Selasa, 09 Desember 2008

Bangka-Belitung

KOMPAS
Jumat, 21 November 2008

Ekstraksi SDA (05)
"KOLONG-KOLONG" ITU
KIAN MENGANGA...


Oleh Kenedi Nurhan

BERSAMAAN pengajuan permohonan izin penggalian pasir timah, Junaidi menyertakan surat pernyataan peduli keselamatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup. Surat ditandatangani di atas meterai Rp 6.000, berikut lampiran peta lokasi dan surat rekomendasi kepala desa setempat.

“Apabila saya tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap pengelolaan lingkungan hidup, yang berakibat rusaknya kelestarian lingkungan di sekitar usaha penambangan, maka saya bersedia dituntut sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” demikian antara lain bunyi surat pernyataan Junaidi.

Junaidi tak perlu repot mengonsepnya. Lembar surat yang diformat seragam itu sudah tersedia. Tinggal diperbanyak. Ia hanya perlu mengisi kolom nama dan alamat sesuai bukti identitas, lalu tanda tangan di atas meterai.

Begitupun surat pengajuan izin ke bupati melalui pejabat dinas pertambangan dan energi setempat, yang istilah resminya diterakan sebagai permohonan izin usaha pertambangan rakyat alias IUPR. Junaidi hanya perlu menginformasikan letak berikut titik-titik koodinat lokasi yang akan ditambang. Petugas akan memasukkan data tersebut ke kolom yang tersedia. Adapun peta detail lokasi yang dimohonkan bisa direka-reka.

Semudah itu? “Memang! Bahkan tak jarang kalau surat rekomendasi dari kepala desa sudah didapat, tanpa harus menunggu keluarnya surat persetujuan dari pemerintah kabupaten, kegiatan penambangan sudah bisa dilakukan,” ujar seorang bekas penanggung jawab usaha pertambangan rakyat yang ditemui di Tanjungpandan, Belitung, pertengahan Oktober lalu.

Tentu saja untuk mendapatkan IUPR tidak gratis. Blanko surat-surat kelengkapan permohonan pun harus bayar. Tetapi bukan itu pokok soal yang ingin dikisahkan dari sepenggal pengalaman Junaidi—juga ratusan bahkan ribuan “Junaidi” lain di Bangka Belitung—terjun ke usaha penambangan timah rakyat. Ada sisi lain yang mencengangkan!

Bekas galian yang ditinggalkan usai ditambang muncul di mana-mana. Gundukan tanah berpasir membentuk semacam bukit-bukit kecil. Di tengah-tengahnya terbentang kawah berair, yang oleh penduduk Bangka Belitung lebih dikenal dengan sebutan kolong. Dalam satu kawasan bisa terdapat puluhan kolong, besar dan kecil, bergantung potensi cadangan pasir timah yang ditambang.

“Selagi urat timah di lubang galian masih bisa ditelusuri, entah menyamping atau masuk ke dalam perut bumi, penggalian untuk lubang kapu-kapu terus dilakukan. Kalau tidak ada, ya, pindah dan buka lubang baru di tempat lain. Soal batas wilayah sesuai titik-titik koordinat yang diajukan, itu, kan, hanya di atas kertas,” kata sang pemilik modal usaha penambangan rakyat. Kapu-kapu adalah istilah khas penambang timah di Belitung untuk lubang isap, sedangkan di Bangka disebut camoy.

Degradasi lingkungan

Bagai perilaku kucing beranak, para pencari pasir timah selalu berpindah-pindah tempat. Perpindahan titik galian dari satu tempat ke tempat lain dalam satu kawasan “berizin” sudah lumrah terjadi. Dan itu berarti, semakin banyak lubang isap dibuka maka makin luas dan kian menyebar kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas penambangan.

Kolong-kolong bekas penambangan menganga di mana-mana. Tanah dari perut bumi dikeruk, dibolak-balik, lalu disemprot untuk dikumpulkan di satu lubang. Tanah mengandung pasir timah yang sudah terkumpul di kapu-kapu atau camoy itu kemudian disedot dengan mesin pengisap, dialirkan ke sakan untuk memisahkan tanah dari pasir timah. Tanah yang sudah kehilangan unsur organiknya itu dibiarkan menumpuk di sembarang tempat.

Bicara soal revegetasi dan atau reklamasi lahan bekas tambang di lokasi-lokasi tambang timah rakyat di Bangka Belitung hanya memancing keprihatinan. Apalagi usaha tambang rakyat ini dalam praktiknya tidak hanya terbatas di areal kuasa pertambangan (KP) PT Timah yang sudah ditinggalkan, tetapi—dalam banyak kasus—juga merambah ke kawasan hutan yang dilindungi; entah itu hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung itu sendiri.

Berdasarkan citra satelit tahun 2004, diketahui bahwa 378.042 hektar dari 657.510 hektar kawasan hutan di Bangka Belitung sudah tergolong lahan kritis. Dari yang tersisa tersebut, kawasan hutan yang bervegetasi tinggal 17 persen dari luas daratan Bangka Belitung (1.642.414 hektar). Padahal, idealnya untuk satu pulau paling tidak luas kawasan hutan yang bervegetasi baik mencapai 30 persen.

Degradasi lingkungan kian meluas ketika kegiatan tambang makin tak terkendali. Selain di darat, wilayah aliran sungai dan laut dangkal di sekitar pantai juga dirambah, lewat sistem penambangan yang dikenal sebagai TI (terminologi resminya tambang inkonvensional, tapi kini sudah bergeser menjadi tambang ilegal) apung.

Akibatnya air sungai jadi keruh, terumbu karang di sekitar pantai musnah. Biota sungai dan laut di sekitar lokasi areal penambangan pun terganggu, juga ekosistem yang melingkupinya.

Di darat, kolong-kolong bekas galian tambang dapat dengan mudah ditemui di Bangka dan Belitung. Kolong-kolong yang sudah berusia lebih dari 10 tahun, umumnya membentuk danau yang cukup luas, adalah bekas tambang PT Timah. Setelah puluhan tahun, meski tak bisa kembali ke lanskap awal sebelum dibuka sebagai kawasan tambang, sebagian lokasi semacam ini masih bisa dimanfaatkan dengan perlakuan khusus.

Hasil penelitian Cynthia Henny dan kawan-kawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 40 kolong air pasca-penambangan timah di Bangka menunjukkan, kandungan logam berat yang terakumulasi di kolong-kolong tersebut cukup tinggi. Jenis logam berat yang banyak terdeteksi antara lain timbal (Pb), ferum (fe), dan arsen (As).

Tanpa pengolahan terlebih dahulu, budidaya ikan air tawar ataupun untuk air minum tidak direkomendasikan. Jika kolong-kolong yang sudah berusia di atas 10 tahun dengan kedalaman lebih 10 meter itu digunakan untuk berbagai keperluan, pemantauan kualitas airnya harus secara periodik, sebab sangat berisiko bagi manusia (Kompas, 4 September 2007).

Isu kerusakan lingkungan akibat maraknya aktivitas penambangan timah di Bangka Belitung memang cukup menggelisahkan. Walau persentase kawasan yang rusak masih relatif kecil dibandingkan total luas keseluruhan Pulau Bangka dan Belitung, namun karena lokasi kerusakan hampir merata—ada di tiap penjuru pulau—dengan intensitas kerusakan yang sudah tergolong kritis, sudah sepantasnya bila pemerintah setempat memberi perhatian ekstra.

Terhadap bekas tambang yang sudah lama ditinggalkan PT Timah, yang menguasai seluruh KP di Pulau Bangka dan Belitung, upaya reklamasi memang sudah dilakukan. Hanya saja hasilnya tidak terlalu maksimal. Di sejumlah lokasi, lahan-lahan itu bahkan seperti dibiarkan “mereklamasi dirinya sendiri” secara alamiah.

Celakanya, ketika bentang alam bekas areal penambangan PT Timah yang sudah ditinggalkan itu belum pulih dari kerusakan, para pelaku TI datang mengobrak-abrik kawasan itu, membuat kerusakan makin parah. Ketika aspek penegakan hukum tak berjalan sebagaimana mestinya, malah terkesan terjadi pembiaran, ancaman kerusakan lingkungan yang lebih parah sudah menjadi sebuah keniscayaan.

Ribuan surat pernyataan peduli keselamatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana ditandatangani Junaidi saat mengajukan permohonan izin pengalian pasir timah, hanya ada di atas kertas. Ketika timah habis, dan lubang galian ditinggalkan, Junaidi pun lupa pada janjinya: “Apabila tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap pengelolaan lingkungan hidup, yang berakibat rusaknya kelestarian lingkungan di sekitar usaha penambangan, maka saya bersedia dituntut sesuai dengan ketentuan yang berlaku...”

Tidak ada komentar: