Selasa, 04 Maret 2008

Pendidikan

KOMPAS
Selasa, 3 Mei 2005

Catatan Pendidikan
KOMITMEN PEMERINTAH DIRAGUKAN

Oleh Kenedi Nurhan

[Pengantar Redaksi: Berkaitan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2005, "Kompas" mengadakan diskusi paneldengan topik "Menagih Tanggung Jawab Negara dalam (Pembiayaan) Pendidikan". Diskusi berlangsung di Kantor Redaksi Harian Kompas, 25 April 2005, dengan menghadirkan panelis HAR Tilaar guru besar emiritus Universitas Negeri Jakarta), Aborrakhman Gintings (dosen Pascasarjana Universitas HAMKA, Jakarta), Faisal Madani (Balitbang Depdiknas), Toenggoel Siagian (Direktur PSKD), dan Ade Irawan (Indonesian Corruption Wacth). Diskusi dipandu oleh Jimmy Paat, ahli sosiologi pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta. Tulisan berikut adalah sebagian dari hasil diskusi tersebut.]

PESIMISME selalu saja mendominasi ruang-ruang diskusi seputar
dunia pendidikan di Tanah Air. Bahkan, tak jarang pesimisme itu
memunculkan sikap skeptis berlebihan manakala persoalan-persoalan
yang dibahas dikaitkan dengan peran negara (baca: pemerintah!).
Suara-suara sumbang pun muncul, mulai dari yang berbentuk
ungkapan-ungkapan verbal hingga bernada sinis dan sarkastis.

Pesimisme itu pulalah yang mencuat dalam diskusi panel Kompas kali
ini. Diskusi yang juga dihadiri sejumlah aktivis dan praktisi pendidikan
itu sampai pada kesimpulan: masyarakat harus diprovokasi,
termasuk--jika memang itu diperlukan-- mengambil alih peran negara
yang sudah terbukti mandul!

Bahwa, selama dunia pendidikan hanya dijadikan jargon, isu, dan
alat politik oleh pemerintah yang berkuasa; selama kalkulator
pendidikan dipegang oleh orang-orang yang tidak cukup peduli pada
keuntungan sosial dan ekonomi jangka panjang bangsa; selama
pendidikan bermutu dipandang oleh negara sebagai sesuatu yang mahal
karena dilihat dari manfaatnya yang instan; dan selama politik
berkebangsaan di negeri ini menempatkan pendidikan hanya ekor dari
pertumbuhan ekonomi dan tidak melihat pendidikan itu sendiri sebagai
investasi sosial sekaligus investasi ekonomi; maka selama itu pula
bangsa ini hanya menjadi bangsa kuli!

Oleh karena itu, upaya memprovokasi masyarakat untuk terus
menggedor dan menggugat negara agar terjadi perubahan pada level
kebijakan di satu sisi tetap penting dilakukan, tetapi pada saat
bersamaan perlu juga melakukan semacam gerakan pemberdayaan dari bawah.

Salah seorang panelis malah melihat bahwa keterpurukan dunia
pendidikan di Tanah Air--lantaran sikap elite pemerintahan yang enggan
memajukan pendidikan dalam artian yang sesungguhnya--bukan
sekadar karena tidak ada komitmen seperti yang selama ini disinyalir
oleh banyak kalangan. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh,
ketidakmampuan itu sesungguhnya lebih disebabkan memang jauh di
lubuk hati mereka tidak ada niat untuk memajukan rakyat yang di bawah.

"Selama ini kita salah mengambil asumsi bahwa di Indonesia
pendidikan itu penting. Pendidikan tidak pernah penting di Indonesia.
Tidak ada indikator apa pun yang bisa menjadi rujukan untuk
mengatakan bahwa pendidikan diperlakukan penting di Indonesia.
Sebagai kebutuhan ya, tetapi sebagai hasil perlakuan tidak!" begitu
pandangan salah satu panelis.

Mau bukti? Lihatlah angka-angka GDP. Lihat pula anggaran negara
yang terpapar lewat APBN dan APBD. Di manakah posisi pengeluaran
untuk memajukan dunia pendidikan kita di luar anggaran-anggaran yang
bersifat rutin? Lalu, ketika kita masuk dalam anggaran pengeluaran
keluarga, angka yang diperoleh jauh lebih mencengangkan lagi. Hasil
studi sejumlah ahli menunjukkan, sedikit sekali di antara keluarga
kelas menengah Indonesia yang mengalokasikan pengeluaran mereka
untuk pendidikan setara dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain.

***

TERKAIT dengan tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan
bagi masyarakat, salah seorang panelis melihatnya hingga sejauh ini
masih sebagai suatu keniscayaan. Amanat konstitusi sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945 hasil amandemen serta UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memerintahkan negara
mengalokasikan dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD di
masing-masing daerah masih belum dipenuhi.

Tidak ada uang? Ini alasan klasik yang selalu dijadikan tameng
oleh setiap pemerintahan yang berkuasa hanya agar bisa berkelit dari
tanggung jawab. Padahal, dana itu sesungguhnya ada. Yang tidak ada
justru kemauan politik pemerintah.

Agar bisa melaksanakan pendidikan dasar gratis saja, misalnya,
menurut hitungan salah seorang panelis, hanya dibutuhkan dana Rp 13,2
triliun. Kebutuhan ini terdiri atas biaya pengganti SPP bagi 24 juta
siswa SD sebesar Rp 360 miliar per bulan atau Rp 4,02 triliun per
tahun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta guru masing-masing
sebesar Rp 500.000 per bulan diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau
Rp 13,2 triliun per tahun. Artinya, kalau kita memang ingin
melaksanakan pendidikan dasar gratis, lalu gaji guru ditingkatkan
agar bisa memacu kualitas mengajar mereka, total dana yang
dibutuhkan Rp 17,4 triliun. Angka ini hanya separuh dari total APBN
bidang pendidikan, yang-ironisnya-bocor di mana-mana.

Kebutuhan ini pun masih lebih kecil bila dibandingkan dengan dana
APBN tahun 2004 yang dikorupsi sebesar Rp 23 triliun. Bahkan, jauh
lebih kecil lagi apabila dibandingkan dengan pengucuran dana BLBI
senilai Rp 144 triliun, yang belakangan justru menguap dan sangat
boleh jadi akan hilang tak tentu rimbanya.

"Bandingkan pula dengan penyediaan infrastruktur pengembangan
ekonomi yang mencapai Rp 60 triliun per tahun selama lima tahun.
Sementara untuk pendidikan, negara kok tampaknya pelit amat," ujar
seorang panelis memaparkan, seraya mengingatkan pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pembangunan bidang pendidikan
menjadi salah satu di antara tiga pembahasan yang dijanjikannya
dalam kampanye pemilihan presiden tempo hari.

Menyikapi itu semua, semakin jelas bahwa persoalan sesungguhnya
terletak pada kemauan politik pemerintah: apakah memang mau
mencerdaskan bangsa ini? Apakah para elite pemegang kekuasaan itu
benar-benar memang menginginkan semua anak Indonesia maju?

"Saya rasa(-kan) tidak," kata salah seorang panelis.

Oleh karena itu, dengan penjelasan ini, tudingan bahwa pendidikan
di negeri ini tidak dianggap penting semakin bisa dirasionalisasikan.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tidak adanya kemauan politik
pemerintah untuk memperlakukan pendidikan sebagai satu hal yang
pokok bagi hari depan bangsa bukanlah suatu kesalahan atau kekeliruan
konsep, tetapi memang sebagai sebuah pandangan dan atau sikap
politik. Artinya, di balik jargon yang selalu mendengung-dengungkan
bahwa pendidikan itu penting, sesungguhnya memang tidak ada niat dari
pemegang kekuasaan untuk membuat semua anak bangsa di negeri ini maju.

Mengapa? Salah seorang panelis lain menukas dengan nada bicara
sarkastis, "Ya, karena yang membuat kebijakan itu adalah orang-orang
yang mampu dan sudah memiliki posisi."

Begitu memprihatinkan pendidikan di Indonesia. Begitu tidak
berpihaknya negara pada orang-orang miskin dalam mengakses
pendidikan yang berkualitas. Formula yang begitu jelas dalam kontrak
sosial antara negara dan rakyat-sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 berikut batang tubuhnya pada Pasal 27 Ayat (2),
Pasal 31, Pasal 34; serta UU Sistem Pendidikan Nasional-tetapi dalam
praktiknya masih jauh dari apa yang diharapkan. Masih begitu jauh dari
apa yang dipikirkan dan makin lebih jauh lagi dari apa yang digagaskan.

Bahkan, kini ada kecenderungan dunia pendidikan kita ramai-ramai
terjebak ke arah komersialisasi. Pendidikan kini sudah menjadi sebuah
komoditas yang di-"perjualbeli"- kan. Pada tingkat tertentu
pendidikan sebagai jasa tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari
investasi yang memberi manfaat sosial bagi kepentingan kehidupan
berbangsa yang lebih luas, tetapi lebih dimaksudkan sebagai institusi
yang bisa mendatangkan keuntungan secara finansial.

Alhasil, di negeri ini terjadi semacam pengelompokan kelas dalam
dunia pendidikan. Golongan yang kuat membuat lembaga pendidikan
bermutu, baik berdasarkan kekuatan ekonomi dengan dana sendiri
(baca: sekolah swasta unggulan) maupun berdasarkan kekuatan politik
dengan dana publik (baca: sekolah negeri unggulan). Sementara di
garis lain, golongan yang kurang sanggup memperjuangkan
kepentingannya yang tidak mempunyai kekuasaan atau juru bicara,
terpaksa harus menerima pendidikan yang kurang bermutu.

Secara umum, penggolongan yang membentuk semacam stratifikasi
sosial itu terdiri atas sekolah tingkat elite atau yang kini dikenal
sebagai sekolah swasta top; lalu tingkat menengah terdiri atas
sekolah negeri top dan swasta tertentu; tingkat menengah-bawah
kebanyakan diisi oleh sekolah-sekolah negeri; serta tingkat bawah
alias sekolah gurem yang mayoritas adalah sekolah-sekolah swasta
pada umumnya.

Ironisnya, sebagian besar masyarakat Indonesia menyekolahkan anak-
anak mereka justru di sekolah yang berada di level paling bawah
tersebut. Dan memang, bagi rakyat kebanyakan, mereka tidak memiliki
pilihan alternatif kecuali masuk ke sekolah-sekolah gurem yang
identik dengan sekolah-sekolah tak bermutu.

Dunia pendidikan di Indonesia memang telah menggurita, seperti
halnya munculnya jalan- jalan tol di sekitar Jakarta. Orang-orang
kaya bisa pilih jalan tol, tetapi bagaimana dengan si miskin yang
harus setia menatapi jalan-jalan sempit, berlubang, dan selalu
diwarnai kemacetan?

Salahkah kemunculan sekolah-sekolah elite mahal sebagai harga
yang harus dibayar untuk pendidikan berkualitas itu? Tentu saja
tidak. Begitu pun keberadaan jalan tol. Hanya saja, dengan mengambil
perumpamaan jalan tol, seorang peserta diskusi mengingatkan bahwa
meski tak ada yang salah bila orang lewat jalan tol, pemerintah tetap
wajib menyediakan jalan non-tol yang kondisinya memadai.
Kenyataannya? Jalan non-tol ini selain tidak memadai, kondisinya pun
jelek: berlubang-lubang! Dalam dunia pendidikan mereka yang
terpaksa lewat jalur non-tol ini justru yang paling banyak, yakni sekitar
60 persen dari total anak-anak bangsa ini yang bersekolah.

Lebih ironis lagi, kini ada gejala kuat bahwa kenyataan yang ada
di masyarakat itu ingin diformalkan oleh negara. Pemerintah Susilo
Bambang Yudhoyono lewat Menteri Pendidikan Nasional Bambang
Sudibyo telah menyusun dokumen Rencana Strategi Depdiknas Tahun
2005-2006. Dalam bab yang membahas bagaimana strategi pencapaian
tujuan, termaktub gagasan untuk menerapkan sistem subsidi silang
dalam pembiayaan pendidikan, serta akan memberlakukan pembagian
jalur pendidikan formal menjadi formal standar dan formal mandiri.

Dengan sistem pembiayaan yang menganut konsep subsidi silang,
sekolah negeri bahkan dimungkinkan untuk mendapatkan laba. Adapun
konsep pembagian jalur pendidikan formal menjadi formal standar dan
formal mandiri, kecenderungannya nantinya akan membedakan antara
anak-anak yang mampu secara finansial dan akademik di satu pihak dan
mereka yang tidak memiliki kemampuan itu.

"Ini kan model pendidikan yang diskriminatif dan hanya akan
menghasilkan neokolonialisme dan neoliberalisme. Kalau mau dihitung
pakai kalkulasi untung-rugi, ya memang, membangun sekolah itu rugi.
Akan tetapi, ini kan membangun bangsa. Dalam kaitan bangun bangsa
semestinya keuntungan social benefit harus lebih diutamakan," kata
salah seorang panelis.

Lagi pula, diingatkan bahwa orang-orang pintar tidak selalu
muncul dari keluarga kaya. Artinya, tidak ada jaminan orang yang
mampu membayar lebih mahal bisa lebih pintar dari orang miskin
sejauh si miskin diberi akses untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.

Oleh karena itu, demi keadilan, negara melalui pemerintah yang
berkuasa harus memfasilitasi semua anak bangsa--tanpa membedakan
kaya-miskin--agar bisa menikmati pendidikan yang bermutu. Jika tidak,
pemerintah bisa dituduh mengabaikan amanat konstitusi dan undang-
undang turunannya (baca: UU Sistem Pendidikan Nasional).

"Penguasa yang mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab tersebut
selayaknya dituntut secara hukum karena bisa digolongkan tindakan
malapraktik atau dalam bahasa hukum disebut misconduct," kata sang
panelis.

***

TANDA-tanda pemerintahan saat ini kurang berpihak pada
kepentingan rakyat banyak--dalam konteks pendidikan--sebenarnya
sudah terlihat sejak awal. Ketika pemerintahan yang berkuasa sekarang
ini naik, kebijakan yang diambil bukan pertama-tama bagaimana
membenahi infrastruktur pendidikan dan tenaga kependidikan, yang
pada gilirannya akan berujung pada peningkatan kualitas pendidikan,
tetapi fokus perhatian justru soal ujian nasional dengan penekanan pada
standar minimal nilai kelulusannya.

Ironisnya, kebijakan yang berdalih untuk kepentingan
standardisasi pendidikan nasional itu diselenggarakan di tengah
kenyataan bahwa kualitas pendidikan antardaerah dan interdaerah
mengalami disparitas yang amat mencolok. Dalam kondisi semacam ini,
pertanyaannya adalah mendesakkah kebijakan itu dilakukan ketimbang
pembenahan infrastruktur dan tenaga kependidikan? Apalagi bila ujian
nasional itu dilakukan dengan keyakinan bahwa ia akan dengan
sendirinya memacu perbaikan mutu pendidikan, sebagaimana diyakini
oleh Wakil Presiden Muhamad Jusuf Kalla.

Untunglah, kekecewaan publik sedikit terobati ketika muncul
pernyataan dari pemerintah bahwa dalam tiga tahun ke depan seluruh
bangunan sekolah yang bobrok harus selesai direnovasi. Pernyataan
Jusuf Kalla itu tentu kita catat sebagai sebuah janji dan akan kita
lihat kenyataannya tiga tahun mendatang.

Pada akhirnya semua itu bergantung pada pilihan kita hari. Tak
bisa dimungkiri bahwa kita memang dihadapkan pada pilihan-pilihan
yang sulit: apakah mementingkan distribusi pendapat ataukah investasi
sosial lewat pembenahan secara menyeluruh dan besar-besaran di
bidang pendidikan?

Kalau distribusi pendapatan yang ditekankan, seperti
kecenderungan selama ini, investasi sosial jadi berkurang. Ini juga
sebetulnya masalah besar dunia, seperti tampak lewat "perseteruan"
kubu World Economic Forum dan World Social Forum.

Terlepas dari itu semua, pada akhirnya kita memang harus memilih.
Dan, tampaknya, pemerintah sekarang masih belum melihat arti
penting investasi sosial lewat pendidikan.

class="fullpost">


Tidak ada komentar: