Jumat, 04 April 2008

Kemelayuan

KOMPAS
Jumat, 4 April 2008

BANGSA SERUMPUN
INDONESIA-MALAYSIA
DI SIMPANG JALAN

Oleh Kenedi Nurhan

SEJUMLAH cerdik-cendekia dari Tanah Semenanjung (baca: Malaysia)
mengaku heran mengapa orang-orang Indonesia begitu marah dan naik
pitam disebut "Indon". Bagi mereka, "Indon" sekadar akronim. Tanpa
pretensi, sebagaimana ungkapan Bangla untuk orang-orang Banglades,
Viet untuk orang Vietnam, atau Thai bagi orang-orang dari Thailand.

Sungguh, tak ada niat untuk merendahkan," kata Profesor Madya
Datuk Zainal Abidin Borhan dari Akademi Pengkajian Melayu,
Universitas Malaya.

Hanya saja, dalam dialog budaya Indonesia-Malaysia di Jakarta,
beberapa waktu lalu, penjelasan yang didedahkan oleh para cerdik-
cendekia dari Tanah Semenanjung tersebut lebih bersifat pembelaan
diri. Hanya semacam apologi. Alhasil, yang muncul ke permukaan justru
terkesan sebagai langkah (baca: strategi) menghindar dari persoalan,
tanpa upaya untuk memahami hakikat terdalam dari "kemarahan"
orang-orang Indonesia atas penyebutan "Indon" itu sendiri.

Untung ada Taufik Abdullah. Sejarawan-budayawan yang juga mantan
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mencoba
meletakkan duduk masalahnya dari perspektif kesejarahan. Di depan
forum itu ia bukan saja ber-"kisah" tentang pengalaman kolektif kedua
bangsa serumpun ini, tetapi juga memberi perspektif kepada para
sejawatnya dari Malaysia tentang makna kesejatian di balik penabalan
nama "Indonesia" bagi negara bekas jajahan Belanda ini. Indonesia
sebagai label bangsa adalah sebuah keniscayaan.

Bahwa, kata Taufik Abdullah, rekonstruksi kritis dari sejarah
pertumbuhan bangsa Indonesia-yang semula tak lebih dari kesatuan-
kesatuan etnis yang hanya diikat oleh kepentingan dagang dan politik,
kesamaan pokok-pokok aspek kultural, serta pengalaman sejarah, dan
akhirnya menjadi sebuah bangsa-merupakan pengetahuan yang selalu
dipupuk dan dipelihara. Dari sini lalu muncul kesadaran kebangsaan,
nasionalisme, yang melampaui batas-batas etnis dan daerah.

Dalam struktur pengetahuan ini pula ditunjukkan bagaimanasebuah
nama yang melingkupi semua anak bangsa akhirnya harus ditemukan.
nama Indonesia yang diambil dari konsep antropologi yang diperkenal-
kan ilmuwan Inggris, Earl dan Logan--tetapi dipopulerkan oleh Afdolf
Bastian, seorang ilmuwan Jerman--pun mulai digunakan oleh Bung
Hatta dan kawan-kawan pada 1924. Hebatnya, nama yang memicu
semangat kebangsaan ini dicuatkan tidak di "kampung halaman"
mereka yang kala itu masih bernama Hindia Belanda, tetapi justru di
negeri penjajah penjajahnya: Amsterdam!

"Bagi kami, Indonesia adalah suatu pernyataan dari tujuan politik
karena nama ini adalah simbol tanah air di masa depan," kata Bung
Hatta. Sebelumnya, Bung Hata bersama segelintir pemuda yang sedang
belajar di Negeri Belanda mengganti nama organisasi mahasiswa yang
mereka dirikan dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).

Nama "Indonesia" kemudian dikukuhkan sebagai nama bangsa dan
tanah air lewat Kongres Pemuda Indonesia II pada 28 Oktober 1928.
Sejak itu pula, bukan saja gerakan nasionalisme semakin memiliki
bentuk yang jelas, pengakuan nama "Indonesia" sebagai pengganti
Hindia Belanda dan inlanders pun mulai diperjuangkan.

Sejarah Indonesia pun mencatat itu semua dengan tinta emas. Dalam
perjuangan itu ratusan nasionalis yang sempat dipenjara, dibuang ke
berbagai daerah terpencil, serta tak terhitung jumlah pejuang yang
tewas dalam perang kemerdekaan.

"Karena itu, mestikah diherankan kalau orang Indonesia- setidaknya
yang agak terpelajar-dengan mudah akan tersinggung terhadap
ucapan 'Indon'; meskipun mungkin maksudnya tidak merendahkan
atau hanya kebiasaan semata. Soalnya ialah 'Indonesia' disadari benar
sebagai simbol dari cita-cita yang diperjuangkan dengan darah dan air
mata," papar Taufik.

Batu sandungan

Gugatan atas penabalan istilah "Indon" oleh Malaysia terhadap orang-
orang Indonesia, terutama mereka yang datang ke negeri jiran tersebut,
hanyalah satu dari sekian banyak kerikil yang menjadi batu sandungan
hubungan kedua negara. Persoalan seputar penanganan tenaga kerja
Indonesia alias TKI di sana, masalah perbatasan, hingga klaim atas
produk budaya yang memiliki banyak persamaan juga jadi masalah
tersendiri dalam kehidupan antarbangsa serumpun ini.

Pengakuan Malaysia sebagai "adik" atas Indonesia sebagai "abang"
tidak serta-merta memuluskan hubungan kekerabatan yang sudah
terjalin berabad-abad lampau. Berbagai upaya yang dilakukan kedua
pihak untuk meredam "silang-sengketa" itu-dalam kasus terakhir
terutama dipicu lepasnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dari
tangan Indonesia dan beralih ke Malaysia-sejauh ini baru bisa
meredakan aksi-aksi bersifat frontal.

Berbagai forum dialog antarbangsa, "pembangunan jembatan budaya"
melalui pentas kesenian oleh institusi resmi pemerintahan, hingga
pertemuan-pertemuan informal antarindividu di bidang kebudayaan memang
terus mewarnai jalinan kekerabatan antarnegara serumpun ini.

Musisi-musisi dari Indonesia masih saja laku berpentas di negeri
jiran tersebut. Begitu pun sebaliknya. Cukup banyak penyanyi Malaysia-
taruhlah seperti Siti Nurhaliza, Amy Search, atau Anita Sarawak pada
dekade lalu-yang sempat meroket namanya di Indonesia lewat sederetan
lagu-lagu mereka. Jauh ke belakang lagi, nama aktor-penyanyi P Ramlee
pun begitu akrab bagi kalangan masyarakat Melayu di Kepulauan
Nusantara pada beberapa dekade lalu.

Bahkan, Indonesia dan Malaysia (belakangan juga melibatkan Brunei
Darussalam) sudah menjalin kerja sama di bidang kebahasaan sejak 1972.
Dengan titik berat pada penyamaan ejaan bahasa Melayu/Indonesia di
kedua negara, serta "menciptakan" istilah-istilah di bidang keilmuan,
upaya untuk menjadikan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa
internasional terus dipupuk.

Lewat lembaga kerja sama yang kemudian dinamakan Majelis Bahasa
Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) itu, sedikitnya 270.000
istilah keilmuan sudah disepakati. Hanya saja, upaya penyamaan ejaan
dan "penciptaan" istilah-istilah keilmuan itu praktis tak bergaung.
Kenyataannya di setiap negara aspek kebahasaan dan peristilahan
berkembang dengan arahnya sendiri.

Boleh jadi betul sinyalemen Tan Sri Dato' Ismail Hussein, tokoh
Melayu dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (Gapena).
Katanya, walaupun kedua bangsa ini telah 50 atau 60 tahun merdeka,
tetapi masing-masing masih hidup dalam semangat nasionalisme yang
kental.

"Demi dan atas nama nasionalisme kita membina wilayah sendiri
dengan identitas sendiri. Negara-negara jiran lalu dilihat sebagai
saingan, dan saingan itu menjadi sangat rumit apabila kita adalah
sekeluarga, yang mewarisi banyak persamaan, terutama dari masa
lampau," ujar Tan Sri.

Padahal, kedua negara memiliki sejarah panjang sebagai bangsa
serumpun. Adalah Raja Parameswara, atau kerap disebut sebagai Iskandar
Syah (dalam kitab Sejarah Melayu disebut-sebut juga nama Sang Nila
Utama), yang merupakan cikal bakal raja-raja Melayu. Parameswara
adalah raja dari masa-masa akhir Sriwijaya yang hijrah dari Bukit
Siguntang (baca: Palembang) dan membangun imperium di Melaka-setelah
sebelumnya singgah selama beberapa tahun di Tumasik (Singapura)-pada
akhir abad ke-14.

Dalam perkembangan lain, orang-orang Minangkabau menjelajah hingga
menjadi raja di Negeri Sembilan, kelompok Bugis bertakhta di Johor,
sementara orang Aceh banyak bermukim di Kedah dan Perak. Anak-cucu
para perantau dari Kepulauan Nusantara ini lalu menetap dan menjadikan
kawasan Tanah Semenanjung sebagai "negeri baru" mereka, dan menjadi
negara sendiri setelah setiap wilayah lepas dari cengkeraman pejajah:
Inggris dan Belanda.

Hubungan sebagai bangsa serumpun itu terus dipupuk.
Politik "konfrontasi" pada era Presiden Sukarno pada 1960-an tak
membuat kekerabatan itu hancur. Karya-karya sastra Indonesia masih
jadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Tanah Semenanjung, juga di
Sabah dan Sarawak. Guru-guru dari Indonesia pun didatangkan ke
Malaysia.

Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Datuk Zainal Kling, guru
besar dari Universitas Malaya, Malaysia, perkembangan politik dan
hubungan kritikal antarnegara kemudian mematikan kemesraan itu.
Keserumpunan berangsur-angsur berubah menjadi sekadar ungkapan. Masing-
masing berjalan dengan ide dan semangat yang, kalau tak boleh dibilang
berseberangan, tak saling mendukung.

Padahal, meminjam pernyataan Tan Sri Dato' Ismail Hussein, "Kalau
saja Indonesia dan Malaysia 'digabungkan' tentulah merupakan dataran
tamadun Melayu yang utama di Asia Tenggara. Malah bukan tidak mungkin
di dunia!"

Tidak ada komentar: