Jumat, 04 April 2008

Kemelayuan

KOMPAS
Kamis, 10 Maret 2008

Indonesia-Malaysia
DI ANTARA NASIONALISME
DAN KESERUMPUNAN

Oleh Kenedi Nurhan

Pengantar Redaksi: Guna memulihkan hubungan Indonesia-Malaysia yang sempat terganggu,
Rabu, 5 Maret 2008, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerja
sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia menggelar Dialog Budaya
Indonesia-Malaysia. Berikut catatan kecil dari pertemuan tersebut.


SUNGGUH tak terelakkan. Ketika bangsa serumpun itu dipecah belah
oleh batas-batas administrasi kekuasaan yang memiliki ideologi
berbeda, kesalahpahaman pun sesekali (atau kerap kali?) muncul ke
permukaan. Sebab, secara geopolitik, sejarah telah 'membuatkan' garis
sempadan itu. Wajarkah? Boleh jadi demikian.

Begitulah gambaran umum yang ikut mewarnai hubungan Indonesia dan
Malaysia hari ini. Inggris dan Belanda telah mencencang kesatuan
sosial-budaya yang sudah terjalin di kawasan ini sejak berabad-abad
lalu. Perjanjian sepihak antara Inggris dan Belanda pada 1824 tersebut
bukan saja mengubah peta wilayah kekuasaan di rantau ini, tetapi juga
menggerus persepsi dasar tentang makna kemelayuan sebagai entitas
sosial-budaya.

Wilayah semenanjung yang dulu tempat orang-orang dari Bukit
Siguntang (baca: Palembang), Minang, dan Bugis beranak-pinak;
membangun 'imperium' mereka terutama di Melaka, Negeri Sembilan,
dan Johor, kini hanya tertinggal dalam catatan sejarah. Begitu pula
wilayah Nusantara. Selat Melaka, Laut Jawa, dan Selat Sunda yang dulu
menjadi semacam 'ruang bermain' bagi orang-orang dari Tanah
Semenanjung, sekarang bila mereka masih ingin meneruskan
'permainan'-nya harus melewati dan melengkapi serangkaian dokumen-
dokumen keimigrasian. Begitupun sebaliknya.

Lintasan sejarah

Masih segar dalam ingatan sejarah, proses pembentukan "bangsa
Melayu" dalam pengertian modern di Tanah Semenanjung tidak terlepas
dari keterlibatan dua suku-bangsa dari Sulawesi dan Sumatera: Bugis
dan Minang! Jauh sebelumnya, sekelompok orang dari Bukit Siguntang
(Palembang sekarang ini) yang dipimpin Raja Parameswara pergi ku
Tumasik (baca: Singapura) sebelum akhirnya menetap dan mendirikan
imperium di Melaka.

Akan halnya para perantau Minangkabau, sebagaimana dicatat oleh
sejarawan Taufik Abdullah, menjelajah dan kemudian bermukim di
wilayah yang kini disebut Negeri Sembilan. Setelah jumlah mereka kian
banyak, dan mulai merasa perlunya kesatuan 'politik', maka pengakuan
akan kedaulatan Sultan Johor pun diberikan sebagaipenguasa dan
pelindung mereka di tanah rantau.

Namun, masalahnya tidaklah segampang membalik telapak tangan.
Ketika Daeng Kamboja, bangsawan-petualang Bugis, menjadi Yang
Dipertuan Muda Johor dan mengklaim sebagai penguasa Negeri
Sembilan, orang-orang Minang perantauan itu menolak mengakuinya
dan meminta bantuan pada Sultan Johor. Hanya saja, raja muda Johor
ini tak cukup punya nyali 'berseberangan' dengan Daeng Kamboja.
Kepada orang-orang Minang ia hanya menganjurkan agar mereka
mendatangkan saja pemimpin dari negeri asal: Minangkabau!

Lewat kisah panjang dan berliku, utusan yang dikirim ke Pagaruyung
akhirnya bisa mendatangkan Raja Melawar sebagai pemimpin mereka.
Setelah disahkan oleh Sultan Johor sebagai Yamtuan Besar Negeri
Sembilan, Raja Melawar harus berhadapan dengan Daeng Kamboja.
Setelah konflik bisa dimenanginya, tahun 1773, Negeri Sembilan
akhirnya berdiri sebagai sebuah kesatuan politik.

Menurut catatan Taufik Abdullah, sampai mangkatnya Yamtuan Besar
yang ketiga setelah Raja Melawar, Negeri Sembilan masih mendatang-
kan pemimpin tertingginya dari negeri leluhur mereka; Pagaruyung.
Tetapi ketika Yamtuan Besar ketiga ini mangkat, sementara di
Minangkabau sedang dilanda gejolak gerakan Padri yang dahsyat, Negeri
Sembilan pun akhirnya memilih Yamtuan Besar di antara 'orang-orang
besar' di tanag perantauan tersebut. Namun, ungkapan 'Bertuan ke
Johor, bertali ke Siak, beraja ke Minangkabau'
tetap dikenang juga,
meskipun kemudian Negeri Sembilan telah terlepas dari dominasi Johor.

Akan halnya Johor adalah kelanjutan dari dinasti Melaka, yang
cikal bakal kejayaannya sebelum jatuh ke tangan Portugis (1511)
dibangun oleh Parameswara, pelarian politik dari Palembang. Di tengah
konflik internal di istana Kesultanan Johor, muncul lima bersaudara
Bugis, dengan Daeng Perani sebagai pemimpinnya.

Para bangsawan-petualang Bugis inilah yang diminta bantuan
meredakan konflik, kemudian mendapat konsesi sebagai Yamtuan Muda
alias Raja Muda. Meski berstatus sebagai raja muda, dalam realitas
pemerintahan justru ia lebih berkuasa daripada sultan. Meski gagal
menguasai Negeri Sembilan lantaran kalah bersaing dengan para
perantau Minangkabau, namun orang-orang Bugis berhasil menguasai Selangor.

Dalam perkembangan sejarah, ketika proses akulturasi budaya dan
etnik menjadi sebuah keniscayaan sebagai satu bangsa, masing-masing
lalu saling melebur menjadi apa yang kemudian lebih dikenal
sebagai 'bangsa' Melayu atau Malay. Istilah Melayu itu sendiri
sesungguhnya tidak muncul dari dalam, tetapi ditabalkan atau
(meminjam pernyataan budayawan Tan Sri Dato' Ismail Hussein
dari Malaysia) sebagai ungkapan untuk merangkum suku-bangsa yang berkulit sawo matang.

Dalam kebersamaan

Kisah sejarah yang dialami bersama oleh kesatuan masyarakat-etnis
di Nusantara, tetapi kini telah menjadi dua bangsa dan negara yang
berbeda, tersebut hanya nukilan kecil untuk memperlihatkan aspek
keserumpunan antarkedua bangsa. Tak usah terlalu jauh menelisiknya;
entah melalui penelitian arkeologi, kajian filologi, atau telaah
antropologis dan sumber- sumber tradisi misalnya. Karena, seperti
keyakinan Taufik Abdullah, tidaklah sukar untuk menemukan jalinan
pengalaman kesejarahan yang sama-sama dialami di kepulauan dan
semenanjung di Nusantara ini.

"Kalau 'nasib' yang menimpa kisah sejarah Negeri Sembilan dan
Johor-Riau dalam pengetahuan dan ingatan sejarah nasional Indonesia
dibicarakan lagi, maka hanya satu komentar yang bisa diberikan:
Terkutuklah Inggris dan Belanda karena mengadakan perjanjian 1824
yang telah membagi-bagi sebuah wilayah kesejarahan," kata sejarawan
Taufik Abdullah.

Akan tetapi, suka atau tidak, itulah buah dari pencencangan
kesatuan sosial-budaya pada masa kolonial atas kawasan negeri
serumpun ini. Dan, sejarah tak mengenal jalan pulang. Ibarat sebuah
petualangan panjang, sejarah hanya memberi kita tiket sekali jalan.

Dalam perkembangannya, setelah masing-masing menjadi sebuah negara
negara berdaulat bernama Indonesia dan Malaysia, masing-masing lalu
memupuk semangat nasionalisme yang berbeda satu sama lain. Apalagi
sejarah dan sikap kesejarahan terbentuknya nasionalisme sebagai
'negara-bangsa' pada masing-masing negara memiliki alurnya sendiri.

Sebagaimana diungkapkan Tan Sri Dato' Ismail Hussein, "Walaupun
kita telah 50 atau 60 tahun merdeka, tetapi kita semua masih hidup
dalam semangat nasionalisme yang kental. Nasionalisme meminta kita
bina wilayah sendiri, dengan identitas sendiri, dan melihat negara-
negara jiran sebagai saingan. Dan, saingan itu menjadi sangat rumit
apabila kita sekeluarga mewarisi banyak persamaan, terutama dari
masa lampau."

Persaingan memang tak terelakkan! Bukan saja secara sosial-politik
dan sosial-ekonomi, sisi budaya yang sejatinya tak mengenal istilah
kalah-menang juga ikut terseret dalam persaingan itu. Bisa dipahami
bila dalam 'persaingan'-atau apa pun istilahnya-tersebut kadang
muncul gesekan di sana-sini.

Kasus penistaan dan pengusiran tenaga kerja Indonesia (TKI) yang
ada di Malaysia, pemukulan wasit karate Indonesia oleh polisi Diraja
Malaysia, hingga tudingan 'pencurian' budaya kreatif Indonesia oleh
Malaysia (ingat lagu Rasa Sayange dan reog ponorogo yang diklaim
sebagai tari barongan?) hanyalah sisi lain dari proses
panjang 'persaingan' itu.

Tetapi, sudahlah, biarkan semua itu jadi sejarah. Membangun
kembali semangat kebersamaan sebagai bangsa serumpun sudah
selayaknya digaungkan. Dijadikan titik berangkat dalam proses 'rujuk
budaya'. Hanya saja, hubungan itu haruslah dibangun berlandaskan
pemahaman dan pengetahuan yang utuh antara satu sama lain.

Pembelaan bahwa ucapan "Indon" oleh pihak Malaysia dikatakan hanya
sebagai sebuah akronim dan dikemukakan tanpa prasangka, seperti
halnya mereka menyebut Viet untuk orang Vietnam, tentu saja sulit
sulit diterima dalam sistem komunikasi antarbudaya. Mau memahami
perasaan orang lain adalah kuncinya...

Tidak ada komentar: