KOMPAS
Kamis, 1 Desember 2005
Benturan Peradaban
MENCARI MELAYU DI PULAU BINTAN
Oleh Kenedi Nurhan
Anak dare merangkai bunge
Bunge melati harum baunye
Budaye bangse mesti dijage
Agar lestari sepanjang mase
....
Anak raje berbure ruse
Pergi berburu di senje hari
Tegakkan bangse dengan budaye
Agar Melayu tetap terpuji...
Suara penyanyi Suhardi S terdengar sayup. Di tengah suasana Plaza
Bintan yang bising, untaian syair lagu "Sri Bintan" yang berirama
dan memujikan Melayu itu sedikit menyejukkan hati. Ternyata, masih
ada sepenggal roh Melayu di jantung tanah Melayu di Pulau Bintan.
Melayu memang belum hilang. Meski secara politik apa yang disebut
Melayu adalah kelompok etnis yang berbahasa dan beradat Melayu serta
beragama Islam bisa diterima, tapi (meminjam ucapan Pudentia MPSS,
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan) sesungguhnya Melayu tak mengenal pusat
dan batasan kemelayuan pun amatlah cair.
Oleh karena itu, tidak salah bila orang kerap menyertakan nama
subetnis lain yang serumpun di belakangnya. Sebutlah seperti Melayu-
Riau, Melayu-Deli, Melayu-Palembang, Melayu-Pontianak, Melayu-Banjar,
ataupun Melayu-Malaysia alias Melayu-Tanah Semenanjung.
Akan tetapi, tetap saja Riau-utamanya Kepulauan Riau-yang
melekat sebagai pusat atau 'jantung'-nya Melayu. Bukan, misalnya,
Palembang dengan 'Bukit Siguntang'-nya yang disebut-sebut dan diakui
sebagai pusat awal menyebarnya kekuasaan raja-raja Melayu, yang
menebarkan apa yang kemudian dikenal sebagai adat dan budaya Melayu.
Karena itu, tak salah pula bila banyak orang berkata dalam kalimat
bersayap: "Kalau mau mencari Melayu, datanglah ke Riau (kepulauan).
Tengoklah Pulau Bintan dan Penyengat!"
Cermin ketidakberdayaan
Ketika akan meneliti ihwal keberadaan Makyong-semacam opera
tradisi Melayu yang pemanggungannya menggabungkan unsur ritual, tari,
musik dan dialog-untuk bahan disertasi doktornya di Universitas
Indonesia (UI), Pudentia mengaku sempat dihadapkan dua pilihan: terus
atau berhenti. Sebab, sebelum ke Pulau Bintan ia diberitahu bahwa
Makyong sudah tak ada lagi. Salah satu seni tradisi Melayu klasik itu
dikabarkan sudah mati.
"Tak gunalah ke Riau. Di sana awak tak 'kan bertemu lagi dengan
Makyong," kata Pudentia menirukan ucapan orang-orang yang ditemuinya
di Pekanbaru pada awal 1990-an. Awak dalam bahasa Melayu mengacu pada
orang kedua tunggal (kau, engkau), berbeda pengertiannya dalam bahasa
Minang yang merupakan nama ganti diri (aku).
Dalam kenyataannya, sebagai seni pertunjukan, ketika itu Makyong
memang sudah mati. Selama lebih dari 20 tahun tak ada pentas Makyong.
Tahun 1975 dan 1982 memang tercatat ada usaha untuk menghidupkan
Makyong lewat semacam kegiatan revitalisasi pada para pelajar sekolah
pendidikan guru (SPG). Hanya saja, pementasan Makyong dalam arti
sesungguhnya tak kunjung muncul.
Pudentia merasa cukup beruntung karena masih ada dua tokoh
Makyong yang (ketika itu) masih hidup: Muhammad Atan Rahman alias Pak
Atan (72) dan Khalid Kasim (73). Keduanya punya ingatan lengkap
mengenai hal-ihwal pertunjukan Makyong pada masa jaya di tahun 1950-
an. Pak Atan (meninggal dunia tahun 2003) bahkan punya setumpuk
catatan berbahasa Arab-Melayu (gundul) tentang cerita-cerita yang
dulu biasa mereka mainkan di panggung.
Dari sanalah Pudentia bersama Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan
sejumlah pihak lain mencoba membangkitkan kembali batang yang
terendam itu. Hasilnya memang tidak cespleng, tapi aroma kehidupan
itu mulai dirasakan, paling tidak oleh kalangan penggiat Makyong
generasi baru di Mantang Arang dan Kampung Keke di Bintan Timur.
Belakangan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pun ikut terjun
membantu upaya revitalisasi seni tradisi Makyong.
Gambaran suram kehidupan Makyong ini sesungguhnya saling
berimpitan dengan kondisi Melayu secara keseluruhan. Menyusul
hilangnya kekuasaan raja-raja Melayu setelah bangsa- bangsa Eropa
(baca: Belanda dan Inggris) menguasai kawasan ini, berangsur-angsur
hilang pula tradisi tulisan Arab-Melayu dan tutur Melayu. Sejak itu
pula, Pudentia mencatat, peran pengetahuan Barat dalam pertumbuhan
kebudayaan Melayu menjadi lebih dominan.
Kekuasaan baru pasca-Traktat London ditandatangani (1824)-yang
membagi-bagi wilayah Kesultanan Melayu kepada Belanda Inggris-bukan
saja telah menggeser peran kesultanan, tetapi juga ikut memengaruhi
pembentukan identitas masyarakatnya. Dan itu berlanjut hingga kini,
setelah kawasan eks Kesultanan Melayu-yang pernah menguasai wilayah
di sekitar Selat Malaka hingga ke Laut China Selatan-tersebut
terpecah di bawah bendera pemerintahan Indonesia dan Malaysia.
Untuk kasus Indonesia, Melayu bukan lagi menjadi pusat acuan bagi
masyarakatnya, tetapi tumbuh menjadi bagian dari keindonesiaan. Dalam
pengamatan Pudentia, sesungguhnya Melayu telah lama tumbuh menjadi
bagian marjinal dari wilayah "kekuasaan"-nya sendiri. Interaksi yang
begitu terbuka dengan wilayah geografis yang sangat strategis untuk
menerima pengaruh-pengaruh luar, menjadikan Melayu sebagai sebuah
entitas budaya (apalagi secara politis) rawan akan kepunahan.
"Krisis-krisis yang terjadi di kawasan ini, termasuk di dalamnya
krisis identitas Melayu, tercermin juga dalam keseniannya.
Ketidakberdayaan Makyong mempertahankan hidupnya sendiri sangat boleh
jadi juga merupakan cermin ketidakberdayaan masyarakat Melayu
menghadapi perubahan sosial-politik di kawasan ini," tutur Pudentia.
Gerakan kebudayaan
Terlepas dari itu semua, para pengusung dan 'penjaga' budaya
Melayu seperti Hoesnizar Hood pun mengakui kenyataan itu. Contoh
kecil adalah berbagai perhelatan kesenian yang mengusung nama Melayu
di bandar metropolis bernama Batam, namun dalam kenyataannya justru
kehilangan roh kemelayuannya.
"Yang tampak adalah ketermanguan, ketertegunan, dalam gemerlap
cahaya lampu yang diberi nama ekonomi dan pembangunan. Tapi,
sudahlah. Orang lain pun tak peduli," ujarnya.
Kalau dalam perhelatan seni yang mengusung nama Melayu saja roh
kemelayuannya dipertanyakan, apalagi di ruang-ruang publik. Jadi, tak
usah terlalu heran bila saat berjalan-jalan di Plaza Bintan yang ada
di pusat Kota Tanjung Pinang pun orang sulit menemukan atmosfer
Melayu. Apalagi di Batam! Kecuali orang-orang yang bertegur-sapa
dalam cakap Melayu, selebihnya beraroma metropolis dengan segala
atributnya.
Bahkan, untuk menemukan kaset atau CD lagu-lagu Melayu pun tak
begitu gampang. Kalaupun ada, pilihan sangat terbatas.
"Tempo hari ada kaset lagu- lagu Melayu, Junjung Budaya namanya.
Tapi kami tak punya stoknya," ujar seorang pemilik toko yang menjual
beragam kaset dan CD/VCD-kebanyakan hasil bajakan-yang jelas bukan
bertampang Melayu.
Setelah keluar-masuk "lorong-lorong" pertokoan yang banyak
memajang busana 'murah-meriah' dari Singapura, di satu sudut Plaza
Bintan, akhirnya bertemu juga toko yang menjual kaset berisikan lagu-
lagu Melayu-Bintan. Kotak kaset sudah terlihat sedikit menguning.
Mungkin sudah lama dipajang tanpa ada yang meliriknya.
"Lagu-lagu seperti ini memang jarang ada yang cari. Biasanya
yang orang cari lagu-lagu di sana itu," kata sang pramuniaga sembari
menunjuk deretan kaset lagu-lagu pop macam Peterpan dan Raja. "Kalau
kaset berisi lagu-lagu Melayu, paling yang dicari lagu-lagu Siti
Nurkhaliza," kata sang pramuniaga menambahkan.
Begitulah! Ketika secara politik Melayu kehilangan 'kekuasaan'-
nya, secara budaya pun kini ia menghadapi tantangan berat. Pekik Hang
Tuah, "Tak Melayu hilang di bumi", boleh saja tetap berkumandang di
kawasan ini, tetapi siapa yang menjamin rohnya merasuki anak-anak
negeri? Entahlah!
Senin, 11 Februari 2008
Budaya Melayu
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 2/11/2008 07:10:00 PM
Label: Perubahan Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Tulisan Arab Melayu (ARMEL) telah dilupakan banyak pihak, khususnya dunia usaha dan dunia kerja. Saat ini anak-anak sekolah SD & SMP di Riau masih mempelajari penulisan tersebut.
Menurut kami, ada beberapa pola untuk melestarikan armel, salah satunya lewat siklus ekonomi. Setiap ada kebutuhan pasti ada suplai, rumus ekonomi inilah yang sebaiknya digunakan oleh Pemda untuk melestarikan armel.
Sebagai contoh bila administrasi perkantoran pemerintahan semuanya menggunakan aksara arab melayu dengan sendirinya akan ada kebutuhan editor arab melayu yang bisa link dengan MS Office dan bisa digunakan disemua bentuk komputer saat ini. Contoh detailnya lagi bila regulator yang dikeluarkan oleh pemda seperti Izin-izin, Akte Kelahiran, KK, KTP, SIM, IMB, SIUP,SITU dan sebagainya diterbitkan dalam aksara melayu dengan sendirinya kita dapat melestarikan aksara tersebut karna dibutuhkan ditingkat dunia kerja.
Sebagai langkah awal untuk mendapatkan Editor Arab Melayu secara cuma-cuma dapat menghubungi :
1. Lembaga Adat Melayu Riau Riau dengan Bapak Suwarto dan Datuk Dun Usul hp. 08127638000.
2. IAIN Rianiry Banda Aceh dengan Bapak Cut Azwar hp.08566033901.
3. IAIN Medan/Sumut dengan Bapak Irwan Nasution 08126024032.
4. Balai Bahasa Sumut dengan Bapak Sihombing 08126054470.
Posting Komentar