Rabu, 10 September 2008

kebangsaan

KOMPAS
Jumat, 5 September 2008

Bangsa Bahari (1)
TRADISI BESAR YANG DILUPAKAN

Oleh Kenedi Nurhan

JAUH sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia.

Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihat fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini antara lain menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.

Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika, melalui Madagaskar, sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya, dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.

“Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum. Di bawah permukaan Afrika yang kita ketahui sekarang, jejak-jejak kaki dan sidik jari dari ‘hantu-hantu’ pendatang (itu) tak terhitung banyaknya,” tulis Dick-Read pada bagian pengantar buku terbarunya.

Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia di masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini, bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.

Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang fenomenal, para penjelajah laut Nusantara bisa dikatakan sudah melintasi sepertiga bola dunia. Meski sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, namun hingga abad VII kecil sekali peran kapal-kapal China dalam pelayaran laut lepas.

Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai. Paling jauh hanya mendekati pantai Siberia di utara dan Indocina di selatan. Adapun pelayaran laut dari China hingga India, melalui Selata Melaka, justru didominasi oleh kapal-kapal dari “Negeri Bawah Angin”, yang tak lain adalah kapal-kapal yang diawaki pelaut-pelaut Nusantara.

Tentang hal ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan India Selatan serta Persia—pada abad V-VII, terdadapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia. Dalam kaitan ini, Wolters menambahkan, “... kontribusi Indonesia harus dipandang sebagai penyedia sarana angkutan.”

I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaannya (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan, disebutkannya menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di “Laut Selatan”.

Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di “jalur sutera” melalui laut—meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary (alm)—sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi. Bahwa, pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.

Masyarakat bahari

Menjelang akhir abad VII, Sriwijaya mulai muncul dengan kekuatan armada lautnya yang kuat-terorganisir dan menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara. Dalam membangun kekuatan “angkatan laut”-nya itu, Sriwijaya ditopang oleh kelompok pelaut-pelaut nomaden.

Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur Indonesia.

Peran yang dimainkan pelaut-pelaut Indonesia di masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelalah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.

Jaringan masyarakat bahari tersebut sudah berkembang begitu luas paling tidak sejak abad XVI. Gelombang migrasi masyarakat bahari dari satu pulau ke pulau lain pun berlangsung intensif. Selain melahirkan selasar-selasar pelayaran yang menakjubkan, juga menciptakan kontak-kontak antarpenduduk, antarsuku dan etnis, yang pada gilirannya memunculkan semangat pluralisme dalam kehidupan berbangsa.

Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global. Mereka adalah “... para pelaut dan penjelajah par excellence dunia pramodern.”

Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalamai kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan tetapi sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.

Akses masyarakat untuk berhubungan dengan aktivitas kelautan kian dipersempit. Bahkan, kerajaan-kerajaan yang mengandalkan pada kekuatan maritim pun satu per satu rontok ditelikung Belanda. Pusat-pusat kekuasaan yang ada—khususnya Mataram di Jawa—lalu seperti menyuruk ke pedalaman, membangun “koloni-koloni” masyarakat agraris yang involutif. Laut pun ditinggalkan, dan berangsur-angsur dilupakan.

Lalu, terjadilah apa yang disebut Anthony Reid sebagai transformasi luar biasa, yakni kehancuran tradisi besar maritim Nusantara akibat tekanan ganda: ekspansi militer-perniagaan Belanda dan represi Mataram! Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan.

Bahkan, seperti yang diamati Susanto Zuhdi, ahli sejarah maritim dari Universitas Indonesia, sebagai tradisi kecil kelautan yang masih melekat pada bangsa ini pun kenyataannya sangat menyedihkan. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan banyak dijumpai di banyak tempat. Sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa...

Tidak ada komentar: