KOMPAS
Jumat, 13 Juni 2008
Jejak Peradaban (3)
PENGELOLAAN SITUS
SAATNYA LIBATKAN MASYARAKAT
Oleh Kenedi Nurhan
TAK banyak orang tahu bahwa pelukis Raden Saleh (1807-1880)
termasuk orang yang ikut mempromosikan keberadaan Sangiran
dengan fosil-fosil purbanya. Bukan macam Nicolas Koutoulaski,
pedagang barang antik dari Swiss yang "mengangkut" banyak artefak
kuno keluar dari Mesir, Raden Saleh hanya menjualnya dalam bentuk
cerita tentang Sangiran kepada sejumlah ilmuan Eropa.
Upaya Raden Saleh berhasil. Eugene Dubois adalah salah satu yang
tertarik pada cerita Raden Saleh. Ahli anatomi berkebangsaan Belanda
ini akhirnya menyempatkan datang ke Sangiran pada tahun 1893,
setelah sebelumnya sempat mampir di Sumatera Barat.
Dubois terprovokasi oleh teori gurunya, Ernst Haeckel (The History
of Natural Creation), yang menyatakan bahwa manusia purba harus
dicari di daerah tropis yang tidak banyak mengalami perubahan iklim
dan di mana kera-kera besar masih banyak yang hidup. Indonesia
dinilai sebagai pilihan tepat.
Menumpang kapal Princess Amalia, Dubois pun berangkat menuju
Indonesia dan mendarat di Padang pada tahun 1887. Pilihan awal
penelitiannya tertuju ke Payakumbuh, Sumatera Barat. Mengapa
Sumatera Barat? Jawabnya sederhana. Di daerah ini dikabarkan banyak
terdapat gua, yang di Eropa gua-gua serupa itu kerap ditemukan fosil.
Tetapi, Dubois keliru. Jangankan fosil manusia purba, fosil hewan
pun tak muncul dalam catatan penelitiannya. Dubois kalah selangkah
dari rekannya, BD van Rietschoten. Dalam suatu pencarian mineral, ahli
geologi berkebangsaan Belanda ini malah menemukan fosil tengkorak
manusia purba di Desa Wajak. Lokasinya tak jauh dari tempat
penambangan batu pualam yang saat ini masuk wilayah Kabupaten
Tulungagung, Jawa Timur.
Temuan Rietschoten tahun 1888 itu tercatat sebagai penemuan fosil
tengkorak manusia pertama di Indonesia. Tertarik atas temuan
Rietschoten, Dubois mempercepat "kepindahannya" ke Pulau Jawa.
Sejumlah daerah yang dikabarkan mengandung fosil ia datangi,
termasuk Sangiran yang ia teliti pada tahun 1893.
Meski di Sangiran Dubois gagal mendapatkan temuan fosil manusia
purba yang ia idamkan guna membuktikan teori missing link-nya
Haeckel, sejak itu nama Sangiran sudah tercatat dalam kajian ilmu
pengetahuan dunia, khususnya di bidang paleoantropologi. Temuan
fragmen rangka manusia purba oleh Dubois diTrinil, Jawa Timur, yang
kemudian lebih dikenal sebagai Pithecantropus erectus, juga tak
menyurutkan minat dan perhatian para ahli akan keberadaan Sangiran.
Lebih-lebih ketika Von Koenigswald (1934) berhasil menemukan
adanya konsentrasi peralatan manusia purba di Desa Ngembung, nama
Sangiran kian menggema di jagat ilmu pengetahuan sebagai pusat
evolusi manusia di dunia. Temuan alat-alat serpih dari bahan kalsedon,
jasper dan tufa kersikan itu dipublikasikan di Singapura dengan sebutan
yang sangat terkenal di kalangan paleontolog: The Sangiran flake industry!
Belum berubah
Berbagai kisah yang selalu menyertai keberadaan Sangiran sebagai
laboratorium terlengkap dunia tentang sejarah evolusi manusia itu
sepintas sangat mengesankan. Apalagi sejak UNESCO mengakui dan
memasukkan Sangiran sebagai salah satu warisan dunia.
Akan tetapi, romantisme masa silam dan kebanggaan pada Sangiran
sebagai pusat tolehan dunia keilmuan itu sesungguhnya baru dinikmati
oleh kalangan ilmuwan dan akademisi. Itu pun terbatas di kalangan ahli
arkeologi dan atau paleoantropologi.
Bagaimana dengan masyarakat yang ada di sekitarnya? "Selama ini
negara terlalu dominan dalam kaitan pengelolaan berbagai kawasan
cagar budaya, termasuk di Situs Sangiran. Masyarakat hampir tak
diberi peluang untuk terlibat," kata Bambang Sulistyanto, arkeolog
dari Puslitbang Arkeologi Nasional yang tengah menyusun disertasi
tentang "Resolusi Konflik dalam Pengelolaan Situs Sangiran".
Sistem pengelolaan warisan budaya di negeri ini, dalam pandangan
Bambang, memang belum banyak berubah, baik dari aspek pelestarian
maupun sisi penelitiannya. Lihat saja di lapangan, tema-tema
penelitian masih lebih terfokus pada aspek akademik. Porsi penelitian-
penelitian yang bersifat terapan, yang secara langsung dapat
berkontribusi kepada masyarakat sekitar, kurang mendapat tempat.
Sementara di bidang pelestarian, secara umum masih berorientasi
pada penyelamatan. Kecuali pada situs-situs yang sudah bisa "dijual",
seperti Borobudur dan Prambanan, aspek pemanfaatan belum menjadi
tolehan.
Keberadaan masyarakat bahkan lebih banyak dipandang sebagai
unsur "pengganggu" kelestarian situs, yang dalam kasus Sangiran
disandarkan pada munculnya berbagai praktik perburuan fosil. Dalam
situasi semacam ini, tidak usah heran bila muncul apatisme pada
sebagian besar masyarakat yang tinggal di Sangiran dan sekitarnya.
Dalam persepsi masyarakat pada umumnya, keberadaan Situs Sangiran
malah dianggap sebagai beban. Ini pun untuk tidak menyebutnya
merugikan. Mengingat seluruh kawasan seluas 56 kilometer persegi itu
sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya meski penduduk adalah
pemilik sah atas lahan-lahan yang mereka tempati, mereka tak bisa
leluasa mengelola tanah miliknya kecuali sebatas untuk bermukim dan
bertani.
"Nilai lahan di sini sangat rendah. Bahkan, tanah yang letaknya di
perbatasan antara situs dan bukan, hanya dipisahkan jalan, selisih
harga jual bisa tiga hingga empat kali lipat," kata seorang warga Desa
Krikilan.
Lebih dari dua pertiga kawasan Sangiran merupakan lahan tandus.
Bukit-bukit tandus itu menghampar di antara Pegunungan Kendeng di
utara dan Pegunungan Selatan di selatan. Di tengahnya mengalir Kali
Cemoro. Di sanalah sekitar 83.000 jiwa penduduk bermukim, sebagian
besar mengandalkan hidup dari bertani di lahan yang tak subur.
Dengan tingkat pendidikan mayoritas hanya tamatan SD, bahkan
lebih 10.000 yang gagal menyelesaikan SD-nya, bisa dipahami bila
tingkat kepedulian pada apa yang disebut warisan budaya sangat minim.
Bila ada kasus, masyarakat yang tak terlibat pun enggan memberikan
informasi kepada petugas keamanan. Jangankan aktivitas perburuan
fosil yang dilakukan secara diam-diam, pencarian fosil dengan memapas
tebing bukit pun tak pernah dilaporkan, bahkan cenderung dilindungi.
Berbagai kasus perburuan dan perdagangan fosil di daerah ini
sebetulnya hanya sebuah ekses. Kemiskinan tentu saja akar sekaligus
pemicunya.
"Terus terang saya selaku lurah di sini tak punya kuasa untuk
melarang mereka. Ketika diminta menghentikan kegiatan memapas
tebing bukit, penduduk bersedia berhenti, tetapi dengan catatan agar
mereka diberi pekerjaan. Mereka antara lain minta difasilitasi untuk
mendapatkan sapi agar bisa diternakkan," kata Warsini, Lurah
Manyarejo, Kecamatan Plupuh.
Pengelolaan warisan budaya memang tidak bekerja di ruang hampa.
Hasil penelusuran Bambang Sulistyanto memperlihatkan, untuk
menghentikan aktivitas perburuan fosil sekaligus memberantas praktik
jual-beli benda cagar budaya itu sebetulnya tak terlalu sulit. Tidak
ada sistem organisasi yang kuat, apalagi melibatkan semacam mafia.
Boleh dibilang semua bersifat spontanitas, hanya berdasarkan
kebiasaan dan tanpa terencana secara matang.
Artinya, selain aspek penegakan hukum terhadap para "dalang"
(baca: tengkulak) perdagangan fosil, tak kalang penting adalah
bagaimana memberdayakan masyarakat di sana. "Dengan kata lain,
paradigma pengelolaan Situs Sangiran harus diubah. Bila selama ini
konsep pengelolaan lebih berkiblat pada kepentingan negara semata,
ke depan mesti mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang ada di sana.
Rasa memiliki akan pentingnya warisan budaya bangsa itu tak bisa
ditanamkan begitu saja kepada penduduk yang miskin dan lapar. Selama
keberadaan suatu warisan budaya tidak memberikan semacam
keuntungan, jangan berharap banyak pada mereka. Karena itu, dalam
pengelolaa Sangiran ke depan, jangan lupakan mereka....(KUM)
Rabu, 18 Juni 2008
Arkeologi
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 6/18/2008 06:42:00 PM
Label: sejarah dan peradaban
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar