Jumat, 29 Februari 2008

Pendidikan

KOMPAS
Rabu, 29 Desember 2004

Catatan Pendidikan
PENDIDIKAN PILAR DEMOKRASI

Oleh Kenedi Nurhan

DALAM novel berjudul Sang Alkemis, Paulo Coelho membuka kisah
perjalanan spiritual sang tokoh dengan memberi sedikit kejutan. Lewat
buku yang dibaca oleh sang Alkemis, pengarang asal Brasil itu
menghadirkan kisah lain tentang Narcissus, anak muda yang setiap hari
berlutut di tepi danau hanya untuk mengagumi dirinya sendiri.

Dalam legenda aslinya, anak muda yang begitu terpesona dan
tergila-gila oleh keindahan dirinya itu--pada suatu pagi--jatuh dan
mati tenggelam. Di titik tempat ia jatuh tumbuhlah sekuntum bunga,
yang kemudian dinamakan narcissus.

Akan tetapi, Paulo Coelho bukan mengakhiri ceritanya dengan cara
demikian. Ketika Narcissus mati, yang muncul justru dewi-dewi hutan
dan mendapati danau yang semula berair segar dan jernih telah berubah
menjadi danau air mata yang asin.

"Mengapa engkau menangis," tanya dewi-dewi itu.

"Aku menangisi Narcissus," jawab danau.

"Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus. Sebab, walau kami
selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi
keindahannya dari dekat," kata mereka.

"Tapi... indahkah Narcissus?" tanya danau.

"Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?" dewi-dewi
bertanya heran. "Di dekatmulah dia tiap hari berlutut mengagumi
dirinya!"

Mendengar itu, danau pun terdiam. Akhirnya ia berkata, "Aku
memang menangisi Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa
Narcissus itu indah. Aku menangis karena--setiap ia berlutut di dekat
tepianku--aku bisa melihat di kedalaman matanya pantulan keindahan-
ku sendiri."

Tafsir atas penggelinciran kisah di atas memang bisa beragam.
Dalam mitologi Yunani kuno, Narcissus memang digambarkan sebagai
anak muda rupawan yang terlalu mengagumi dirinya sendiri. Tidak
anek bila ada yang menamsilkan keelokan Narcissus bagai keindahan
kehidupan berdemokrasi.

Akan tetapi, seperti halnya karakter Narcissus, demokrasi pun
ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia menghadirkan gambaran dari
kehidupan yang diidam-idamkan banyak orang, tetapi di sisi lain
justru di balik gemerlap harapan itu ia menafikan kaum terpinggir
yang tak bisa masuk dalam pusaran kehidupan, lalu mendorong mereka
ke jurang yang dalam dan gelap. Itulah esensi dari tamsil di atas.

Namun, lepas dari itu semua, adakah yang peduli pada "danau"
tempat Narcissus bercermin sehingga keelokan dan keindahan itu
benar-benar terasa dan menjadi ada? Dalam konteks kehidupan
demokrasi, danau dalam kisah Narcissus bisa ditamsilkan sebagai
pendidikan; tempat persemaian bagi munculnya benih-benih
demokrasi! Bukankah sejatinya justru "danau"-lah pemilik sesungguh-
nya dari keindahan itu, yang terpantul di kedalaman mata Narcissus?

Jika tafsir ini bisa dipakai sebagai pijakan, maka akan
mengingatkan kembali satu pengertian lama yang kerap dilupakan:
pendidikan sesungguhnya justru menapaki bangunan demokrasi dan
soko guru demokratisasi. Artinya, manakala pendidikan diabaikan,
demokrasi akan berjalan timpang lantaran ia tidak ditopang oleh
masyarakatnya yang terdidik.

Di tengah situasi di mana masyarakat yang--meminjam ungkapan
Edgar Faure--seharusnya menjalankan peranan yang ada dalam
kemampuannya yang sadar akan identitas, cita-cita, dan kekuatannya
tidak muncul ke permukaan, maka demokrasi tak ubahnya bagai
bangunan tanpa fondasi. Demokrasi yang hidup dalam bangunan

masyarakat semacam ini bukan saja amat rapuh, tetapi yang lebih
mengerikan ia akan mudah terjerumus ke arah totaliterisme berkedok demokrasi.

Padahal, demokrasi yang ideal hanya mungkin dapat terlaksana
dengan baik dan sesuai harapan semua orang jika masyarakat
pendukungnya sudah terdidik. Kembali meminjam pandangan Edgar
Faure, masyarakat yang demikian adalah mereka yang sadar akan
peran, kemampuan, identitas, cita-cita, kekuatan, serta--ini yang juga
amat penting--memiliki pengetahuan dan tanggung jawab atas diri dan
masyarakat tempat ia berada. Tanpa itu semua, demokrasi niscaya
akan gagal memanusiakan manusia.

Karena demokrasi mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara
penuh, sementara untuk bisa terlibat membangun demokrasi butuh
bekal ilmu pengetahuan yang cukup memadai, implikasinya adalah
bahwa pendidikan harus bisa diakses oleh semua orang. Pendidikan
(dalam arti sempit pengajaran di sekolah) bukan saja harus bersifat
terbuka, tetapi juga harus memungkinkan semua orang bisa menikmatinya.

Dalam kaitan ini, layak ditanyakan sekaligus menggugat
pemerintah: sudahkah cita-cita ideal ini terwujud di negeri bernama
Indonesia ini? Sudahkah pemerintah menyediakan sarana dan
prasarana pendidikan yang memadai? Sudahkah pemerintah
menyediakan pendidikan bermutu bagi semua warga negara, termasuk
bagi orang-orang miskin yang justru merupakan bagian terbesar anak-anak di negeri ini?

Belum diketahui apa jawaban pemerintah, tetapi dengan mudah dapat
dilihat bahwa itu semua masih jauh dari harapan. Indikatornya sangat
sederhana. Sampai hari ini masih disodori kenyataan bahwa ada sekitar
16 juta anak usia di atas 10 tahun yang tergolong buta huruf. Padahal
semua mafhum di mana posisi orang-orang buta huruf dalam kehidupan
demokrasi di tengah masyarakat maju yang ditandai dengan persaingan.
Dalam konteks ekonomi global, mereka yang tidak bisa baca-tulis
hampir pasti akan tersingkir.

Selain masih tingginya angka buta huruf, juga terus diusik oleh
pemberitaan perihal gedung-gedung sekolah di berbagai daerah--
khususnya untuk tingkat sekolah dasar (SD)--yang dalam kondisi
memprihatinkan. Sementara di sisi lain, anak-anak dari keluarga tidak
mampu yang gagal melanjutkan pendidikan hanya karena terbentur
masalah biaya ada di mana-mana.

Adakah akses pendidikan bermutu bagi orang-orang miskin? Bagi
mereka, akses pada pendidikan bermutu masih ibarat dongeng sebelum
tidur. Kalaupun ada orang-orang miskin yang bisa ikut menikmati
pendidikan bermutu, hal itu hanya terjadi dalam kasus yang sangat
khusus: si anak miskin itu benar-benar punya kemampuan akademik
luar biasa lalu mendapat beasiswa, atau status sosial si anak naik hanya
lantaran menjadi anak angkat orang berpunya!

"Sekolah gratis? Ha-ha-haĆ ," kata Udin tertawa getir. Udin
adalah anak dari keluarga tak mampu yang terpaksa putus sekolah
lantaran ketiadaan biaya. Karena kerap menunggak uang sekolah,
bangku kelas II sebuah SMP swasta yang berada di gang sempit di Desa
Kedaung, Ciputat, Tangerang, akhirnya ia tinggalkan. Bermodalkan
sepeda motor sewaan, dia kini beralih status menjadi tukang ojek.

Memang, selama pemerintah hanya menyuarakan pentingnya pendidikan
pendidikan sebatas jargon, pendidikan gratis--khususnya bagi
masyarakat miskin--tak lebih dari sebuah ilusi. Sudah berbuih mulut
para pakar dan tokoh pendidikan berbicara soal pentingnya meningkat-
kan secara signifikan alokasi anggaran bidang pendidikan, tetapi reaksi
pemerintah selalu bersembunyi di balik kedok ketiadaan dana.

Kini, tak usah dulu menggugat amanat UUD 1945 yang memerintahkan
negara ini menyediakan anggaran untuk bidang pendidikan minimal 20
persen dari APBN dan APBD (di tingkat provinsi dan kabupaten/kota).
Dana kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) senilai sekitar
Rp 40 triliun pun cuma sebagian kecil (meski secara persentase
mendapat alokasi terbesar dibandingkan dengan bidang lain) disalur-
kan untuk bidang pendidikan.

Itu pun akan disalurkan melalui mekanisme pemberian beasiswa,
yang jelas akan bocor di sana-sini. Belum lagi bila dihadapkan pada
persoalan teknis sehingga beasiswa tidak seluruhnya diterima oleh
pihak yang paling membutuhkan, atau tingkat kebermanfaatannya
menjadi rendah. Padahal, menurut catatan pengamat ekonomi
Muhamad Ikhsan, biaya untuk pendidikan (dasar) gratis sebenarnya
hanya membutuhkan Rp 10 triliun.

Di negara yang pemerintahannya hanya menjadikan pendidikan
sebatas jargon, gagasan untuk mengalihkan sebagian besar dana
kompensasi BBM untuk membiayai pendidikan dasar gratis dinilai
sebagai sesuatu yang mustahil bisa dilaksanakan. "Dananya terlalu
besar," begitu alasan pemerintah, sebagaimana diungkapkan Mendiknas
Bambang Sudibyo.

Begitulah watak pemerintahan di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Tidak ada keberanian untuk berkorban demi pencerdasan
anak-anak bangsa. Setiap mengalkulasi biaya untuk kepentingan
pendidikan selalu terpaku pada angka-angka, yang dinilai terlalu besar,
sementara di sisi lain pemubaziran di berbagai sektor terus terjadi.

Jika kondisi semacam ini terus berlanjut, di mana tempat
bersekolah bagi orang-orang miskin? Sementara dunia masa kini,
sebagaimana dikemukakan Johhanes Muller--ahli politik pembangunan
di Hochschule fur Philosophie, Munchen, Jerman--menganggap
pendidikan sebagai sumber yang paling menentukan bagi pertumbuhan
ekonomi, keberhasilan pribadi, dan dengan demikian sebagai jalan
menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Jika orang-orang miskin itu
tetap bodoh, lalu di mana posisi mereka dalam masyarakat di negara
yang menganut faham demokrasi seperti Indonesia ini?

Patut dicatat, di negara-negara maju pengeluaran negara untuk
pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar sudah jauh melampaui
negara-negara berkembang dan miskin. Pada tahun 1992 saja, untuk
kebutuhan tersebut negara-negara industri mengeluarkan biaya hingga
3.535 dollar AS per anak. Bandingkan dengan pengeluaran biaya
pendidikan di negara-negara berkembang yang cuma 158 dollar AS per
anak, sementara di negara-negara miskin kurang dari 30 dollar AS per
anak.

Kenyataan di lapangan memperlihatkan betapa timpang struktur
sosial yang ada di masyarakat kita. Kenyataan suram ini diperparah
oleh sistem pendidikan kita yang tak memberi akses yang cukup bagi
masyarakat kelas bawah untuk bersekolah.

Lembaga pendidikan yang bermutu memang tersedia, tetapi itu tidak
membuka peluang bagi semua orang. Mekanisme seleksi yang ketat
telah lebih dahulu menyingkirkan mereka. Sementara di sisi lain,
pemerintah, yang jelas-jelas mengemban tanggung jawab sosial untuk
menyelenggarakan pendidikan (dasar) yang berkualitas bagi semua
warga negara justru gagal mengambil peran tersebut.

Alhasil, pendidikan yang seharusnya bisa mengangkat status sosial
anak tidak mampu setara anak dari keluarga berkecukupan, atau anak
buruh asongan setara anak bankir, cuma ada dalam konsep-konsep
muluk yang jauh dari realitas sehari-hari. Pada kenyataannya, anak
kelas pekerja tetaplah anak pekerja dan kelak akan menjadi pekerja,
anak buruh akan menjadi buruh, dan anak penganggur sangat boleh jadi
kelak menjadi penganggur pula. Sungguh menyedihkan!

Siklus kesuraman terus berputar. Itu lantaran pendidikan di
negeri ini gagal menjadi alat "pembebas", persis seperti yang
disinyalir Paolo Freire, tokoh pendidikan dari Amerika Latin itu. Tak
bisa tidak, yang dibutuhkan sekarang adalah semacam kerangka
institusional sehingga memungkinkan orang-orang miskin bisa
mendapat akses ke lembaga-lembaga pendidikan yang juga berkualitas.
Jika tidak, fungsi sekolah hanya akan memperlebar jurang strata sosial
di masyarakat.

Kebudayaan "bisu", lagi-lagi meminjam ungkapan Freire, akan
tumbuh subur. Karena kalah dalam segala hal, apalagi berdebat tentang
kehidupan dengan bahasa-bahasa "tinggi", mereka terpaksa diam dalam
berkata-kata. Mereka bahkan tidak mampu mengungkapkan pendapat
dan kepentingan mereka lewat saluran yang benar. Penindasan pun
terjadi. Tak aneh jika sekali waktu kekerasanlah jalan yang mereka tempuh.

Lantas, bila muara dari semua itu menjadi sebuah ironi kehidupan,
di mana letak indahnya si elok-rupawan bernama demokrasi? Pada sang
Narcissus ataukah pada danau yang memberinya pantulan keindahan itu?
class="fullpost">


Tidak ada komentar: