Rabu, 10 September 2008

kebangsaan

KOMPAS
Jumat, 5 September 2008

Bangsa Bahari(3)
DI LAUT (MASIHKAH) KITA JAYA?

Oleh Kenedi Nurhan

Jalesveva Jayamahe. Semboyan Angkatan Laut Republik Indonesia ini sungguh menggetarkan: “Di Laut Kita Jaya”!

Lupakan sejenak olok-olok ataupun cerita-cerita konyol terkait berbagai kasus ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Lupakan sementara waktu bahwa 80 persen dari sekitar 7.000 kapal perikanan di laut Nusantara adalah milik asing, meski sebagian besar berbendera Indonesia. Lupakan pula sejenak bahwa hanya lima persen dari ekspor berbagai komoditas kita yang dilayani kapal domestik, sedangkan 95 persen lainnya oleh kapal-kapal asing.

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri Ir Djoeanda pada 13 Desember 1957 dan diterima PBB pada 1982, bukankah sudah sepantasnya bila mimpi sebagai penguasa laut itu bisa diwujudkan? Kalaupun hari ini belum jadi kenyataan, paling tidak impian itu bisa menjadi semacam doa.

Masih dalam suasana peringatan ulang tahun kemerdekaan RI seperti sekarang, ketika nilai-nilai patriotisme muncul dari lorong dan sudut-sudut jalan, mendengar semboyan bahwa “Di Laut Kita Jaya” seharusnya menggugah kembali semangat bahari pada anak-anak bangsa ini. Ungkapan “nenek moyangku orang pelaut”, seperti tertuang dalam salah satu bait lagu yang sangat terkenal itu, juga seharusnya tidak sekadar kata-kata kosong tanpa disertai kesadaran untuk mengelola laut Nusantara sebagai sumber hidup dan penghidupan bagi anak bangsa ini.

Namun, yang kerap dilupakan adalah kesadaran bahwa kejayaan tidak datang begitu saja hanya lantaran kita ditakdirkan sebagai bangsa memiliki wilayah laut yang begitu luas. Kejayaan itu mesti dibangun dan direbut. Bukan cuma ada dalam slogan, apalagi sekadar semboyan yang dimitoskan.

Pertanyaannya, sudahkah bangsa ini mensyukuri karunia Tuhan itu dengan memberi perhatian lebih pada matra kelautan yang dimilikinya? Sudahkah laut ditempatkan sebagai yang utama, sesuatu yang penting, sehingga orientasi kita pun sebagai bangsa lebih diarahkan untuk menatap laut daripada daratan?

Tanpa harus membolak-balik statistik keuangan negara mengenai seberapa besar alokasi dana APBN untuk pembangunan kelautan, atau mengukur komitmen negara lewat aturan perundang-undangan yang diciptakannya sebagai pijakan bagi kebijakan kelautan, dengan gamblang pertanyaan-pertanyaan tadi sudah menemukan jawabannya sendiri.

Bahwa, setelah 63 tahun Indonesia merdeka, laut masih diabaikan. Kenyataannya bangsa ini memang belum memandang laut sebagai yang utama. Perhatian pemerintah masih dan bahkan cenderung akan terus tersedot ke daratan. Sejauh ini laut baru dilihat sebatas potensi tidur.

Meminjam ungkapan keprihatinan pakar lingkungan Otto Soemarwoto, wawasan bangsa Indonesia masih wawasan daratan dan bukan wawasan bahari. Negara pun berorientasi pada daratan, bukan pada lautan.

“Ini pula yang menjadi faktor kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, persoalan besar sebuah negeri dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah bagaimana memelihara kedaulatan laut dan memanfaatkan potensinya seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat,” kata Susanto Zuhdi, guru besar sejarah (maritim) dari Universitas Indonesia.

Ditinggalkan

Tiap tanggal 21 Agustus, kalender peringatan hari-hari bersejarah bagi bangsa ini mencatatnya sebagai Hari Maritim. Akan tetapi, seberapa banyak warga-bangsa yang tahu dan peduli bahwa hari itu menandai awal penguasaan laut Nusantara oleh Indonesia yang direbut dari tangan Jepang?

Pada peringatan Hari Maritim 2008, beberapa waktu lalu, hampir tak ada berita di media massa—cetak maupun elektronik—nasional yang menyuarakannya. Perhatian lebih terfokus pada kisruh dunia perpolitikan, kasus aliran dana Bank Indonesia yang kian tak menentu ujungnya, melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok, hingga gosip-gosip di sekitar kehidupan para selebritas.

Peringatan Hari Maritim pun berlalu tanpa catatan berarti. Laut baru ditoleh dan mendapat tempat dalam pemberitaan ketika ombak mengganas dan kisah tragis tenggelamnya kapal yang menelan banyak korban terjadi. Jangankan peringatan Hari Maritim, kisah heroik para penjelajah pulau-pulau terluar yang dimotori oleh Wanadri pun seperti tenggelam dalam hiruk-pikuk keseharian bangsa bahari yang masih berorientasi ke daratan ini.

Ironis? Memang! Tak berlebihan bila mantan Panglima Armada Barat TNI-AL, Djoko Sumaryono, sampai pada kesimpulan: “… harus jujur kita akui bahwa budaya maritim yang pernah kita miliki berabad-abad lalu telah lama kita tinggalkan.”

Akibatnya bukan saja laut Nusantara kehilangan kendali sepenuhnya oleh sang pemilik, kedaulatan bangsa pun kian terancam. Meski satu-dua kasus penangkapan kapal-kapal ikan asing yang beroperasi di perairan Nusantara sempat mencuat, namun sesungguhnya jauh lebih banyak yang bebas berkeliaran dalam aksi pencurian ikan di wilayah kedaulatan Indonesia.

Belum lagi berbagai kasus penyelundupan, perompakan, dan pelanggaran wilayah oleh kapal asing yang melintas tanpa izin. Semua itu mengindikasikan ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Berbagai potensi kerawanan itu secara tidak langsung ikut meruntuhkan wibawa Indonesia sebagai penguasa laut Nusantara di mata internasional.

Dengan luas wilayah laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, melingkupi pantai sepanjang 81.000 kilometer atau setara dua kali panjang khatulistiwa, bisa dipahami bila potensi kerawanan selalu muncul. Kondisi ini tentunya menuntut perhatian lebih, terutama bila mimpi bangsa ini untuk menjadi penguasa laut Nusantara benar-benar ingin diwujudkan.

Masalahnya, dihadapkan pada kenyataan ini, TNI-AL sebagai garda terdepan pengamanan laut Nusantara yang begitu luas hanya memiliki kurang dari 150 kapal perang. Itu pun hanya sepertiganya yang berpatroli secara bergantian, sepertiga lagi dalam posisi siaga, dan sisanya dalam perawatan.

Bahkan, menurut catatan peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Jaleswari Pramodhawardani (“Jalesveva Jayamahe”, Cuma Tinggal Mitos?, 2007), saat ini tinggal 40 persen alat utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI-AL yang bisa dikatakan layak pakai. Dari 209 unit KAL (kapal patroli berukuran lebih kecil dibandingkan kapal perang) misalnya, yang dalam kondisi siap operasi tinggal 76 unit. Adapun dari 435 unit kendaraan tempur Marinir hanya 157 unit dalam kondisi siap.

Keterbatasan itu masih dihadapkan pada kondisi di mana peralatan pertahanan yang dimilik TNI-AL tersebut rata-rata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi. Sekadar contoh, Jaleswari menunjuk kondisi 79 buah KRI, kapal patroli, dan kapal pendukung yang layak pakai ternyata usia pakainya 20-40 tahun.

Jaleswari bahkan menambahkan, “10 kapal pendukung (usia pakainya) telah lebih dari 40 tahun. Saat ini Marinir (malah) masih mempergunakan kendaraan tempur produksi tahun 1960-an, yang secara teknis telah sangat menurun efek penggetar dan pemukulnya.”

Dari paparan singkat tersebut, kian jelas terlihat bahwa kekuatan TNI-AL sebagai penjaga laut Nusantara sangat tidak sebanding dengan wilayah laut yang harus mereka awasi. Itu baru satu hal. Sudah bukan rahasia lagi bila kekayaan laut Nusantara lebih banyak dinikmati oleh pihak asing.

Di sektor perikanan misalnya, sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, dari sekitar 6,7 juta ton ikan hasil tangkapan dari wilayah laut Indonesia per tahun sebagian besar dinikmati pengusaha-pengusaha asing. Di luar hasil tangkapan yang dicuri nelayan-nelayan asing, lebih 80 persen dari sekitar 7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di perairan Nusantara milik pemodal dari luar yang diberi bendera Indonesia.

Kehadiran nelayan-nelayan asing bukan saja bentuk pelanggaran kedaulatan bangsa, tapi juga kian memarjinalkan posisi nelayan-nelayan domestik. Para nelayan kita makin terjepit.

Selain harus bersaing dengan nelayan asing yang ditopang permodalan kuat, nelayan-nelayan lokal juga harus menyiasati berbagai kesulitan akibat ketidakberpihakan pemerintah atas nasib mereka. Termasuk di dalamnya dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak yang terus “menggila” sejak beberapa tahun terakhir. Kearifan lokal yang mereka warisi secara turun-temurun juga ikut terdesak oleh penggunaan teknologi maju di bidang perikanan.

Bagaimana dengan transportasi laut untuk melayani aktivitas ekspor-impor? Ini jauh lebih mengerikan. Berbagai sumber menyebutkan, 95 persen arus bongkar-muat komoditas ekspor-impor dikuasai kapal-kapal asing. Bahkan, lebih 50 persen barang dagangan yang diantarpulaukan pun menggunakan jasa armada pelayaran asing berbendera “Merah Putih”.

Apa boleh buat! Inilah sebagian dari ironi yang melingkupi sebuah negari yang telah mengklaim diri sebagai negara kepulauan alias negara bahari. Keinginan untuk menjadi penguasa laut Nusantara yang sesungguhnya, sebuah negara maritim yang berorientasi kelautan, hingga sejauh ini tampaknya masih sebatas harapan.

Memang dibutuhkan keberanian untuk melakukan semacam reorientasi nilai. Paradigma negara konsentris yang bertumpu pada daratan mesti digeser—paling tidak dilakukan bertahap—ke pengembangan budaya maritim.

Jika tidak, semboyan Jalesveva Jayamahe-nya TNI-AL bisa jadi hanya berhenti sebatas slogan, sebagaimana kekhawatiran Jaleswari Pramodhawardani. Cuma tinggal mitos! (wad)

Tidak ada komentar: