KOMPAS
Jumat, 4 April 2008
INDONESIA-MALAYSIA
KETIKA SELAT MALAKA JADI TEMPAT "BUDAK" MELAYU BERMAIN
Oleh Kenedi Nurhan
KALAU saja Sultan Husin dan Tumenggung Abdul Rahman tidak
termakan bujuk rayu John Crawfurd untuk melepaskan kekuasaan
mereka atas Singapura, boleh jadi sejarah Nusantara hari ini berjalan di
atas garis yang berbeda. Hanya karena tergiur imbalan masing-masing
33.200 ringgitdan 26.000 ringgit, keduanya rela "menjual" negeri pulau
itu kepada Inggris.
Namun, sejarah tak mengenal jalan pulang. Ibarat sebuah
perjalanan, sejarah hanya memberi kita tiket sekali jalan. Dan, pada 2
Agustus 1824, John Crawfurd dalam kapasitasnya sebagai Residen
Singapura ketika itu berhasil mendapatkan tanda tangan Sultan Husin
dan Tumenggung Abdul Rahman.
Setelah melepas Singapura dan pulau-pulau sekitarnya kepada
Inggris, duet penguasa dari Kerajaan Johor itu masih mendapat elaun
(semacam "santunan") bulanan. Masing-masing 1.300 ringgit bagi
Sultan Husin dan 700 ringgit untuk Tumenggung Abdul Rahman. Jika
keduanya berhasrat meninggalkan Singapura, Syarikat Hindia Timur
Inggris akan memberikan "sagu hati" masing-masing 20.000 ringgit
kepada Sultan Husin dan 15.000 ringgit untuk Tumenggung Abdul Rahman.
Nukilan peristiwa sejarahyang terjadi hanya beberapa bulan setelah
Inggris dan Belanda menandatangani Traktat London pada 17 Maret
1824 itu melengkapi perubahan geopolitik di wilayahNusantara.
Kesepakatan Inggris dan Belanda yang berbagi koloni di kawasan Selat
Melaka ikut mengubah peta peradaban dan perjalanan budaya bangsa
Melayu di wilayah ini.
Kerajaan Melayu-Johor (lama) yang semula mencakup wilayah Riau
dan Kepulauan Riau saat ini, dengan pusat pemerintahannya yang
berpindah-pindah di antara Johor-Bintan- Lingga-Penyengat,
akhirnya terbelah, baik secara geopolitik kekuasaan maupun dalam
satuan wilayah geografis pemerintahan.
Dalam perkembangan berikutnya, pemisahan wilayah kekuasaan
Melayu-Johor dan Melayu-Riau-Lingga tersebut secara perlahan
memengaruhi pula pola kekerabatan warga antarbangsa serumpun ini.
Lebih-lebih setelah kawasan Tanah Semenanjung dan Kepulauan
Nusantara menjadi bagian dari sebuah negara yang berdiri sendiri.
Pemahaman Melayu sebagai entitas kebangsaan pun berubah:
dari "kita" menjadi "kami". Bahkan sebagai entitas budaya pun
kemelayuan itu ikut bergeser. Apalagi, sebagaimana sinyalemen Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Mukhlis PaEni, pertautan
budaya yang menyangkut hati nurani itu dikalahkan oleh kepentingan
ekonomi antarnegara.
Wilayah semenanjung yang dulu adalah tempat orang-orang dari Bukit
Siguntang (baca: Palembang), Minang, Bugis, Jawa, dan Aceh (sekadar
menyebut beberapa nama suku bangsa) beranak-pinak sejak akhir -
abad ke-14, kini hanya tercatat dalam buku-buku klasik macam kitab
Sejarah Melayu (1563) dalam berbagai versinya dan Tuhfat al-Nafis
(1865). Rasa kebangsaan, nasionalisme, pada warga di masing-masing
negara ikut menyurukkan semangat keserumpunan yang memang sudah berangsur meredup.
Dilihat dari perspektif sejarah, tak berlebihan apabila sejarawan-
budayawan Taufik Abdullah sampai berucap: "Terkutuklah Inggris dan
Belanda karena mengadakan perjanjian 1824, yang telah membagi-bagi
sebuah wilayah kesejarahan."
Menggagas keserumpunan
"Bagi kami, Selat Melaka, Laut Jawa, dan Selat Sunda adalah ruang
bermain. Di sana, 'budak-budak' Melayu tidak merasa sebagai orang
asing, tapi seperti di negerinya sendiri," kata Datuk Zainal Abidin
Borhan, profesor madya dari Akademi Pengkajian Melayu, Universitas
Malaya.
Dalam konteks semacam itu pula, di depan peserta dialog budaya
Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, Datuk Zainal
Abidin Borhan sempat mengungkapkan kegusarannya tatkala ada yang
menuding mereka sebagai "pencuri" naskah-naskah Melayu klasik yang
ada di wilayah Nusantara. Diajuga mengaku heran mengapa niat
baiknya menghimpun naskah-naskah karya Tenas Effendy, tokoh
Melayu-Riau, dituding sebagai sebuah kelancangan.
Akan tetapi, masalahnya memang tidaklah sesederhana wacana untuk
menggagas terbentuknya "negara-bangsa" serumpun, dengan Melayu
sebagai basisnya. Di tengah situasi yang berubah, perspektif sejarah tak
selalu berjalan seiring dengan kenyataan yang terpapar hari ini.
Ketika mereka yang ada di semenanjung melihat naskah- naskah
Melayu klasik sebagai warisan bersama, misalnya, sebagian (untuk
tidak menyebut mayoritas) mereka yang tinggal di Kepulauan
Nusantara boleh jadi berpandangan sebaliknya.
Apalagi, sebagaimana diakui oleh tokoh Melayu seperti Tan Sri
Dato' Ismail Hussein, semangat nasionalisme yang kental di masing-
masing negara menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun
semangat keserumpunan. "Negara-negara jiran dilihat sebagai saingan,"
katanya.
Jika sudah demikian, gagasan untuk kembali ke "akar umbi" sebagai
bangsa serumpun menjadi kian pelik. Meski Melayu sebagai basis
keserumpunan dalam pemahaman orang-orang dari Tanah
Semenanjung juga termasuk Jawa dan lain sebagainya, ikatan emosi di
rantau Nusantara ini sendiri belum menemukan bentuknya. Persoalan
"kita" dan "kami" masih menganga. Situasi internal semacam ini--atau
internal discrepancies, meminjam istilah Taufik Abdullah-tak selamanya
bisa dipahami oleh tetangga di Tanah Semenanjung.
Masalahnya memang berpulang pada niat baik semua pihak. Ucapan
Datuk Zainal Kling dari Universitas Malaya berikut ini patut direnungkan.
Katanya, "Gagasan itu memiliki obligasi moral dan sosial untuk saling
membantu, meringankan beban, dan saling bekerja sama."
Jumat, 04 April 2008
Kemelayuan
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 4/04/2008 07:11:00 PM
Label: sejarah dan peradaban
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar