terserak di sana tervisualisasikan lebih nyata melalui gambar hidup. Terlepas dari isi cerita novel dan film Laskar Pelangi yang lebih subtil; berbicara tentang situasi pendidikan dan kehidupan sosial masyarakat setempat yang timpang saat timah lagi jaya, sejak itu Belitung makin dikenal justru berkat hamparan pantai pasir putih dan batu-batu besarnya di kawasan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Paling tidak, daya tarik pulau ini yang dihadirkan lewat novel dan film Laskar Pelangi tersebut telah menggugah minat banyak wisatawan lokal untuk berkunjung ke Belitung.

Menikmati Kopi Semendo

Fenomena kepariwisataan yang dipicu oleh kisah rekaan dalam sebuah novel, sebagaimana dua contoh kasus di atas, sesungguhnya bisa jadi semacam inspirasi untuk mengembangkan potensi kepariwisataan yang ada di Kabupaten Muara Enim. Dalam wujud yang berbeda, Muara Enim memiliki cukup banyak potensi yang bisa dikemas untuk ditawarkan sebagai daerah baru tujuan wisata di Tanah Air. Tanpa harus didahului ada buku atau film yang—disengaja atau tidak—“mempromosikan” daerah ini, tanpa mesti diawali “penciptaan” obyek-obyek baru yang berorientasi proyek, langkah ke arah itu tetap bisa dilakukan dengan memberi sedikit sentuhan dan pencitraan baru terhadap obyek-obyek wisata potensial yang sudah ada.

Memang tidak bisa dipungkiri potensi kepariwisataan yang ada di kabupaten ini sesungguhnya juga dimiliki oleh daerah-daerah lain, tetapi hal itu tidak berarti Muara Enim kehilangan daya saing dan daya tarik. Bukankah salah satu alasan utama orang mendatangi suatu obyek wisata adalah terkait faktor keunikan dan suasana baru dan berbeda yang ditawarkan? Berangkat dari kesadaran semacam ini, berarti harus ada upaya “menciptakan” keunikan itu dan bagaimana menghadirkan suasana baru yang membuat wisatawan merasa berada di lokasi yang berbeda dibandingkan daerah tujuan wisata lainnya. Di sinilah perlu sentuhan kecil melalui apa yang disebut proses rekayasa yang bersifat positif, termasuk rekayasa budaya di lingkungan daerah sasaran.

Sejarah mencatat, Muara Enim sudah sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil kopi (Semendo atau Semende), minyak dan gas bumi (Prabumulih dan Pendopo), serta batubara (Tanjung Enim). Tahun 1990, dalam suatu napak tilas menelusuri catatan Tobrink (1864), Knapp (1902), Westenenk, Bosch, dan F Schnitger, tim dari Pusat Arkeologi Nasional menemukan kembali bekas reruntuhan candi di Bumiayu (Tanah Abang), dan kini sebagian dari reruntuhan itu sudah dipugar ulang. Muara Enim juga punya obyek wisata alam air terjun Curug Tenang di Desa Bedegung (Semendo) dan Curug Ambatan (Tanjung Agung), serta wisata arung jeram di Sungai Bedegung.

Melalui pendekatan khusus, obyek-obyek di atas bisa dijadikan tujuan wisata andalan Muara Enim melalui model pengemasan dalam satu paket menarik. Salah satu gagasan yang ditawarkan di sini adalah dengan mengawalinya sebagai bagian dari apa yang disebut wisata pedesaan. Konsep yang paling pas adalah dengan menerapkan model home-stay, rumah tinggal, yang melibatkan keikutsertaan aktif masyarakat setempat. Model ini diharapkan menghasilkan dua tujuan sekaligus: menjadikan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah tujuan wisata, sekaligus melibatkan peran serta dan atau pemberdayaan masyarakat.

Daerah Semendo yang beriklim sejuk dengan daya tarik tanaman kopi arabika-nya yang khas itu pantas dipertimbangkan sebagai pusat pengembangan (baca: percontohan) wisata pedesaan di Kabupaten Muara Enim dengan model home-stay. Menikmati istimewanya harum aroma bunga kopi di pagi dan sore hari niscaya merupakan pengalaman tak terlupakan bagi para wisatawan. Itu baru satu hal. Kehidupan sosial-budaya masyarakat Semendo yang masih memegang teguh adat istiadat dalam keseharian mereka, termasuk adat tunggu tubang-nya, adalah nilai lebih yang bisa dihadirkan sebagai kelengkapan sajian bagi wisatawan. Melibatkan mereka dalam pembuatan barang-barang kerajinan, taruhlah seperti membuat anyam-anyaman macam berunang yang terbuat dari bambu sebagai tempat menampung kopi, juga sensasi lain yang tidak kalah menarik bagi masyarakat kosmopolitan.

Di bawah udara perbukitan yang sejuk, wisatawan bisa diajak menikmati keindahan air terjun Curug Tenang di Bedegung, atau berjalan-jalan (tracking) di jalur khusus yang sengaja dipersiapkan untuk kepentingan menarik wisatawan. Bekerja sama dengan PT Bukit Asam, bisa juga dirancang suatu paket kunjungan ke lokasi tambang batubara di Air Laya, Tanjung Enim, untuk memperkenalkan dari dekat sejarah dan proses penambangan “emas hitam”. Kota Tanjung Enim itu sendiri adalah monumen hidup yang bisa dijadikan obyek wisata sejarah tentang proses terbentuknya suatu kawasan berkat kehadiran aktivitas tambang.

Obyek-obyek kunjungan tadi sifatnya hanya pelengkap. Adapun sajian utama paket wisata pedesaan yang layak dikembangkan di Semendo sebagai daya tarik justru pada “penciptaan” kegiatan pelibatan wisatawan agar mereka bisa merasakan bagaimana sensasi menjadi “petani kopi”. Bukan sekadar penikmat kopi, tapi juga mengalami (walau hanya sesaat: satu-dua hari) berada di kebun kopi. Wisatawan bisa diajak menanam bibit kopi di lokasi percontohan yang sengaja dipersiapkan untuk kepentingan turistik; menyiangi daun dan rerantingan, serta bagaimana memperlakukan tanaman kopi, memetik buah kopi yang sudah matang, hingga diajak menjemur dan memprosesnya secara tradisional untuk dijadikan bubuk kopi yang siap diseduh dan dihidangkan.
Pada malam hari, sesudah makan malam, sembari menikmati sajian kopi khas Semendo, kesenian tradisi yang hidup dan berkembang di Kabupaten Muara Enim (tidak mesti dari Semendo) bisa ditampilkan sebagai suguhan atraktif menjelang istirahat. Waktu 2-3 hari rasanya tidak akan terasa membosankan, bahkan mungkin terlalu pendek dirasakan oleh wisatawan untuk menikmati uniknya “petualangan” singkat di Bumi Serasan Sekundang ini.

Namun, untuk mewujudkan gagasan ini tantangan terbesarnya adalah pada penyiapan sikap dan cara hidup masyarakat yang akan dijadikan daerah tujuan wisata itu sendiri. Menyiapkan lokasi dan tempat home stay tidak terlalu sulit. Pemerintah kabupaten bisa membantu mengalokasikan sedikit dana untuk membenahi rumah-rumah penduduk yang siap dijadikan rumah tinggal bagi calon wisatawan. Termasuk di dalamnya pengadaan sanitasi yang sehat serta tambahan pendidikan dan keterampilan penyediaan makanan yang higienis. Boleh juga membangun rumah-rumah khusus, tetapi jangan terkesan eksklusif, mesti merupakan bagian dari perkampungan. Persoalannya, sudah siapkah masyarakat menerima kehadiran “orang asing” dan memperlakukan para wisatawan itu sebagai bagian dari mereka, sekaligus sebagai tamu yang harus di-“open”-i? Di sinilah tugas pemerintah menunggu.

Jejak Peradaban

Sejarah tentang peradaban umat manusia selalu menarik dan menggugah minat orang untuk mengetahuinya. Tidak heran bila peninggalan sejarah dalam berbagai wujud dan dimensi kegunaannya selalu mendapat tempat dalam dunia kepariwisataan dunia. Sisa-sisa puing bangunan dari masa kejayaan Romawi misalnya, sengaja dipertahankan sebagai bagian dari “atraksi” wisata. Bukan terutama semata karena bentuknya, tapi lebih karena makna kesejarahan yang dikandungnya. Pemerintah Jerman—sekadar menyebut satu contoh kasus—bahkan sengaja membangun ulang kawasan Nikolaiviertel di jantung Kota Berlin, yang porak poranda akibat Perang Dunia II, persis aslinya hanya untuk menandai bahwa di sanalah cikal bakal kota ini ada dan bermula dengan sederet bangunan gaya Romantik dari Abad Pertengahan.

Dalam wujud yang berbeda, sejarah tentang peradaban umat manusia juga bisa ditelusuri jejak-jejaknya di wilayah Kabupaten Muara Enim. Temuan sumur minyak di wilayah Benakat (1870) dan Suban Jeriji (1901) adalah jejak awal industri minyak dan gas bumi di Tanah Air, yang harus diakui telah ikut mewarnai peradaban baru industri-kapitalis dunia. Sejak itu, satu demi satu ladang minyak baru ditemukan di wilayah ini, termasuk di daerah Talang Ubi, Pendopo, yang hingga kini masih beroperasi.

Sebagai bagian dari sejarah peradaban umat manusia, daerah-daerah temuan ladang minyak itu—terutama sumur-sumur yang sudah ditinggalkan, tidak lagi beroperasi—sesungguhnya dapat dikembangkan sebagai obyek wisata khusus. Memang butuh persiapan dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Akan tetapi, ini peluang yang mestinya bisa ditangkap. Jika dikemas dengan baik, khususnya menyangkut bagaimana menghadirkan kisah-kisah penemuan ladang-ladang minyak itu berikut bukti-bukti “arkeologis” yang masih bisa dihadirkan sebagai bagian dari sejarah peradaban bangsa, bukan tidak mungkin “potensi tidur” ini bisa menjadi bagian dari paket wisata menarik di Kabupaten Muara Enim.

Jejak peradaban yang sesungguhnya jauh lebih menakjubkan adalah temuan situs sejarah di wilayah Desa Bumi Ayu. Lebih 20 tahun lalu, dalam sebuah ekspedisi oleh tim kecil dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menapaktilasi catatan Tobrink (1864), Knapp (1902), Westenenk, Bosch, dan F Schnitger tentang tinggalan arkeologi di Sumatera Selatan, di mana penulis berkesempatan ikut di dalamnya, tim hanya menemukan sisa-sisa batu bata dan serpihan antefix (simbar) untuk bagian sudut dan tengah candi, serta sepotong kemuncak yang biasanya ditempatkan pada bagian atap candi di sebuah gundukan tanah yang di atasnya berdiri kantor kepala desa setempat (Kompas, 5 Agustus 1990). Setelah melalui serangkaian penelitian lanjutan, sebagian dari sisa-sisa reruntuhan candi bercirikan perpaduan Hindu-Budha itu kini sudah dipugar. Memang masih jauh dari sempurna. Infrastruktur pendukung yang ada pun belum memadai. Akan tetapi setidaknya tapak sejarah peradaban masa lampau tersebut sudah bisa dijadikan aset wisata budaya.

Meski belum sebanding dengan keberadaan Borobudur dan Prambanan, juga masih kalah populer daripada kompleks percandian di Muara Jambi di Provinsi Jambi, bagaimanapun, jejak peradaban di tepian Sungai Lematang ini memiliki nilai historis yang layak dikedepankan. Bukan tidak mungkin apa yang disebut-sebut sebagai perguruan tinggi Syakiyakirti—tempat ribuan mahasiswa yang ingin memperdalam ajaran agama Budha dari berbagai belahan dunia, di samping Nalanda, India—yang sangat tersohor di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu justru lokasinya adalah bekas reruntuhan temuan candi di Bumiayu tersebut. Mengingat luasnya cakupan wilayah situs candi di kawasan ini, dibarengi asumsi bahwa keberadaan kampus tempat mendidik calon-calon pemimpin spritual mestinya ada di lokasi yang tenang dan jauh dari keriuhan pusat perdagangan di ibu kota Sriwijaya (baca: Palembang), keberadaan sejumlah bangunan pendukung yang terpencar-pencar di kawasan situs ini boleh jadi adalah asrama para biksu dan pelajar yang tengah menuntut ilmu,

Dengan dukungan fakta dan bukti-bukti arkeologis, persoalannya tinggal bagaimana menempatkan hasil rekonstruksi sejarah masa silam itu dalam bingkai cerita masa kini yang menarik. Sebagai obyek wisata budaya, sesungguhnya bukan semata-mata nilai fisik bangunan sejarah itu sendiri yang menarik untuk diketahui dan dikunjungi, tetapi tidak kalah penting adalah nilai ekstrinsiknya berupa pemaknaan atas fisik bangunan. Tanpa pemaknaan atas obyek sejarah yang ingin dipromosikan, tanpa ada upaya untuk meletakkan obyek-obyek tersebut dalam pesan yang sengaja direkonstruksi dan diaktualkan dengan kondisi masa kini, maka keberadaan sisa-sisa peradaban masa lampau itu tidak ubahnya sekadar lukisan sejarah yang hampa makna kesejarahannya.

Epilog

Berangkat dari kesadaran bahwa potensi kepariwisataan di Muara Enim tidaklah terlalu istimewa, dalam arti apa yang ada di daerah ini sesungguhnya juga ada tempat lain, maka harus ada upaya untuk menghadirkan nilai lebih terhadap potensi-potensi yang dimiliki tersebut. Persoalannya adalah bagaimana menghadirkannya agar menjadi lebih menarik, unik, dan khas, sehingga layak untuk dikunjungi.

Dalam konteks ini, dua contoh kasus di awal tulisan ini menjadi relevan untuk dipikirkan lebih lanjut. Mencermati fenomena di kalangan para pelancong yang tidak semata-mata berpergian untuk mendatangi obyek-obyek wisata alam yang serba eksotik, atau mendatangi kota-kota besar tertentu untuk berbelanja aneka produksi industri kapitalistik sekadar memuaskan nafsu konsumtif mereka, tetapi di sisi lain tidak sedikit wisatawan yang lebih berorientasi untuk mencari pengalaman baru di tengah atmosfer alam kehidupan yang berbeda. Kemunculan para backpackers, yang mendatangi tempat-tempat terpencil dengan modal seadanya hanyalah salah satu contoh. Namun, tidak sedikit di antara orang-orang yang mapan juga mulai menyukai wisata petualangan hanya untuk mendapat sesuatu yang baru di luar kebiasaan wisatawan kaya pada umumnya. Bersama keluarga atau kerabat dan teman-teman sepandangan, mereka mendatangi titik-titik tujuan wisata yang tidak umum, bahkan hingga ke tempat-tempat terpencil sekalipun.

Wisata pedesaan yang dikemas dalam paket-paket kecil, seperti gambaran di atas, barangkali bisa mewadahinya. Di luar pengembangan obyek-obyek wisata yang sudah masuk dalam perencanaan selama ini, pengembangan wisata pedesaan yang berbasis masyarakat rasanya juga layak dikembangkan di Kabupaten Muara Enim. Potensi itu ada, tinggal memberi sedikit sentuhan dan tambahan infrastruktur yang memadai. Sesudahnya? Tinggal menggarap model pemasaran yang cocok untuk jenis kepariwisataan semacam ini. ®

Tulisan ini disajikan dalam "Seminar Wisata dan Investasi (di) Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 10 Juni 2010, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta.

Baca Selengkapnya..

Rabu, 19 Agustus 2009

WILAYAH PERBATASAN

KOMPAS
Jumat, 14 Agustus 2009

Nasionalisme
MELIHAT INDONESIA
YANG (KIAN) ASING

Oleh Kenedi Nurhan

Selarut itu, telepon genggam Said Parman masih saja berbunyi. Meski tak sampai mengganggunya menikmati “pesta” durian—untuk menjamu sahabat-sahabatnya dari Jakarta—di kawasan Batu-9, Kota Tanjung Pinang, Pulau Bintan, namun bunyi telepon genggam itu tetap saja membuat ia terlihat sedikit sibuk.

“Malam ini akan ada lagi serombongan TKI yang dipulangkan dari Malaysia,” kata Said, sejurus setelah menutup percakapan dengan si penelepon, sembari mencomot ‘sebutir’ durian.

Tak lama berselang telepon genggam itu kembali berbunyi. Kali ini percakapan tidak berlangsung lama. Setelah informasi teknis mengenai tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi dari Malaysia tersebut diterima, baik menyangkut jumlah (laki-laki dan perempuan) maupun jam kedatangan, perintah pun meluncur. “Seperti biasa, tolong diatur segala sesuatunya,” ujarnya memberi instruksi melalui telepon seluler.

Sebagai Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, tanggung jawab penanganan TKI bermasalah (baca: ilegal) yang dipulangkan melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura kini ada di pundaknya. Pemerintah telah menetapkan Tanjungpinang sebagai daerah transit bagi pemulangan TKI bermasalah dari Tanah Semenanjung, sebelum mereka dikembalikan ke daerah asal masing-masing.

“Tanggung jawab kami selesai bila mereka sudah dinaikkan ke kapal Pelni yang akan berangkat menuju Tanjung Priok (Jakarta) atau Tanjung Perak (Surabaya). Selama menunggu jadwal kedatangan kapal dari Belawan (Medan), Pemerintah Kota Tanjung Pinang yang harus menampung dan ngopeni mereka,” tutur Said Parman.

Sejak Pemerintah Malaysia menempuh kebijakan mendeportasi TKI bermasalah, tahun 2004, tercatat sudah 194.373 TKI yang harus ditangani oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang. Setelah sempat menyusut sepanjang tahun 2005, dari 69.081 (2004) menjadi “hanya” 10.752 orang, arus pemulangan itu kini kembali meningkat. Dari 23.907 pada tahun 2006 menjadi 34.995 (2007) dan 35.285 orang pada 2008. TKI bermasalah itu umumnya berasal dari Jawa, Lombok, dan Flores.

"Sekarang, dalam seminggu tercatat 4-5 trip—kadang sampai enam trip—kapal yang mengangkut TKI bermasalah dari Malaysia. Tiap trip memuat 150-160 orang. Selama semester 2009 saja sudah tercatat 20.373 TKI bermasalah yang umumnya dikirim dari Pelabuhan Johor ke sini,” tutur Said seraya menambahkan, “Agar tidak jadi tontonan masyarakat, kini diatur agar kedatangan kapal yang mengangkut TKI bermasalah itu tiba di sini tengah malam.”

Pelintas batas

Boleh jadi, inilah sisi lain dari risiko yang harus ditanggung oleh daerah yang berada di wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Seperti halnya kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, beberapa lokasi di Kepulauan Riau—termasuk Tanjung Pinang—jadi titik keberangkatan para pencari kerja ke Malaysia yang masuk ke sana secara ilegal. Begitu pun sebaliknya.

Di sinilah kepentingan lokal bertemu dengan kepentingan yang, meminjam istilah antropolog Iwan Meulia Pirous, mengusung identitas politik nasional. Dalam kasus terkini, “pertemuan” itu tergambar lewat kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan Tanjung Pinang sebagai tempat transit—untuk tidak menyebutnya (maaf) pembuangan—TKI bermasalah dari negara tetangga tersebut.

Posisi Kepulauan Riau yang berada di perbatasan dengan Malaysia dan Singapura sebagai penyedia kesempatan kerja, hanya dipisahkan laut dan selat, membuat daerah ini menjadi semacam pasar tempat bertemunya berbagai suku bangsa dari luar. Di sisi lain, pengembangan Pulau Batam sebagai kawasan industri terpadu—yang dirintis sejak akhir 1970-an—juga ikut memicu kehadiran para pencari kerja yang ingin mengadu nasib dan peruntungannya di kawasan ini.

Semua itu berawal dari kepentingan ekonomi. Akan tetapi, implikasinya merembet ke mana-mana, terutama menyangkut aspek kehidupan sosial-budaya masyarakat yang tinggal di sini. Daerah perbatasan seperti Kepulauan Riau pun menjadi semacam ruang sosial sekaligus ruang publik yang dipenuhi orang dari berbagai suku, dengan segala tingkah-polah dan adat istiadatnya.

Ruang publik yang kian sesak itu makin rumit tatkala bersentuhan dengan realitas sosial-budaya masyarakat lokal, atau penduduk tempatan menurut istilah mereka. Ada rasa gamang pada warga tempatan menyongsong perubahan yang terjadi di kawasan ini.
Menjadi TKI ke Malaysia dan Singapura bukanlah pilihan. Sebaliknya, untuk masuk ke dunia industri yang berkembang pesat di Pulau Batam, mereka kalah bersaing dengan para pendatang. Sementara tradisi berdagang dan nelayan yang sudah digeluti oleh leluhur mereka selama berabad-abad, kini sudah kehilangan ruang, tergusur oleh perkembangan di kawasan ini yang tidak berpihak kepada mereka.

Dulu, perdagangan lintas batas (ke Malaysia dan Singapura) banyak ditekuni oleh orang-orang Melayu yang mendiami pulau-pulau di kawasan ini. Dari sini mereka membawa beragam hasil bumi, seperti kopra, lada, gambir, dan karet. Ketika pulang, muatan perahu motor mereka diisi bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan terigu.

Alat tukar yang berlaku bukan rupiah, tapi ringgit Malaysia atau dollar Singapura. Pada masa konfrontasi dengan Malaysia, di tahun 1960-an, intensitas perdagangan lintas batas memang agak tersendat, namun dengan satu dan lain cara aktivitas tetap berlangsung. Bahkan, ketika itu alat tukar bertambah dengan beredar KR rupiah, mata uang lokal yang khusus berlaku di kawasan ini.

Meski dalam skala kecil, model perdagangan lintas batas ini sangat dirasakan manfaatnya. Masyarakat relatif hidup makmur untuk ukuran kala itu. Usai masa konfrontasi, di awal masa pemerintahan Orde Baru sebetulnya perdagangan lintas batas sempat berputar kembali, tetapi kemudian surut setelah lalu lintas laut di wilayah perbatasan diperketat.

"Tradisi berdagang orang Melayu kini punah, seperti yang dapat disaksikan di daerah Riau kepulauan sekarang. Ketika mereka tenggelam dalam dunia yang tidak begitu menguntungkan secara ekonomi, tiba-tiba mereka seperti dihentak oleh hadirnya proyek-proyek industrialisasi di Batam, kemudian di Bintan. Sayangnya, peluang untuk terlibat di dalamnya masih sulit, jauh di atas kemampuan mereka,” kata Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Ketika tampil dalam dialog kesejarahan Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati Manan berharap suatu saat model perdagangan lintas batas ini bisa dihidupkan kembali, tanpa harus terikat aturan yang terlalu ketat. “Aktivitas itu sangat membantu masyarakat bawah,” katanya.

Dipinggirkan

Sudah jadi pengetahuan umum, penduduk di wilayah perbatasan umumnya miskin. Tak terkecuali di Kepulauan Riau. Di luar Batam dan Bintan, mereka yang tinggal di lebih 300 pulau di kawasan ini bahkan hidup dengan sarana dan prasarana umum yang masih amat terbatas.
Di banyak tempat, infrastruktur dasar masih jauh dari memadai. Akses mendapat pendidikan berkualitas, juga layanan kesehatan, ibarat masih jauh panggang dari api. Kesejahteraan pun jadi barang langka.

"Infrastruktur tentunya tidak harus diukur dari kemewahan seperti ketersediaan hotel-hotel, tapi sejauh mana kepentingan masyarakat terpenuhi sehingga mereka sejahtera,” ujar Iwan.

Meski akses kultural dan ekonomi dengan sedulur mereka di Tanah Semenanjung sudah terjalin lama, jauh sebelum Indonesia merdeka, namun realitas sosial ini sepertinya dinafikan oleh pemerintah (pusat) dalam penanganan masalah di perbatasan. Wilayah perbatasan yang memiliki karakteristik khas, baik dari aspek sosial-kemasyarakatan maupun secara budaya, selama ini kurang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan yang akan diterapkan.

Kecenderungan untuk mengedepankan pendekatan keamanan masih kental. Segala sesuatu lebih dilihat dari sudut pandang kepentingan pusat (baca: Jakarta). Aspirasi masyarakat lokal tak disertakan dalam skenario besar pembangunan di kawasan ini, seperti terlihat dari gagasan kerjasama segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau (Sijori).

Tapi, yang terjadi, warga malah diposisikan sebagai pelengkap, tanpa dibukakan akses seluas-luasnya untuk bisa ikut menikmati buah dari kemerdekaan. Sebaliknya, kekayaan alam di wilayah perbatasan ini terus dieksploitasi untuk kepentingan pusat.

Minyak, timah, bauksit, hutan bakau, dan pasir dikuras tanpa memberi manfaat berarti bagi mereka yang tinggal di sekitarnya. Bahkan, kawasan hutan dan pantai pun, taruhlah seperti daerah Sebong Lagoi di Bintan Utara, “dijual” kepada investor untuk memfasilitasi turis-turis dari Singapura melepas lelah setiap akhir pekan.

Berbagai kebijakan pemerintah pusat dalam “membangun” wilayah ini, di mata masyarakat tempatan, justru membuat mereka makin tidak paham apa yang sesungguhnya ada di benak perencana pembangunan di Jakarta. Pertanyaan mereka sederhana: semua itu untuk apa dan untuk siapa?

Kalau Jakarta bisa dianggap representasi sosok Indonesia, maka berbagai kebijakan yang dirancangnya justru kian membuat masyarakat di wilayah ini merasa terpinggirkan dan dipinggirkan. Mereka merasa asing dan diasingkan justru oleh ibu kandungnya: Indonesia!

Baca Selengkapnya..

WIALAYAH PERBATASAN

KOMPAS
Rabu, 12 Agustus 2009

Nasionalisme di Tapal Batas
TAK INDONESIA HILANG DI HATI

Oleh Kenedi Nurhan


Sri Mersing lagulah Melayu
Dinyanyikan anak tanah seberang…


Senandung lagu Sri Mersing terdengar sayup. Di Nongsa, pada malam berawan cerah di penghujung Juli lalu, seberkas cahaya keperakan tampak timbul-tenggelam di laut lepas, bagai dipermainkan ombak Selat Melaka yang terlihat hitam. Dari kejauhan, senandung lagu Melayu klasik yang berkisah tentang cinta dan kesepian itu masih saja terdengar. Sendu!

Leman (41) duduk termangu dengan segelas kopi di tangan. Pandang
matanya lekat menatap gemerlap cahaya yang berpendar di seberang lautan.

“Itu Singapura. Kalau langit cerah seperti sekarang, memandang
gemerlap cahaya dari ‘Negeri Pulau’ di tanah seberang itu
kadang-kadang bisa jadi semacam pengobat kegelisahan hidup
sehari-hari yang kian berat dan melelahkan,” kata Leman, pekerja di
satu industri manufaktur di Pulau Batam, saat ditemui sedang duduk
santai di kawasan pantai Nongsa di belahan utara Batam, minggu
ketiga Juli 2009.

Sejurus Leman (41) terdiam. Ia terbuai akan masa kecilnya. Gemerlap
cahaya lampu yang berpendar dari negeri di seberang lautan itu
tiba-tiba mengingatkan Leman pada ribuan cahaya kunang-kunang
yang kerap hingga-bergelayut di rerimbunan bakau tak jauh dari
kampung halamannya, sebuah desa nelayan di Pulau Lingga.

“Kunang-kunang paling suka bertengger di pohon teruntum,” kata
Leman. Celakanya, kini pohon teruntum yang dulu banyak tumbuh
di kawasan hutan bakau di Kepulauan Riau sudah kian menipis.
“Kata orang, habis diangkut ke seberang selat, bersama pasir-pasir
yang dikeruk untuk menambah luas negeri mereka,” tambahnya.

Masih ketinggalan

Tentu saja kunang-kunang dari masa kecil Leman (nama sebenarnya
adalah Sulaiman) tidak bermetamorfose menjadi gemerlap cahaya
keperakan di negeri pulau itu, mengikuti pohon-pohon teruntum yang
diangkuti ke sana. Juga bukan jelmaan jutaan kubik pasir yang dikeruk
dari pulau-pulau di kawasan ini untuk aktivitas pembangunan di negara
tetangga tersebut, lalu seperti berterbangan di langit malam terkena
pantulan sinar bulan atau bintang.

Bukan! Cahaya keperakan yang terpancar dari gedung-gedung
bertingkat di Negeri Pulau itu menyiratkan kemajuan sebuah
peradaban. Singapura adalah kota paling atraktif di Asia Tenggara.
Sementara di kampung Leman di Pulau Lingga, juga di ratusan pulau
berpenghuni lainnya di wilayah Kepulauan Riau—di luar Batam dan
kawasan eksklusif di bagian utara Bintan—waktu seperti berhenti.

Jangankan di kampung-kampung nelayan, infrastruktur pembangunan
di Daik sebagai ibu kota Kabupaten Lingga saja masih jauh ketinggalan
dibandingkan kota-kota kecamatan di Pulau Jawa. Satu-satunya
bangunan baru yang relatif bisa dikedepankan hanya kantor bupati.
Itu pun sangat sederhana.

Memasuki kota Daik, mereka yang tahu bahwa di sinilah dulu pernah
berdiri pusat kekuasaan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Bintan-Johor-
Pahang niscaya akan terperangah. Kecuali bekas reruntuhan Istana
Damnah di pinggiran kota Daik, serta Mesjid Sultan di ‘pusat kota’ yang
masih berdiri, jejak kejayaan masa silam itu sudah hilang ditelan waktu.

Kota Daik tak ubahnya seperti pedukuhan di Jawa. Hanya berupa
kumpulan rumah panggung yang berdiri di atas rawa. Tak ada
kendaraan angkutan umum kecuali ojeg sepeda motor. Tak ada tempat
belanja kecuali warung-warung kecil di pinggir jalan. Rumah makan
hanya berupa kedai kecil. Penginapan yang tersedia pun amat
bersahaja, dengan bonus penerangan listrik yang kerap mati tiba-tiba.

“Tidak tahu, ya, Pak. Dibilang nelayan bukan, petani juga bukan.
Sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari masih didatangkan dari
luar,” kata Muhamad Nur Usman (49), warga Daik, ketika ditanya
jenis mata pencaharian masyarakat Pulau Lingga.

Laut dan selat

Tidak seperti di Kalimantan, Papua, dan NTT, garis perbatasan
Indonesia di wilayah Kepulauan Riau dengan empat negara tetangga
(Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand) hanya berupa laut dan
selat. Tak ada patok-patok di tapal batas antarnegara, sehingga apa
yang disebut perbatasan—terutama bagi masyarakat yang mendiami
kawasan ini—tak ubahnya semacam garis imajiner.

Akan tetapi, karakteristik realitas sosial kemasyaratan berikut
penanganan daerah perbatasan oleh pemerintah relatif sama. Tertinggal
dan seperti ditinggalkan! Untuk kasus Kepulauan Riau, perasaan
ditingalkan dalam proses pembangunan menuju Indonesia yang
sejahtera kerap jadi isu yang bisa melemahkan sendi-sendi nasionalisme.

Lihatlah denyut kehidupan masyarakat di Pulau Singkep yang
kehilangan darah segarnya setelah kekayaan perut bumi (baca: timah)
mereka disedot habis, lalu kini ditinggalkan. Perekonomian Singkep pun
runtuh. Masyarakat di sana—juga yang tinggal di pulau-pulau sekitar
Singkep, termasuk Lingga—yang semula menjadikan Singkep sebagai
tumpuan ikut terpukul. Migrasi ke Batam dan Bintan akhirnya jadi pilihan.

Data yang diperoleh Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan
pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menunjukkan bahwa
setelah PT Timah hengkan dari pulau ini jumlah penduduk Singkep
terus berkurang. “Sejak 1993, rata-rata penduduk Pulau Singkep yang
semula tercatat 37.686 jiwa berkurang 1.000 jiwa tiap tahunnya
karena pindah ke Pulau Batam,” kata Sutamat.

Di Batam mereka berharap dapat pekerjaan di sektor industri. Tapi, di
tempat baru ini mereka kalah bersaing. Bekal keterampilan sebagai
pekerja tambang timah ternyata tak cukup bisa diandalkan, sehingga
kebanyakan di antara mereka justru jadi pengangguran dan sebagian
jadi buruh bangunan.

Sementara Pulau Lingga yang dulu pernah jadi pusat Kesultanan
Melayu, yang wilayah kekuasaannya hingga ke Johor, Negeri Sembilan
dan Pahang di Tanah Semenanjung (Malaysia) serta Tumasik
(Singapura), setelah hampir 65 tahun Indonesia merdeka terlihat kian
miskin dan dilupakan. Sebutan daerah ini sebagai “bunda kandung
Melayu” pun tampaknya hanya sebuah romantisme.

Apatah lagi Natuna dan Anambas yang berada jauh di Laut China
Selatan. Kalau saja kawasan perairan bawah laut wilayah ini tidak
mengandung cadangan minyak yang begitu kaya, barangkali tak ada
yang mau menolehnya.

Akan halnya Batam dan Bintan, bagi masyarakat lokal, keberadaan
kawasan industri di kawasan ini tak memberi banyak peluang untuk bisa
ikut terlibat di dalamnya. Bahkan di era otonomi daerah seperti
sekarang, skenario besar yang terlihat di kawasan ini justru terkesan
sebagai pembangunan pemerintah pusat di daerah yang menempatkan
Kepulauan Riau sebagai bagian dari sistem kapitalisme global.

Di dua pulau ini, perubahan besar memang mulai terjadi. Lebih-lebih
sejak pemerintah pusat menetapkan Batam sebagai kawasan
perdagangan bebas, dan sejak akhir 1970-an mulai dikelola secara
khusus. Akan tetapi, dalam pertemuan berbagai kepentingan yang
mengambil tempat di kawasan ini, tampaknya posisi masyarakat lokal
selalu berada di pinggiran: sekadar jadi penonton!

Meski diperlakukan pemerintah pusat tak ubahnya sekadar “properti”,
di luar urusan ekonomi yang terkait langsung dengan persoalan hidup
sehari-hari, rasa kebangsaan masyarakat di daerah ini sesungguhnya
tak pernah surut. Walau realitas sosial-kultural, juga ekonomi, mereka
sangat bersinggungan dengan warga-bangsa yang berdiam di seberang
Selat Melaka, namun dalam urusan nasionalisme—tentu bukan dalam
arti sempit—Jakarta tetap jadi acuan.

Ini sebuah karunia. Kualitas keindonesiaan mereka tak pantas
diragukan. Kendati setiap malam berawan cerah orang-orang seperti
Leman menyaksikan gemerlap lampu neon dan merkuri dari tanah
seberang dengan sedikit rasa iri, atau menyaksikan tayangan televisi
Singapura dan Malaysia tanpa harus pakai parabola, mereka tetaplah
“penjaga” nilai-nilai kebangsaan di tapal batas.

Meminjam gaya ungkap Hang Tuah ketika mengobarkan semangat
“tak Melayu hilang di Bumi” di masa silam, masyarakat
Kepulauan Riau sekarang pun masih bisa berkata lantang:
tak Indonesia hilang di hati!

Tapi, sampai kapan?

Baca Selengkapnya..

WILAYAH PERBATASAN

KOMPAS
Jumat, 13 Februari 2009

Daerah Perbatasan
DUNIA LAIN DI SEBERANG SELAT

Oleh Kenedi Nurhan

Mak Sarijah hanya duduk tepekur di kamar hotel tempatnya menginap
di kawasan Geylang, Singapura. Sesekali matanya melirik ke luar
jendela, mengintip keramaian di salah satu sudut kota metropolis
paling atraktif di Asia Tenggara tersebut.

Meski baru pertama kali bertandang ke negara pulau yang berjarak
hanya "sepelemparan batu" dari kampungnya di Keke, Bintan Timur,
Kepulauan Riau, nama Singapura sebetulnya tidak asing bagi Mak
Sarijah (71). Sebab, almarhum suaminya, Muhamad Atan Rahman,
berasal dari Kampung Kurau, Singapura.

Nama besar Singapura sebagai salah satu pusat perniagaan dunia
juga bukan tidak diketahui Mak Sarijah. Semasa suaminya masih hidup,
ia kerap diceritai tentang gemerlap kehidupan kota pulau yang dulu
hanyalah bagian kecil dari wilayah Kesultanan Melayu. Jauh berbeda
dengan denyut perekonomian di kampungnya, juga di Pulau Bintan
pada umumnya, yang tak beringsut dari waktu ke waktu.

Dan, dulu-terutama sebelum tahun 1970-an-tidak sedikit orang
sekampungnya yang "hilir mudik" menyeberang selat hanya berperahu
pancung, berdagang kebutuhan hidup sehari- hari hingga ke Singapura.
Bahkan, banyak di antara mereka adalah para inang, sebutan untuk
perempuan yang ikut terlibat dalam perniagaan rakyat antarpulau di
kawasan Selat Melaka.

Akan tetapi, ketika benar-benar menginjakkan kaki di Singapura,
Mak Sarijah tetap saja terperangah menyaksikan bekas "kampung
halaman" suaminya itu. Padahal, lokasi tempat ia menginap dalam
rangka ikut pentas Makyong di Singapore Arts Festival tersebut
bukanlah kawasan pusat bisnis.

Di seberang hotel memang ada pasar rakyat, Geylang Serai.
Pengunjungnya pun sebagian besar orang Melayu yang bercakap juga
dalam bahasa Melayu. Namun, atmosfer yang dirasakan Mak Sarijah
jauh berbeda dibandingkan saat ia melancong ke pusat kota Tanjung
Pinang sebagai ibu kota Kepulauan Riau atau di Batam sekalipun.

Tikungan sejarah

Membanding-bandingkan kemajuan Singapura-juga Johor Bahru di tepi
Selat Tebrau yang menghadap langsung ke Singapura-dengan capaian
di daerah Kepulauan Riau hanya menyembulkan sedikit rasa iri. Tentu
terlalu berlebihan bila ada yang mengibaratkannya bagai langit dan
bumi, tetapi kesenjangan itu jelas tampak di pelupuk mata.

Betul bahwa Mak Sarijah tidak paham sejarah. Akan tetapi, sedikit
banyak ia kerap mendengar kisah bahwa dulu Singapura bukanlah
apa-apa dibandingkan Bintan. Ketika masih bernama Tumasik, Singapura
hanyalah pulau kecil yang tak berarti dalam lingkup kekuasaan Kesultanan
Melayu, yang pada masa kegemilangannya berpusat di Pulau Bintan dan
Lingga.

Namun, sejarah tak mengenal garis linear. Selalu saja ada tikungan
dalam sejarah peradaban suatu bangsa, yang-ironisnya-kerap
menisbikan kegemilangan masa lampau. Dan, itulah yang terjadi pada
alam Melayu di kawasan Riau kepulauan, di mana kemajuan peradaban
gagal bersanding dengan gerak laju perekonomian masyarakatnya.

Letak geografis yang sangat strategis, berada di Selat Melaka
sebagai "hatinya lautan" (meminjam ungkapan ahli sejarah maritim AB
Lapian) yang mengalirkan semua aktivitas dari Atlantik ke kawasan
Pasifik, Riau kepulauan gagal menangkap momentum sejarah.

Singapura meluncur bagai meteor sebagai tempat transit dalam
perdagangan internasional, sementara Bintan dan Riau kepulauan
pada umumnya hanya jadi penonton.

Menurut catatan Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL), pada pertengahan abad XIX sebetulnya Singapura dan Riau
kepulauan saling berlomba menjadi pusat transit perdagangan dunia.
Semangat yang melapikinya jelas, yakni untuk mengambil keuntungan
ekonomi dari posisi strategis masing-masing yang berada di
bibir "hatinya lautan".

Setelah Traktat London 1824 ditandatangani Inggris dan Belanda-
yang secara sepihak membagi wilayah Kesultanan Melayu menjadi dua:
kawasan Tanah Semenanjung dan Riau kepulauan-keinginan
membangun pelabuhan laut sudah mereka gaungkan.

Inggris yang kemudian membeli Singapura dari Sultan Husein dan
Tumenggung Abdul Rahman sebagai penguasa Kesultanan
Melayu-Johor, dengan imbalanmasing-masing "hanya" 33.200 dan
26.000 ringgit Spanyol, langsung bergerak cepat. Pada 1875, Thomas
Stamford Raffles sebagai penguasa Singapura sudah berhasil mewujudkan
pulau di ujung Tanah Semenanjung itu menjadi pelabuhan besar.

Akan halnya wilayah Riau kepulauan, Residen Netscher yang mewakili
Pemerintah Hindia Belanda ternyata kalah hebat dibandingkan Raffles.
Padahal, saat itu peluang menjadikan Bintan sebagai pelabuhan besar
tempat aktivitas perdagangan dunia terbuka lebar.

Perekonomian dunia sedang membaik. Hasil perkebunan karet, kopra,
dan gambir sebagai komoditas utama kala itu-selain timah, juga
rempah-rempah dari belahan timur Nusantara-pun terus meningkat.

"Bahkan, pada tahun 1870 harga kopra di pasaran dunia naik
sehingga pendapatan melalui cukai diperkirakan dapat membiayai
pembangunan fisik pelabuhan," tutur Sutamat.

Dalam perkembangannya ternyata Bintan kalah bersaing dengan
Singapura. Pelabuhan Bintan di Tanjung Pinang saat ini tak ada apa-
apanya dibandingkan Singapura. Jangan ditanya pelabuhan di Daik,
Lingga, yang dulu juga menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Melayu.
Pelabuhan Jagoh di Daik bahkan cuma untuk berlabuh kapal cepat dari
Bintan dan Batam.

Namun, selalu ada sisi lain yang pantas dikedepankan dari tikungan
sejarah yang suram. Kalah bersaing membangun perekonomian dari
Singapura, bukan penghalang bagi masyarakat Riau kepulauan untuk
maju di bidang lain. Sebagian penduduk di wilayah Kesultanan Melayu
tersebut mengembangkan "keunggulan" di sektor lain, seperti seni
sastra dan budaya.

"Pada masa perekonomian membaik, Singapura mampu membangun
pelabuhan dagang, sedangkan Riau kepulauan berhasil
mengembangkan identitas dirinya melalui kesusastraan dan bahasa
Melayu," tutur Sutamat.

Atau, dalam bahasa sastrawan Taufik Ikram Jamil, "... keunggulan
Singapura dalam bidang ekonomi sama sekali tidak menjatuhkan Riau
dalam kebudayaan Melayu. Pada saat Singapura bangkit dengan
materinya, kehidupan spiritual di Riau marak pula sampai awal abad XX."

Ada rasa bangga dalam pengucapan kata-kata tersebut, namun-diakui
atau tidak-di balik itu terselip pengakuan samar- samar betapa kita
sebagai bangsa gagal memperbaiki keadaan. Ketika abad berganti dan
masing- masing wilayah menjadi negara yang berdaulat, kemajuan di
seberang Selat Melaka itu bagai dunia lain yang jauh dari jangkauan
sebagian besar masyarakat di negeri ini, tak terkecuali mereka yang
tinggal di daerah perbatasan (baca: Riau kepulauan).

Kawasan industri

Bagai ingin mengulang sejarah kejayaan Kesultanan Melayu di masa
lampau, awal 1990-an digalang kerja sama antartiga kawasan:
Singapura-Johor-Riau alias Sijori! Tujuannya sangat ideal, yakni
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sifatnya saling
menguntungkan. Pada saat hampir bersamaan, guna mengejar
ketertinggalan dari Singapura (juga Malaysia), Pemerintah Indonesia
juga mengembangkan Pulau Batam sebagai kawasan industri dengan
penanganan khusus. Sejak itu, Batam pun berkembang pesat sebagai
daerah industri dan pergudangan.

Di belahan lain, persisnya di daerah Sebong Lagoi di Bintan Utara,
juga telah dibangun kawasan wisata terpadu dengan atmosfer serba
Singapura. Bisa dimaklumi, mengingat pengelola kawasan ini umumnya
pengusaha dari negara pulau tersebut. Mereka sudah menjalin kontrak
sewa pakai selam 30 tahun. Namun, informasi dari sejumlah sumber
menyebutkan, sebagian besar kawasan seluas 19.000 hektar itu sudah
disewa para pengusaha dari Singapura untuk 80 tahun ke depan.

Dampak dari kerja sama Sijori memang membuat perekonomian Batam
dan Bintan ikut berdenyut. Hanya saja, seperti terlihat dari neraca
ekspor impor Batam yang selalu negatif, perolehan keuntungan tetap
saja lebih banyak mengalir ke seberang Selat Melaka: Singapura!

"Teori balon" yang pernah diyakini BJ Habibie akan terwujud
terkait pengembangan industri di Batam dan Bintan, yakni suatu ketika
terjadi balon-balon kecil sebagai limpahan dari balon besarnya (baca:
Singapura), sudah hampir 20 tahun ternyata masih sekadar impian.
Masyarakat yang mendiami daerah Riau kepulauan terus menunggu
sekaligus berharap cemas: jangan-jangan justru balon-balon kecil itu
suatu saat akan meletus.

Baca Selengkapnya..

Kamis, 29 Januari 2009

Bugis-Makassar

KOMPAS
Jumat, 16 Januari 2009

Diaspora Bugis-Makassar (01)
SENJA DI SOMBA OPU

Oleh Kenedi Nurhan

SORE menjelang malam pada 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu akhirnya jatuh ke tangan VOC (baca: Kompeni-Belanda). Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin dipaksa turun tahta. Kerajaan Gowa-Tallo runtuh. Makassar pun tidak lagi jadi kiblat perdagangan anak-anak negeri di wilayah timur Nusantara.

Bukan saja harus mengakui kekuasaan Belanda, Sultan Hasanuddin dan pengikutnya juga dipaksa mematuhi Perjanjian Bongaya (1667) serta perjanjian-perjanjian sebelumnya (1660). Gowa antara lain harus melepas kontrol atas sejumlah daerah yang justru jadi sumber ekonomi dan penopang kekuasaan mereka. Belum lagi ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang Belanda semasa perang.

Butir-butir Perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar pada tahun 1667—dua tahun sebelum Hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya—itu sangat merugikan posisi tawar para bangsawan dan kerabat kesultanan.

Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kepada Kompeni telah melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dalam perdagangan dan pelayaran.

“Pembatasan-pembatasan tersebut bukan saja secara langsung menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, juga berangsur-angsur memudarkan wibawa para bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam Perjanjian Bongaya,” kata sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, Mukhlis PaEni, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).


Namun, akhir dari perang dahsyat dalam sejarah VOC di Nusantara tersebut justru menjadi awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang-orang Bugis-Makassar di Tanah Air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak Perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi justru banyak dimotori oleh kalangan bangsawan.

Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur Kepulauan Indonesia.

Selain mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Kompeni-Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.

Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi.

Katanya, “Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak-perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”

Di tempat yang baru, orang-orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial-politik lokal. Sebutlah seperti di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam sekalipun.

“Sampai abad XVIII, para prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia tersebut.

Dinamika lokal

Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut memberi warna pada dinamika lokal di berbagai daerah di Nusantara. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (abad XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan di hampir daerah di Nusantara.

Oleh karena itu, bagi Mukhlis PaEni, fenomena ini bukan sekadar migrasi biasa, melainkan apa yang ia sebut sebagai diaspora Bugis-Makassar. Para bangsawan serta raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan Kerajaan Gowa—tentu berserta pengikutnya—tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai daerah di Nusantara.

“Mereka meninggalkan daerahnya untuk mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas, sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat yang baru mereka membaur ke dalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerja sama saling menguntungkan,” tutur Mukhlis.

Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di Nusantara masih bisa dilacak hingga sekarang. Di Pulau Jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi, Babad Kraton Jawa, maupun Serat Trunajaya menggambarkan bagaimana prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini ikut berperan membantu Trunajaya mempreteli kekuasaan Mataram yang disokong Kompeni-Belanda.

Nama Karaeng Galesong dan Daeng Naba, dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makan prajurit dari Gowa di kompleks pemakaman Mlati, Yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.

Nama prajurit bugis dalam kesatuan “ketentaraan” di Kraton Yogyakarta yang ada saat ini adalah bukti lain yang tersisa dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Bila dilacak lebih jauh, kata Mukhlis PaEni, dokter Wahidin Soedirohoesodo—pahlawan nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo—ternyata leluhurnya pun masih keturunan Bugis-Makasar: Daeng Naba!

Di daerah-daerah lain, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Tanah Semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk ke pusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus di Kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan di Kesultanan Aceh, Selangor, Pahang, dan Mempawah.

Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan, “sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca-Perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan dengan warga setempat. Akulturasi budaya pun terjadi.

Di sanalah semangat multikultur dan pluralitas yang menjadi kekuatan bangsa disemai dalam taman keindonesiaan kita hari ini...

Baca Selengkapnya..

bugis-makassar

KOMPAS
Jumat, 16 Januari 2009

Diaspora Bugis-Makassar (02)
TERLIBAT INTRIK KEKUASAAN
DI JANTUNG MELAYU


Oleh Kenedi Nurhan

SETELAH beberapa kali salah jalan, rombongan kecil itu akhirnya tiba juga di sebuah makam bercungkup di puncak tebing merah berbatu kerikil. Hanya sepelemparan batu dari sana, Sungai Bintan mengalir tenang. Di kejauhan, dari selasar makam berwarna kuning menyala itu, debur ombak Selat Melaka sayup terdengar.

Letak makam itu cukup terpencil, berada di antara semak dan kebun kelapa yang tak terurus. Memang tak mudah menemukannya. Bahkan, petugas Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Tanjung Pinang yang membawahkan wilayah ini pun tidak tahu persis jalan menuju makam ‘orang besar’ di masa Kesultanan Melayu (Riau-Johor) tersebut.

Tersesat beberapa kali, dan dua kali salah mendatangi ‘alamat’ makam yang dicari, hanyalah sisi lain dari gambaran awal betapa pendek ingatan sebagian anak negeri ini pada sejarah masa lalu bangsanya. Daeng Marewa (kadang-kadang juga ditulis dengan ‘h’: Daeng Marewah), nama yang tertera pada plakat makam dan papan nama penanda sekaligus peringatan bahwa kawasan ini adalah bagian dari benda cagar budaya, siapakah dia?

Bagi kebanyakan orang, termasuk mereka yang tinggal di Kepualauan Riau dan sekitarnya—juga Johor, Pahang, Selangor dan Kedah di wilayah Tanah Semenanjung, saat ini nama Daeng Marewa hampir tak lagi dikenal. Padahal, sejarah mencatat, Daeng Marewa adalah Yamtuan Muda alias Yang Dipertuan Muda Riau I. Jabatan setingkat perdana menteri itu ia sandang selama sekitar tujuh tahun (1721-1728), dan setelah ia mangkat posisinya digantikan sang adik, Daeng Celak (1728-1745).

Siapakah sesungguhnya Daeng Marewa—juga Daeng Celak—dan bagaimana mereka bisa duduk di tampuk tertinggi kekuasaan Kesultanan Melayu? Bukankah dari nama gelar (baca: daeng) yang mereka sandang, dengan gampang orang bisa mengaitkannya dengan kebangsawan Bugis-Makassar?

Memang, Daeng Marewa dan Daeng Celak adalah dua di antara lima bersaudara “satria” Bugis-Makassar, putra Opu Tenri Borong Daeng Rilakka. Tiga saudara mereka yang lain adalah Daeng Perani, Daeng Manambung, dan Daeng Kamase.

Lima bersaudara keturunan bangsawan-petualang Bugis-Makassar, meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah, inilah yang ikut berperan penting dalam mengangkat marwah Kesultanan Melayu (Riau-Johor) pada abad XVIII. Berkat mereka, Kesultanan Melayu (saat itu berpusat di Johor, sehingga sejarah pun mencatatnya sebagai Kesultanan Melayu-Johor) bisa diselamatkan dari kehancuran akibat pendudukan Raja Kecil dari Siak.

Ketika itu, Raja Kecil—yang mengklaim sebagai keturunan (alm) Sultan Mahmud Shah II—menuntut hak atas tahta di Johor. Dibantu orang-orang Minangkabau, pada Maret 1718, Raja Kecil berhasil menguasai istana Kesultanan Melayu-Johor, menyusul terbunuhnya Raja Muda Mahmud. Riau kepulauan dan sekitarnya pun, termasuk Lingga dan Bintan yang juga pernah jadi pusat kekuasaan Kesultanan Melayu, ikut dikuasai pasukan Raja Kecil.

Pihak kerabat Istana Johor yang melarikan diri ke Pahang lalu berpaling kepada pengembara Bugis-Makassar yang kala itu memang sudah dikenal sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Selat Melaka. Pilihan jatuh pada kekuatan lima bersaudara yang dipimpin Daeng Perani berserta para pengikutnya. Johor pun jadi ajang persaingan kekuasaan antara orang-orang Minangkabau, Bugis-Makassar, dan Melayu.

Setelah melalui serangkaian pertempuran laut yang seru, orang-orang Bugis-Makassar berhasil menghalau kekuatan Raja Kecil. Istana Johor juga bisa direbut kembali. Sebagai kompensasi atas jasa-jasa mereka, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1721-1760) yang dilantik sebagai penguasa Johor menetapkan semacam kuasa bersama antara Melayu dan Bugis-Makassar atas kedaulatan Kesultanan Melayu-Johor.

Satu di antara lima bersaudara tersebut, Daeng Marewa, bahkan diberi kekuasaan khusus sebagai Yamtuan Muda alias Raja Muda di Riau. Adapun Daeng Perani—yang kelak jadi Raja Muda di Selangor—dan Daeng Celak kemudian dikawinkan dengan saudara-saudara Sultan Johor.

Setelah Daeng Marewa wafat pada 1728, Daeng Celak tampil sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II (1728-1745), sebelum akhirnya ia digantikan Daeng Kamboja—anak Daeng perani—sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III. Hingga Kesultanan Melayu-Riau dibubarkan oleh Belanda pada 3 Februari 1911, jabatan Yang Dipertuan Muda Riau selanjutnya dipegang oleh anak cucu Daeng Celak yang sudah merupakan keturunan Melayu-Bugis-Makassar.

Tidak seperti leluhur mereka yang asli Bugis-Makassar, anak-anak berdarah Melayu-Bugis-Makassar ini tak lagi menyandang gelar daeng sebagai ciri kebangsawan mereka, tetapi tampil dengan gelar kebangsawanan baru: “raja”! Raja Haji Fisabilillah sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV tercatat sebagai penguasa pertama dari garis keturunan Melayu-Bugis-Makassar.

Bagaimana “karier” Daeng Manambun dan Daeng Kamase? Tuhfat al-Nafis yang ditulis Raja Ali Haji—pada episode tentang sejarah dan silsilah Melayu-Bugis—menyebutkan, “Daeng Manambun menjadi raja di Mempawah (di Pulau Kalimantan—pen) bergelar Pangeran Emas Surya Negara... adapun Daeng Kamase berkuasa di negeri Sambas bergelar Pengeran Mangkubumi.”

Ekses Perjanjian Bongaya

Kehadiran para perantau-petualang Bugis-Makassar yang bisa masuk ke pusat kekuasaan Kesultanan Melayu (Riau-Johor) dan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Melayu, tentu saja merupakan fenomena menarik.

Mereka ternyata tidak sekadar berperan dalam dinamika sosial-ekonomi melalui jalur pelayaran dan perdagangan. Pada banyak tempat—di Kesultanan Melayu (Johor-Riau) sebagai contoh kasus—orang-orang Bugis-Makassar bahkan terlibat dalam dinamika sosial politik hingga ke jantung kekuasaan setempat.

Sejak diterapkannya Perjanjian Bongaya (1667), menyusul kejatuhan Benteng Somba Opu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo pada 24 Juni 1669, memang terjadi migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar ke berbagai penjuru Nusantara. Pola pelayaran dan perdagangan orang-orang Bugis-Makassar pun, sebagaimana dicatat Christian Pelras (Manusia Bugis, 2006), mengalami perubahan.

Dimotori para bangsawan dan raja-raja kecil yang menentang isi perjanjian tersebut, yang secara umum mengekang kebebasan dan bahkan mempreteli eksistensi mereka, tujuan migrasi terutama ke wilayah barat Nusantara. Mereka menghindari wilayah timur—terutama ke Maluku sebagai daerah penghasil rempah-rempah—karena jalur pelayaran dan perdagangan ditutup oleh Belanda.

Selain Kalimantan, Sumbawa, Lombok, dan Jawa-Bali, rombongan para bangsawan Bugis-Makassar ini juga banyak menetap di Sumatera dan Tanah Semenanjung. Opu Tenri Borong Daeng Rilakka—bangsawan dari Kerajaan Luwu yang ketika itu merupakan daerah bawahan Gowa—bersama lima putra dan pengikutnya termasuk yang memilih bermigrasi ke daerah pesisir timur Pulau Sumatera.

Di kawasan Selat Melaka ini mereka bersama orang-orang Bugis-Makassar lainnya mendirikan perkampungan di pantai-pantai dan muara-muara sungai besar. Di Jambi, seperti daerah Muara Sabak dan Tanjung Jabung, selain berdagang, orang-orang Bugis-Makassar juga banyak yang membuka lahan perkebunan kelapa. Begitu pun di Kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

Pada masa ini, Ricklefs (2006) meyakini, para pengembara Bugis-Makassar terlibat aktif di hampir seluruh bagian barat Nusantara dan menjadi kekuatan utama di Selat Melaka. Bahkan, seperti dicatat Pelras, dalam perkembangan berikutnya mereka juga melibatkan diri dalam perseteruan di kalangan penguasa Melayu.

“Melalui peperangan dan perkawinan mereka berhasil menjadi salah satu kekuatan politik utama, khususnya di Kesultanan (Melayu) Riau-Johor dan Tanah Melayu pada umumnya,” tulis Christian Pelras.

Tak hanya di Kesultanan Melayu (Riau-Johor) serta pusat kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Semenanjung dan Kalimantan Barat, di belahan utara Pulau Sumatera pun anak cucu pengembara Bugis-Makassar juga masuk ke jantung kekuasaan. Di Kesultanan Aceh, misalnya, selama hampir dua abad (1727-1838), Ricklefs mencatat ada enam orang Bugis-Makassar yang tampil sebagai penguasa kesultanan.

Versi Anthony Reid (Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19) jauh lebih banyak lagi. Sebab, sejak Sultan Alauddin Ahmad Syah memerintah tahun 1727 hingga berakhirnya Kesultanan Aceh pada 1903 (Sultan Muhammad Daud Syah; 1894-1903), seluruh sultan yang berkuasa adalah keturunan Bugis-Makassar.

Dihadapkan pada kenyataan sejarah yang demikian, betapa banyak nilai yang bisa diserap untuk kehidupan bangsa ini pada masa sekarang dan yang akan datang. Pluralisme dan multikultutralisme bukan saja sudah menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa ini, tetapi juga merupakan sebuah kearifan yang selayaknya terus dikembangkan.

Baca Selengkapnya..

Bugis-Makassar

KOMPAS
Jumat, 16 Januari 2009

Diaspora Bugis-Makassar (03)
MELAYU-BUGIS-MAKASSAR
DAN ARUS BALIK SEJARAH


Oleh Kenedi Nurhan

SESUNGGUHNYA, kehadiran bangsawan Bugis-Makassar di Tanah Melayu tak ubahnya seperti fenomena arus balik sejarah. Jauh sebelum pengembara Bugis-Makassar masuk ke jantung kekuasaan Melayu, orang-orang Melayu-lah yang lebih dahulu berperan dalam dinamika lokal di negeri Bugis-Makassar.

Menyusul kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada 1511, di luar kerabat istana yang memindahkan pusat kekuasaan ke Johor, tidak yang pergi ke berbagai penjuru angin. Beberapa kelompok berkelana hingga ke Sulawesi. Di wilayah Kerajaan Gowa ini mereka bermukim di Salojo, daerah pesisir Makassar di perkampungan Sanrobone.

Hasil penelusuran Mukhlis PaEni, sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, memperlihatkan bahwa sampai 1615 roda perekonomian—khususnya perdagangan antarpulau melalui pelabuhan Makassar—dikuasai oleh orang Melayu dari Johor dan Patani. Baru pada 1621 orang Bugis-Makassar ikut ambil bagian penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara.

“Sejak kedatangan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa (Makassar), peranan mereka tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama (baca: Islam), tapi juga dalam kegiatan sosial-budaya, bahkan di birokrasi. Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa, banyak orang Melayu yang memegang peran penting di istana kesultanan,” kata Mukhlis, yang juga adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Di zaman Raja Gowa X (1546-1565) misalnya, seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajou yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang—juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana—diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa ke-2. Sejak saat itu, kata Mukhlis, secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu, sampai dengan Syahbandar Ince Husa ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan dalam perang melawan VOC tahun 1669.

Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, yakni ketika Incik Amin menduduki jabatan itu pada zaman Sultan Hasanuddin (1653-1669). Juri tulis di istana Raja Gowa XVI ini sangat terkenal melalui syairnya yang amat indah berjudul Shair Perang Mangkasar, mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669.

Menurut Mukhlis, sumbangan utama orang-orang Melayu di wilayah timur Nusantara tidak terbatas di bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam, tapi juga di bidang pendidikan dan—tentu saja—kebudayaan Melayu. Pada masa itulah berbagai naskah keagamaan dan sastra berbahasa Melayu diterjemahkan ke bahasa Bugis atau bahasa Makassar.

Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke-19. Salah satunya adalah penulisan ulang sureg I La Galigo—sebuah karya sastra Bugis yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar dari khazanah kesusasteraan Indonesia—tahun 1860 oleh seorang bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate.

“Namun, siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Nama dirinya tak lain adalah Ratna Kencana. Ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu Pabean, Syahbandar Makassar pada abad ke-19, yang tak lain adalah keturunyan Melayu-Johor berdarah Bugis-Makassar,” tutur Mukhlis.

Dalam proses akulturasi budaya dan perkawinan antara orang Melayu dengan orang-orang Bugis-Makassar, lahirnya “generasi baru” Bugis-Makassar keturunan Melayu. Mereka ini secara umum dikenal sebagai masyarakat golongan tubaji (Makassar) atau tudeceng (Bugis). Dalam struktur sosial kemasyarakatan mereka ini menempati posisi terhormat, bahkan tak sedikit yang masuk ke struktur golongan bangsawan.

Ketika Benteng Somba Opu jatuh dan Sultan Hasanuddin harus tunduk pada isi Perjanjian Bongaya, kelompok masyarakat “Melayu-Bugis-Makassar” inilah yang boleh dibilang sebagai motor penggerak migrasi di kalangan bangsawan Kerajaan Gowa. Namun, terlepas dari adanya semacam “arus balik” tersebut, perkawinan campuran Melayu-Bugis-Makassar ini telah melahirkan apa yang disebut Mukhlis PaEni sebagai masyarakat baru Nusantara.

“Dalam diri para tubaji/tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, yang kemudian bercampur heroisme Bugis-Makassar, dan kearifan Bajau. Sejarah mencatat, kehadiran masyarakat baru Nusantara ini memegang peranan penting dalam sejarah Nusantara di abad XVIII-XIX di Semenanjung dan kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan daerah-daerah di pantai utara Jawa termasuk di Sulawesi Selatan sendiri. Peran ini masih berlanjut hingga kini,” jelas Mukhlis.

Diapora Bugis-Makassar adalah sebuah keniscayaan, bagian dari sejarah bangsa ini menemukan keindonesiaannya. Dan memang, harus diakui bahwa mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari sebuah dinamika sejarah masyarakat Nusantara.

Baca Selengkapnya..