Selasa, 05 Februari 2008

Seni Tradisi

KOMPAS
Rabu, 12 November 2005

Opera Melayu
SANG MAESTRO DARI MANTANG ARANG

Oleh Kenedi Nurhan



Lelaki berjanggut putih itu terlihat sudah tua. Telah tujuh puluh
tiga tahun usianya. Rambut di kepalanya pun sebagian besar sudah
memutih. Tubuh kurusnya tampak goyah kala berjalan, bahkan mulai
terbungkuk-bungkuk.

Keriput-keriput di wajahnya juga tak bisa lagi ia sembunyikan.
Begitu pun gigi-giginya yang mulai bertanggalan. Semua itu
mengguratkan betapa panjang jalan hidup yang telah ia tempuh, yang
kian memperlihatkan penderitaan dan keprihatinan. Dan, itu semakin ia
rasakan akhir-akhir ini, justru di masa tuanya yang tinggal seumur
jagung.

Dari kesan selintas tersebut, boleh jadi orang mungkin akan
bergumam: masih adakah yang bisa diharapkan dari lelaki tua, kurus,
dan hitam berkeriput, dengan urat-urat yang seperti mau keluar dari
balik kulit lengannya yang mulai mengendur itu?

Di sini orang bisa terkecoh. Di balik kerentaan yang menggerogoti
hidupnya, sorot mata lelaki tua dari kampung nelayan di Pulau
Mantang-sebuah pulau kecil di tenggara Pulau Bintan, Provinsi
Kepulauan Riau-itu ternyata tetap memancarkan daya hidup yang
mengagumkan. Sedikit saja pembicaraan menyentuh seputar kehidupan
seni tradisi Melayu kepulauan bernama makyong, semangat hidupnya
seperti menggelegak. Kenangan manis sebagai pemain makyong yang
sempat ia nikmati masa kejayaannya pada era tahun 1950-an sontak
membuncah, membuat ia merasa betapa hidup itu sungguh berarti dan
tetap pantas untuk dinikmati.

Apalagi ketika ia sudah duduk berselimpuh menghadapi gendang dan
kedombak, dua jenis alat musik seni tradisi makyong yang sangat ia
kuasai. Gerakan tangannya begitu lincah. Bunyi gendang dan kedombak
yang ia mainkan secara bergantian melahirkan kesan magis, membuat
seni tradisi yang berangkat dari tradisi teater tutur-yang dalam
pemanggungannya menggabungkan unsur ritual, tari, lagu dan lakon;
sehingga kadang-kadang disebut juga opera Melayu-itu sedap ditonton.


Sekilas tak ada yang istimewa dari pukulan-pukulan repetitif yang ia sajikan bersama pemusik makyong lainnya. Tapi tengoklah saat salam pembuka pentas makyong dimulai. Saat tari dan lagu betabik dimunculkan sebagai tanda pertunjukan makyong akan bermula. Dan, saat musik yang mengiringi tari dan lagu itu bergerak dalam tempo cepat.


Ya, ketika suara yang dihasilkan dari pukulan gendang dan kedombak itu menyatu dalam tingkahan irama gong, mong, breng-breng, dan biola,
sebuah orkestra dari tradisi "musik klasik" Melayu seperti muncul
dari lorong-lorong masa silam.

"Kalau sudah main makyong, Pak Khalid kadang lupe bahwa sekarang
dah tue. Soal-nye inilah hidup Pak Khalid. Sejak kecik Pak Khalid dah
main makyong," kata lelaki tua berjanggut putih, yang tak lain
adalah Khalid Kasim alias Pak Khalid, satu di antara dua tokoh
pewaris utama makyong yang masih hidup.

Dalam bercakap, dedengkot makyong Melayu-Riau kepulauan itu
memang biasa menggunakan nama diri sebagai kata ganti orang pertama,
bukan ber-aku atau ber-saye sebagaimana lazimnya orang Melayu.

Bersama Muhamad Atan Rahman alias Pak Atan (almarhum), Pak Khalid
memang sempat menikmati masa kejayaan seni makyong pada sekitar tahun
1950-an.

Bersama Pak Atan (alm) pula-tentunya beserta para pemain makyong
lainnya-kala itu mereka tak cuma manggung di Pulau Bintan dan
Penyengat, tapi kerap diundang hingga ke Daek dan Lingga. Bahkan tak
jarang harus memenuhi undangan bermain makyong ke kawasan negeri-
negeri serumpun, seperti ke Johor Bahru dan Brunei Darussalam. Untuk
ukuran saat itu, bayaran yang mereka terima pun tidaklah kecil.
Sekali bermain masing-masing bisa membawa pulang uang hingga 100
dollar Singapura.

Masa kejayaan itu merupakan lanjutan dari kisah generasi makyong
tahun-tahun sebelumnya ketika era kerajaan di kawasan ini masih
berjaya. Ketika itu, makyong mendapat tempat terhormat dalam istana-
istana raja. Sebagai seni istana, kehidupan para pemain makyong juga
dijamin oleh kerajaan.

Namun, seiring meredupnya kekuasaan raja-raja Melayu, seni
makyong pun ikut terlempar dari istana dan mulai menjadi kesenian
rakyat jelata. Belakangan, sejak tahun 1960-an, makyong kian
terpinggirkan dan pada tahun 1970-an praktis kehilangan rohnya
sebagai seni pertunjukan di atas panggung. Seni makyong pun tinggal
nama. Baru pada tahun 1990-an, upaya membangkitkan kembali batang
yang terendam itu-yang antara lain dimotori oleh Asosiasi Tradisi
Lisan (ATL)-membukakan mata banyak pihak bahwa makyong di Riau
ternyata masih ada.

Jejak sang maestro

Sejak Pak Atan meninggal dunia dua tahun lampau, kini tinggal Pak
Khalid yang boleh dikategorikan sebagai maestro, dalam arti tahu
banyak tentang apa dan bagaimana seharusnya bermain makyong. Selama
bertahun-tahun, Pak Khalid-lah bintang panggung makyong dari Desa
Mantang Arang.

Makyong memang telah menjadi "darah" yang mengalir dalam hidup
Pak Khalid. Sebelum dikenal sebagai penabuh gendang dan kedombak yang
piawai, ia adalah pemeran tokoh Awang Pengasuh yang merupakan tokoh
sentral sekaligus roh pertunjukan makyong.

Dia pula yang biasanya memimpin upacara ritual sebelum
pertunjukan makyong dimulai. Dengan mantra-mantra khusus yang mereka
yakini punya kekuatan magis, Pak Khalid bertindak sebagai bomoh atau
panjak untuk memimpin upacara "buka tanah" guna meminta izin
sekaligus maaf pada para leluhur agar tak ada yang mengganggu mereka
selama pertunjukan.

Sebagai pemeran tokoh sentral dalam setiap pementasan, paling
tidak hingga 10 tahun lalu, pesona yang ditebarkan oleh Pak Khalid
sebagai Awang Pengasuh memberi pemandangan segar di panggung
pertunjukan makyong. Lincah, gesit dan "berisi". Tubuhnya lentur.
Getaran kaki, pinggul, rusuk, lengan dan jari-jemari tangannya di
atas panggung menjadi tontonan tersendiri, tak kalah menarik
dibandingkan musik dan tarian para inang pengasuh. Apalagi dia kerap
merangkap-rangkap peran: ya pemain, ya pemusik!

Memang kini ada Satar (35), salah satu putra Pak Atan, yang mulai
menunjukkan bakatnya menabuh gendang dan bermain makyong. Juga ada
Abdul Gani yang mulai dipercaya sebagai bomoh sekaligus pemeran tokoh
Awang Pengasuh. Tapi sosok Pak Khalid dalam komunitas makyong tetap
paling dominan. Sepeninggal Pak Atan, Pak Khalid-lah kini tempat
orang bertanya. Meski kadang terlihat cerewet dan sedikit
tempramental, dialah guru yang sekaligus menjadi semacam kamus
berjalan dalam hal per-makyong-an.

"Setiap orang yang datang ke Pak Khalid, lebih dulu Pak Khalid
akan tanya: mau minta diajar atau belajar? Kalau minta diajar Pak
Khalid tak bisa, tapi kalau mau belajar bolehlah. Tapi tentu ada
syaratnya. Untuk belajar makyong, hati harus bersih. Tidak boleh
hanya untuk main-main. Risikonya besar, ada jampi-jampi. Itu pun
kalau percaya," begitu selalu Pak Khalid berkata ketika ditanya
seputar proses pewarisan makyong.

Boleh percaya boleh tidak. Menurut penuturan Pak Khalid, sekali
waktu pernah ada orang-orang yang mau belajar makyong, tetapi yang
dilakukan justru "merusak" pakem yang ada. Entah suatu kebetulan
atau tidak, tiga orang yang disebut- sebut Pak Khalid telah melanggar
pantangan itu akhirnya terkena tulah: meninggal dunia karena berbagai
sebab.

Dalam perspektif Pak Khalid, makyong tak boleh diutak-atik hanya
agar dia tampak lebih modern. Bahkan, di kalangan para pelaku makyong
ada kepercayaan, cerita yang dibawakan dalam permainan makyong harus
yang sudah ada sejak dulu, tak boleh dibuatkan lakon baru. Mereka
mengenal sekitar 12 repertoar, umumnya berkisah tentang raja-raja.

"Tidak boleh membuat cerita baru. Bisa kualat. Cerita tentang
Lancang Kuning saja tak boleh. Lagi pula, katanya mau tradisi betul-
betul," ujar Pak Khalid.

Sebagai tokoh sekaligus sesepuh komunitas makyong, Pak Khalid tak
ragu menurunkan pengetahuan yang ia miliki. termasuk hal-hal yang
berbau magis. "Tapi tentulah kalau percaya Pak Khalid. Jadi, kalau
mau belajar makyong, galilah apa yang ada di isi hati Pak Khalid. Pak
Khalid dah sayang," tambahnya.

Demi makyong, apa pun dilakukan oleh Pak Khalid. Itu tak lain
karena makyong sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Lewat makyong ia ada dan karena makyong pula ia merasa ada. Di
usianya yang senja, Pak Khalid rindu dan ingin melihat suatu saat
makyong kembali mengusung roh Melayu di negeri "Segantang Lada"
tersebut.

Lewat seuntai pantun, Pak Khalid pun lalu bermadah: Ikan gurame
si ikan bawal/ikan hiu dimasak bersama lada/dah lama kita tak
berbual/rasa rindu di dalam dada....

Tidak ada komentar: