Selasa, 04 Maret 2008

Pendidikan

KOMPAS
Sabtu, 25 September 2004

Catatan Pendidikan
PENDIDIKAN ELITIS
DENGAN SEMANGAT EGALITER

Oleh Kenedi Nurhan

PENDIDIKAN di Indonesia selalu menampakkan fenomena menarik
sekaligus merisaukan. Di satu sisi kita dirisaukan kenyataan
kualitas sumber daya manusia Indonesia secara umum masih jauh
tertinggal, sebagaimana ditunjukkan UNDP lewat Indeks Pembangunan
Manusia (HDI) Indonesia yang ada di peringkat ke-112 di antara 175
negara. Posisi ini bahkan di bawah Vietnam. Tetapi, pada saat
bersamaan kita "dikejutkan" kemunculan segelintir anak bangsa ini
yang tampil di forum bergengsi di tingkat dunia dengan menggondol
sejumlah prestasi membanggakan.

Di berbagai olimpiade sains, selama tiga tahun terakhir, pelajar-
pelajar Indonesia selalu pulang ke Tanah Air dengan membawa medali.
Bahkan di Olimpiade Fisika Internasional di Pohang, Korea Selatan,
beberapa waktu lalu, prestasi anak-anak bangsa ini ada di atas
Amerika Serikat.

Kita dibuat terperangah oleh prestasi mengagumkan seorang pelajar
asal Jayapura, Papua. Karya tulis hasil penelitiannya mampu bersaing-
dan akhirnya dinyatakan sebagai pemenang-di tingkat dunia. Terakhir,
dari ajang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) tahun ini, seorang
panelis mencatat sejumlah prestasi mengagumkan. Apalagi juara pertama
untuk salah satu kategori karya ilmiah yang dilombakan juga berasal
dari satu sekolah di Jayapura.

Pertanyaan sederhana yang kerap muncul adalah apakah buah dari
keberhasilan-keberhasilan itu merupakan hasil suatu sistem pendidikan
kita, atau sesungguhnya lebih karena bakat-bakat yang sudah ada pada
masing-masing anak? Tanpa bermaksud meniadakan usaha dan kerja keras
para guru yang telah membimbing mereka, para panelis cenderung
meragukan, bibit-bibit unggul itu muncul karena adanya model
pembinaan yang terencana dan berangkat dari suatu sistem pendidikan
yang kita anut saat ini.

Pertanyaan berikutnya meluas, bahkan berubah menjadi semacam
gugatan. Apakah pendidikan di Indonesia kini secara tegas merujuk
sistem pendidikan tertentu? Bila sistem itu ada, lalu ke mana arah
yang ingin dituju bangsa Indonesia lewat pendidikan? Atau, jangan-
jangan sebetulnya kita sedang mengikuti satu garis kebijakan yang
arahnya tidak jelas!

SALAH seorang panelis melihat, dunia pendidikan kita sebenarnya
penuh berbagai anomali. Ada semacam penyimpangan, seperti terpapar
lewat contoh kasus di atas. Munculnya kencenderungan, terutama di
perkotaan, sekolah-sekolah elite--yang tanpa disadari telah menjadi
semacam media pengelompokan kelas sosial--juga merupakan bentuk lain
dari anomali dalam dunia pendidikan kita. Bahkan kini sudah dianggap
tidak relevan adanya pengkategorian sekolah pemerintah (baca: negeri)
dan partikelir (baca: swasta). Mengapa? Karena, kecenderungan
pembagiannya lebih didasarkan pada sekolah murah dan mahal!

Menyikapi kenyataan ini, seorang panelis berucap, "Dulu, sewaktu
saya di SMA tahun 1954, sekelas dengan saya ada anak perdana menteri,
anak kolonel, anak letnan kolonel, dan anak sersan. Kini tidak lagi;
yang kaya ke sini, yang tengah ke sini, yang miskin ke sana. Sekarang
ini sekolah bukan lagi pemersatu bangsa, tetapi pemersatu kelas
(sosial)." Meminjam terminologi Karl Marx, lanjutnya, "Di sekolah-
sekolah top, yang diajarkan adalah pemimpin bangsa, di tengah
dikatakan 'kalianlah yang profesional'. Lalu, di sekolah (kelas)
bawah, di sekolah yang bisa diakses oleh orang-orang miskin,
diajarkan, kalian nrimo sajalah..."

Tentu selalu ada argumentasi yang bisa dimunculkan. Tetapi apa
pun bentuk argumentasi itu, tetap saja ia menyisakan aneka pertanyaan
lanjutan yang harus dijawab dunia pendidikan kita.

Anomali-anomali yang ada itu, paling tidak menunjukkan tiga hal
yang patut dicermati. Pertama, pertumbuhan sistem telah melampaui
pertumbuhan kemampuan kita mengelolanya. Kedua, ada sesuatu yang
tidak beres dalam sistem pendidikan kita. Ketiga, ada potensi-potensi
yang terpendam dalam bangsa ini.

Semua permasalahan yang melahirkan berbagai anomali dalam dunia
pendidikan itu, suka atau tidak, sebenarnya merupakan hasil dari
proses pertumbuhan cukup panjang dari suatu sistem pendidikan kita
itu sendiri. Pada awal kemerdekaan, sistem pendidikan kita amat
elitis, sangat bermutu, tetapi juga sangat eksklusif. Dasar dari
sistem itu adalah warisan sistem pendidikan yang dibangun
pemerintahan kolonial Belanda. Selama pendudukan Jepang, sistem ini
mengalami penyederhanaan secara struktural, dan sedikit pemiskinan
secara substansial.

Dalam bentuk aslinya, sistem pendidikan yang elitis ini amat
menekankan pada kemampuan bernalar secara logis-empirik, selain juga
kemampuan menghimpun pengetahuan secara sistematis. Ciri-ciri ini
masih terasa jelas menjiwai sistem pendidikan kita hingga tahun-tahun
sekitar 1955.

Namun, perkembangan sosial politik pada akhir 1950-an menuntut
dilakukannya pemekaran yang cepat atas sistem pendidikan kita. Jumlah
sekolah ditingkatkan beberapa kali lipat. Dampak dari sistem
pendidikan yang sangat cepat ini ialah menurunnya mutu pendidikan,
mengingat tenaga pengajar di semua tingkat pendidikan tidak dapat
dipersiapkan secara mendadak.

Semua itu sudah terjadi. Lagi pula, ekspansi sistem pendidikan-
dengan semua akibatnya- kala itu merupakan suatu keharusan yang tidak
dapat dihindarkan. Kita tidak dapat terus-menerus mempertahankan
sistem pendidikan yang elitis; sistem yang sangat kecil, tetapi juga
sangat bermutu-dalam iklim kemerdekaan politik. Akan tetapi, kita pun
tentu tidak dapat membiarkan kemerosotan mutu pendidikan kita
berlangsung secara terus-menerus. Kemerosotan itu harus dihentikan
demi kelangsungan eksistensi bangsa ini.

Kini kesadaran itu telah muncul. Ada cukup banyak kelompok dalam
masyarakat yang tidak rela melihat dunia pendidikan kita makin
tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Alhasil, timbul apa
yang disebut gejala national plus schools dan muncul sejumlah
perguruan tinggi swasta bermutu. Di tingkat pendidikan menengah
muncul pula gejala SMA dan SMP favorit. Kelompok masyarakat ini
berusaha melepaskan diri dari apa yang disebut salah satu panelis
sebagai keterbelengguan mediokritas.

Namun, di sisi lain kita pun menyaksikan kemunculan sekolah-
sekolah pinggiran yang didirikan oleh "petualang-petualang" tanpa
memperhatikan masalah mutu. Di tengah masyarakat kita yang masih
seperti sekarang, lembaga-lembaga pendidikan yang tak bermutu dan tak
bertanggung jawab ini mendapat tempat juga. Tentu saja ini
menunjukkan suatu gejala kultural yang tidak sehat; bahwa, dalam
masyarakat kita masih cukup banyak kelompok yang melihat pendidikan
lebih secara simbolik daripada secara fungsional.

***

DIHADAPKAN pada kenyataan ini, pertanyaannya adalah, apa yang
harus kita lakukan?

Merosotnya mutu pendidikan nasional terutama karena kita tetap
mempertahankan agenda pendidikan yang elitis (ini terlihat dari
penggunaan kurikulum sekolah yang-menurut tokoh pendidikan J Drost-
sesungguhnya hanya cocok untuk sekitar 30 persen siswa) dalam sistem
yang berubah menjadi sistem massal. Oleh karena itu, untuk mengakhiri
situasi seperti sekarang, pertama-tama adalah menghentikan penggunaan
kurikulum yang elitis. Sebagai gantinya, kembangkan kurikulum yang
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan nyata dari mayoritas populasi
sekolah.

Pada saat bersamaan, tetap dirasa perlu memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk menumbuhkan lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat
elitis. Ini diperlukan terutama untuk mewadahi bibit-bibit unggul
yang ada. Bukankah, di negara mana pun, kelompok-kelompok elite itu
dibutuhkan baik untuk mencapai kemajuan maupun dalam persaingan
antarbangsa.

Hanya saja, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan elite ini harus
tetap berwatak egaliter, yaitu melaksanakan misi pendidikan elitis
berdasarkan meritokrasi. Artinya, keberadaan mereka jangan justru
menjadi tempat berkumpul kelas masyarakat tertentu; hanya anak-anak
orang kaya dan pejabat. Bibit unggul yang berasal dari lapisan
masyarakat tak mampu juga harus mendapat tempat. Ini yang harus
terus-menerus selalu diawasi.

Dalam pandangan tokoh pendidikan seperti Mochtar Buchori, watak
egalitarianisme ini mutlak harus dipertahankan dalam program
pendidikan. Apa pun bentuk dan sistemnya. Anak-anak tidak boleh
dibiarkan merasa superior terhadap anak-anak lain. Mereka harus

dibimbing untuk menyadari bahwa kelebihan-kelebihan tertentu yang
dimilikinya itu harus dipergunakan untuk mengabdi kepada sesama anak
bangsa. Inilah yang disebut pendidikan yang berwatak elitis secara
akademik tetapi tetap memelihara ruang persemaian bagi tumbuhnya
watak egaliter secara kultural. (nar)
class="fullpost">

Tidak ada komentar: