Selasa, 09 Desember 2008

Bangka-Belitung



KOMPAS
Jumat, 21 November 2008

Ekstraksi SDA (03)
BALADA TIMAH DAN LADA

Oleh Kenedi Nurhan

DI tahun 1980-an, ketika harga lada di pasaran dunia melambung, banyak cerita menarik tapi terdengar konyol tentang perilaku konsumtif petani lada di Bangka dan Belitung. Seperti ingin mengejek kemiskinan yang lama membelenggu, uang yang mengalir dari kebun-kebun lada itu menimbulkan kejutan budaya.

Ke ladang mengendarai mobil baru bukanlah hal aneh. Ada yang lebih memancing senyum. Di kota, mereka berbelanja apa pun yang diinginkan tanpa tawar-menawar harga yang dipatok pemilik toko di Pangkal Pinang atau di Tanjung Pandan. Barang-barang yang dibeli bukan lagi dilandasi prinsip kebutuhan, tetapi lebih didasarkan keinginan memiliki apa yang juga dipunyai masyarakat perkotaan.

Barang-barang elektronik macam televisi, kulkas dan mesin cuci pun dibeli lalu diakut ke desa. Padahal, di rumah mereka di desa tak ada sambungan listrik. Alhasil, perabotan rumah tangga yang ketika itu masih tergolong barang mewah hanya jadi pajangan.

Televisi akhirnya sekadar penghias ruang tamu. Kulkas berubah fungsi jadi “lemari” pakaian. Mesin cuci? Cuma tempat menyimpan beras.

Kini sejarah seperti kembali berulang. Tetapi pemicunya bukan lagi lada, melainkan timah. Bekerja mendulang pasir timah di areal kuasa pertambangan (KP) milik PT Timah yang sudah ditinggalkan, yang sebelum era reformasi tindakan itu merupakan hal terlarang, ternyata menghasilkan pendapatan luar biasa untuk ukuran masyarakat Bangka Belitung pada umumnya. Tak terkecuali bagi petani lada.

Kehidupan di pedesaan yang sempat redup sejak dekade 1990-an, menyusul anjloknya harga lada di pasaran sementara biaya perawatan kebun-kebun lada butuh biaya besar, sontak bergairah kembali. Mirip peristiwa di era 1980-an, ketika para petani lada menikmati berkah kenaikan harga komoditas ekspor itu di pasaran dunia, perilaku hidup konsumtif pun seperti menemukan ruang untuk berbiak.

Dalam skala tertentu bahkan lebih “dahsyat”. Tak hanya pasar dan pusat perbelanjaan di kota yang didatangi, kafe—sebetulnya lebih pas disebut warung kopi—dan tempat karaoke pun kini menjamur untuk memfasilitasi “kebutuhan” hiburan para penambang timah. Bahkan, kini muncul kecenderungan baru yang cukup menggelisahkan: praktik prostitusi di banyak tempat hadir di sekitar lokasi penambangan timah skala kecil yang diusahakan oleh rakyat.

Menjelang Idul Fitri lalu, pusat penjualan sepeda bermotor sempat kehabisan stok. Harganya pun ‘gila-gila’-an. “Mobil Avanza bekas milik teman saya bahkan mereka bayari hingga Rp 120 juta, padahal harga barunya—kalau persediaan ada—paling juga segitu,” ujar Thito Iz, warga Tanjung Pandan, Belitung.

Bila di kota-kota besar transaksi umumnya dengan sistem kredit, di Bangka dan Belitung sebagian besar tunai. Bila di banyak tempat pembeli sampai ngotot menawar harga atau meminta diskon, di sini mereka bahkan berani membayar lebih di atas harga jual.

Mengetahui keadaan ini, kadang-kadang pihak agen penjualan ada yang nakal. Sepeda motor yang ada di pajangan dikatakan sudah dipesan orang lain, padahal sebetulnya tidak. Atau, barang yang ada disembunyikan, lalu dikatakan bahwa kiriman baru akan datang dua-tiga bulan lagi.

“Bila calon pembelinya benar-benar ngebet, dan biasanya berani nambah Rp 500.000 hingga Rp 1 juta, baru keinginan pembeli dikabulkan,” tutur Kunrat Otoisea, pensiunan PT Timah yang kini membuka usaha rumah makan di Manggar, Belitung Timur.

Berbeda saat booming lada di mana uang mengalir hanya saat musim petik buah, pendapatan dari mendulang pasir timah bisa datang setiap hari. Tinggal menghubungi kolektor, pembeli timah di tingkat masyarakat, pasir timah hasil melimbang hari itu bisa langsung diuangkan. Dengan begitu, hari itu juga mereka bisa langsung membelanjakan hasil jerih payahnya.

“Sekarang terbalik. Kalau dulu orang kota meremehkan orang-orang desa, menganggap mereka sebagai beban, kini mereka yang menggerakkan ekonomi perkotaan,” kata Kunrat Otoisea menambahkan.

Reformasi vs otonomi daerah

Sejak keran reformasi dibuka, dan angin perubahan yang ditulangpunggungi semangat otonomi daerah berembus kencang hingga ke lubang-lubang tambang, peluang masyarakat Bangka Belitung untuk ikut mendulang pasir timah pun terbuka lebar. Rezeki dari kebun lada yang sudah redup, menyusul anjloknya harga lada di pasaran, akhirnya menemukan jawabannya lewat pendulangan timah.

Berawal dari langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadi gejolak sosial pasca-reformasi, PT Timah selaku pemegang KP timah di daerah ini mengizinkan rakyat Bangka Belitung terjun ke usaha pendulangan timah dalam skala kecil. Ada semacam unsur pemaaf terkait pencarian pasir timah oleh rakyat, yang sebelum reformasi sangat terlarang dan dianggap sebagai kejahatan serius.

Hanya saja, PT Timah membatasi lokasi penggalian di bekas areal yang sudah ditambang. Itu pun dengan berbagai persyaratan, di antaranya sebagai mitra berizin dan hanya menjual pasir timah kepada PT Timah selaku pemilik KP. Oleh PT Timah, kegiatan penambangan skala kecil oleh mitra kerjanya ini disebut tambang inkonvensional alias TI.

Dalam praktiknya ternyata kegiatan penambangan timah oleh rakyat tumbuh di luar kendali. Penggalian pasir timah tanpa izin merebak di seantero pulau. Istilah TI sebagai tambang inkonvensional pun berubah negatif menjadi tambang ilegal.

Iskandar Zulkarnain dan kawan-kawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, hampir di setiap desa, penduduk yang terlibat bekerja sebagai TI mencapai kisaran 70 persen dari jumlah keluarga yang ada. Bahkan, di sejumlah desa tercatat mencapai 100 persen (Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi, 205:154).

“Mencari timah jauh lebih menguntungkan daripada berkebun lada. Lagi pula, kalau mencari timah hasilnya bisa dijual hari itu juga. Kalau seperti saya, modalnya pun cuma sebungkus rokok, ember dan cedok,” ujar A Rachman (43), warga Desa Air Itam, Kecamatan Bukit Intan, Pangkalpinang.

Sebagai pendulang pasir timah di lokasi tailing, sekadar mengumpulkan “remah-remah” pasir timah sisa penambangan yang mengalir dari sakan (kotak pencucian untuk memisahkan timah dari tanah) pemilik TI, Rachman bisa mendapatkan 8-12 kilogram (kg) per hari. Pada pertengahan Oktober lalu, harga pasir timah di tingkat kolektor berkisar Rp 36.000-Rp 40.000/kg. Sebelumnya, pada Juni 2008, Rachman mengaku sempat menikmati harga pasir timah Rp 85.000/kg.

Pasir timah yang dikumpulkan pemilik TI jelas jauh lebih banyak, tetapi modal usahanya pun lebih besar. Untuk mengusahakan satu TI dibutuhkan dana sekitar Rp 15 juta-Rp 17 juta. Itu pun baru untuk pengadaan peralatan berupa dua mesin (mesin semprot dan mesin isap) dan pembuatan sankan.

Pada TI skala menengah, dengan cadangan deposit pada kedalaman lebih dari enam meter, mereka harus sewa peralatan berupa buldozer, shovel atau ekskavator (masyarakat menyebutnya pice alias PC, singkatan dari “produksi caterpilar”). Peralatan berat ini digunakan untuk membolak-balik tanah sebelum masuk lubang isap alias camoy (istilah di Bangka) atau kapu-kapu (istilah di Belitung).

“Sewa pice Rp 260.000 per jam, tetapi minyak solarnya penyewa yang tanggung,” kata Edi Suwandi. Namun, karena solar susah didapat, para pemilik TI umumnya lebih memilih tarif sewa Rp 350.000-Rp 400.000 per jam, sudah termasuk bahan bakar minyak dan operatornya.

Meski modal yang dikeluarkan relatif besar, tetapi bila deposit pasir timah yang ditambang masih sangat ekonomis hasilnya pun cukup besar. Penghasilan pemilik TI bisa Rp 3 juta-Rp 4 juta sehari, sementara pekerjanya dapat membawa pulang uang Rp Rp 100.000-Rp 150.000.

“Tapi kalau lagi apes, pasir timahnya sedikit. Tentu saja rugi,” kata Acong, yang siang itu bekerja bersama Akiong dan Apin di lokasi tambang mereka di daerah Padang Baru, Kecamatan Pangkalan baru, Pangkal Pinang.

Bagaimana dengan tanaman lada? Lada kini sudah seperti masa lampau. Bahkan di kalangan petani di sentra perkebunan lada di Bangka Selatan sekalipun. Sudah lama kebun-kebun lada mereka tak diurus lantaran mahalnya biaya perawatan, sementara harga lada di pasaran terus jatuh ke hingga titik nadir.

Sudah sejak beberapa tahun terakhir harga lada berada di kisaran Rp 20.000-Rp 25.000/kg. Malah pernah harga lada jatuh hingga Rp 12.000/kg. Angka ini jauh di bawah nilai keenomian tanaman lada. Petani baru bisa menikmati sedikit keuntungan bila harga jual di atas Rp 32.000/kg.

“Ketika sedang jaya-jayanya, saya pernah menikmati harga lada hingga Rp 80.000/kg,” kata Sabri (58), petani lada dari Kampung Seberang, Toboali, Bangka Selatan. “Tapi sekarang istirahat dulu berkebun sahang (sebutan lada di kalangan masyarakat Bangka—Pen). Rugi! Mending ikut mendulang timah,” tambahnya.

Istirahat tak ubahnya ungkapan pemanis untuk para petani lada yang beralih profesi menjadi penambang timah. Sabri tidak sendirian. Hampir sebagian besar petani lada di Bangka, termasuk di Bangka Selatan yang merupakan sentra utama penghasil lada dari provinsi ini, juga sudah menelantarkan kebun-kebun lada mereka.

Di sepanjang jalan utama menuju Toboali dan Sadai, mulai dari Dusun Air Bara di Kecamatan Air Gegas, kebun-kebun lada hanya menyisakan junjung (kayu yang ditegakkan untuk rambatan lada) yang dipenuhi rumput menyemak.

Di beberapa lokasi, kebun lada sudah disela tanaman sawit dan karet. Bahkan tak sedikit yang sudah berubah menjadi lahan tandus berpasir, setelah tanaman lada mereka dibabat untuk usaha penambangan timah skala kecil.

Timah dan lada memang dua komoditas yang membuat nama Bangka Belitung dikenal luas hingga ke mancanegara. Timah dan lada pula yang sempat mengangkat gairah perekonomian Bangka Belitung. Tetapi sampai kapan?

1 komentar:

ayen_oye mengatakan...

saya ingin tahu daerah mana dibelitung yang belum ada listrik, karena sepengetahuan saya, hampir semua daerah ada listrik. peralatan elektrnik tidak hanya sekedar pajangan, berlitung termasuk daerah yang lumayan sejahtera. terima kasih atas infonya