Rabu, 10 September 2008

KEBANGSAAN

KOMPAS
Jumat, 5 September 2008

Bangsa Bahari (2)
SRIWIJAYA SANG PEMULA

Oleh Kenedi Nurhan

“... berlayar tidak lebih 20 hari dari Kanton ke Fo-shi (San-fo-tsi), singgah di sana selama enam bulan untuk mempelajari tata bahasa Sansekerta dan Mahayana,
kemudian pergi ke India Tengah dengan kapal Sriwijaya...”
I-Tsing, 671-695 Masehi


PERAHU sudah ditambatkan. Kaki-kaki kecil anak-anak desa itu begitu lincah menapaki kayu-kayu glondongan berdiameter 30-40 cm yang bergeletakan di bibir sungai. Di depan, bekas hutan ulin dan tembesu yang sudah berubah jadi semak belukar menyerkap pandangan.

Didampingi Husin (69) sebagai penunjuk jalan, Nurhadi Rangkuti masih saja asyik menyimak setiap detail cerita Husin tentang tempat yang ia datangi. Sebuah kawasan lahan basah di pantai timur Sumatera Selatan, bagian dari gugus daerah aliran Sungai Musi yang bermuara ke Selat Bangka, tempat para arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang melakukan serangkaian penelitian sejak beberapa tahun terakhir.

“Inilah tempat yang dinamakan kapal itu. Menurut cerita orang-orang tua dulu, entah berapa abad lampau, konon kapal milik juragan Dempu Awang kandas dan akhirnya terkubur di sini,” kata Husin (67) begitu tiba di lokasi yang dituju.

Nurhadi sejurus tercenung. Senyumnya menghilang. Kisah Husin—yang kerap bercampur dongeng dan mitos tentang sebuah kapal kuno yang telah berabad-abad terkubur tanah berlumpur—tidak lagi menarik perhatiannya.

Di sisi utara pokok pohon tembesu yang hanya tinggal bonggolnya, sebuah lubang besar bekas galian menganga. Tak pelak lagi, di lokasi yang dikabarkan pernah ditemukan mangkuk keramik dan tempayan dari Dinasti Yuan (1279-1368) tersebut, ternyata aktivitas penggalian liar oleh para pencari harta karun diam-diam masih terjadi.

Tradisi Asia Tenggara

Bagi kalangan arkeolog seperti Nurhadi, informasi menyangkut keberadaan “bangkai” kapal kuno di pesisir pantai timur Sumatera Selatan—juga Pulau Bangka, terutama di Bangka selatan, dan wilayah Jambi—selalu menarik perhatian.

Dalam konteks keberadaan Sriwijaya (abad VII-XIII) sebagai kerajaan maritim pertama yang menguasai laut Nusantara, khususnya di bagian barat hingga tanah Semenanjung, “bangkai-bangkai” kapal kuno itu bisa jadi bukti penguat. Paralel dengan isi kronik-kronik China serta risalah para musafir Arab dan Persia yang sebelumnya menjadi satu-satunya sumber acuan tentang kebesaran Sriwijaya sebagai penguasa “Laut Selatan”.

Sejak paruh kedua 1980-an, di wilayah Sumatera Selatan saja sudah ditemukan sejumlah situs terkait keberadaan kapal dan atau perahu kuno. Dari situs Samirejo di Kecamatan Mariana, Banyuasin (sekitar 14 kilometer timur laut Palembang), misalnya, didapati sisa-sisa perahu kuno dari masa antara 610-775 Masehi. Pertanggalan itu diperoleh dari uji karbon (C-14) atas sisa-sisa bagian perahu, yang sewaktu ditemukan terkubur di rawa, terdiri atas sembilan papan kayu dan sebuah kemudi berserta serpihan tali ijuk (Arrenga pinnata).

Berdasarkan teknik rancang bangunnya, hasil rekonstruksi yang dilakukan Pierre-Yves Manguin—ahli arkeologi maritim dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh)—menunjukkan bahwa perahu kuno dari Samirejo menggunakan apa yang ia sebut teknologi tradisi pembuatan perahu Asia Tenggara. Teknik yang sama juga terlihat pada temuan sisa-sisa perahu kuno di situs Kolam Pinisi dan Sungai Buah (Palembang), Tulung Selapan (Ogan Komering Ilir), Karangagung Tengah (Musi Banyuasin), serta di situs Lambur (Jambi) dan Kota Kapur (Bangka).

Berbeda dengan teknologi perahu kuno model China, di mana lambung perahu dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi pada kerangka dan dinding penyekat, pada tradisi perahu Asia Tenggara menggunakan apa yang disebut teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat (sewn-plank and lashed-lug technique). Teknik rancang bangun perahu seperti ini, menurut Manguin, hanya berkembang di perairan Asia Tenggara, terutama sebelum abad X.

Tonjolan segi-empat (tambuku) digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading. Pengikatnya berupa tali ijuk yang dimasukkan pada lubang di tambuku. Untuk memperkuat ikatan tali ijuk baru digunakan pasak kayu.

Teknik pembuatan perahu jenis ini diperkirakan sudah ada sejak masa awal Masehi. Bukti tertua penggunaan teknik ini dijumpai pada sisa perahu kuno di situs Kuala Pontian di Tanah Semenanjung, yang berasal dari masa antara abad III-V Masehi.

Sangat boleh jadi, ketika Dapunta Hyang Sri Jayanasa melakukan perjalanan suci (mangalap siddhayatra) untuk mencari tempat mendirikan wanua (perkampungan) sebagai cikal bakal pusat Sriwijaya, perahu jenis inilah yang ia gunakan bersama “... dua laksa tentara dan 200 peti perbekalan”-nya. Fragmen perjalanan suci yang berakhir pada pendirian wanua di lokasi yang sekarang bernama Palembang tersebut ditorehkan pada prasasti Kedukan Bukit bertarikh 16 Juni 682 Masehi.

Penguasa laut Nusantara

Naik kapal Sriwijaya! Begitulah pengakuan I-Tsing, pengelana dari daratan Tiongkok, yang dalam perjalanan relegiusnya dari Kanton ke India menggunakan armada kapal Sriwijaya. Dalam perjalanan pulang dari Nalanda (India) ke Kanton, I-Tsing bahkan sempat menetap empat tahun di pusat Kerajaan Sriwijaya.

Dalam salah satu kronik China yang diterjemahkan J Takakusu (A Record of the Buddhist Relegion as Practised in India and the Malay Archipelago, 1896), I-Tsing beberapa kali menyebut nama San-fo-tsi (mula-mula disebutnya Che-li-fo-tsi) sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Nama Che-li-fo-tsi dan San-fo-tsi itu sendiri digunakan oleh Dinasti Sung dan Yuan, juga Ming, untuk merujuk ke sebuah kerajaan di “Laut Selatan” yang terletak antara Chen-la (Kamboja) dan She-po (Jawa), yakni Sriwijaya!

Dalam pengelanaannya (671-695) mencari “pohon pencerahan” hingga ke India tersebut, I-Tsing mencatat bahwa Sriwijaya adalah kerajaan penting di bidang maritim, perdagangan, dan penyebaran agama (Budha). Kebesaran penguasa “Laut Selatan” ini tidak hanya dipicu runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina, tetapi juga berkat politik bertetangga baik dan didukung armada laut yang besar.

Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) menyebutnya sebagai kepiawaian Sriwijaya membentuk aliansi yang kuat. Untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang sangat strategis itu, Sriwijaya juga membentuk semacam angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.

Mengutip Oliver W Wolters, Dick-Read menambahkan, “... Kerajaan Sriwijaya—dari ibu kotanya Palembang di tepi Sungai Musi—tampaknya telah membangun ‘Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut nomaden. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara.”

Tak bisa dipungkiri, Sriwijaya adalah kerajaan yang lahir dan dibesarkan oleh dan berkat kekuatannya menguasai laut Nusantara. Bahkan, di akhir masa kejayaannya pun, pada sekitar abad XIII-XIV, kronik China dari Dinasti Yuan (1279-1368) dan Ming (1368-1644) masih mengakui eksistensi San-fo-tsi (Sriwijaya) sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di “Laut Selatan”.

“Pelabuhannya memakai rantai besi. Ibu kotanya terletak di tepi air (sungai), (dan) penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratap ilalang,” begitu antara lain laporan Chau Ju Kua—pengelana laut lainnya dari China—tentang Sriwijaya pada 1225 Masehi, sebagaimana dikutip F Hirth dan WW Rockhill (1967).

Wilayah kekuasaan Sriwijaya tak hanya terbatas di jalur lalu lintas perdagangan di Selat Melaka dan Laut Jawa, sebagai penguasa laut Nusantara ia juga menanamkan pengaruh hingga ke Madagaskar. Gabriel Ferrand (L’Empire Sumatranais Crivijaya, 1922) bahkan menyimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Malagasi adalah orang-orang yang datang dari Sriwijaya. “Hanya Sriwijaya yang memiliki pengetahuan kelautan yang andal untuk dapat mencapai Madagaskar,” tulisnya.

Bisa dipahami bila pada masa itu kapal-kapal Sriwijaya ikut memainkan peran penting dalam “perdagangan global”. Manguin memperkirakan, armada laut Sriwijaya yang dipakai—baik sebagai kekuatan ‘militer’ maupun berniaga—ketika itu mampu mengangkut barang antara 450-650 ton. Bahkan, dalam perkembangan berikutnya, dengan panjang kapal mencapai 60 meter daya angkutnya pun bertambah hingga 1.000 ton.

Di balik “tradisi besar” yang sudah ditorehkan Sriwijaya sebagai penguasa laut pertama di Nusantara, hal lain yang harus dicatat adalah bahwa kebesaran itu tidak berdiri sendiri. Juga tidak muncul secara tiba-tiba.

Di balik itu semua, meminjam ungkapan Denys Lombard, ada masyarakat heterogen yang mendukungnya. Mereka itu adalah para nelayan, pelaut, pengangkut, pedagang, petualang, bahkan para lanun alias perompak sekalipun. Mereka inilah, kata Lombard (Nusa Jawa; Silang Budaya, Jilid 2: 87-88), “... yang merentangkan jaringan-jaringan tua yang menjadi tumpuan kesatuan Indonesia dewasa ini.”

Namun, ‘tradisi besar’ yang terus berlanjut hingga kedatangan kekuatan kolonial itu kini tinggal dalam catatan sejarah. Lebih-lebih ketika pemerintahan kolonial Belanda menjadi penguasa laut Nusantara, dan akses pelaut-pelaut di kawasan ini dibatasi, kekuatan kerajaan-kerajaan maritim pun surut.

Sejak itu pula, untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan mereka, pusat-pusat kerajaan—terutama di Jawa—kemudian berpaling ke darat. Tradisi besar sebagai bangsa bahari pun jatuh ke titik nadir. Hingga kini! (wad)

Tidak ada komentar: