Selasa, 05 Februari 2008

Seni Tradisi

KOMPAS
Kamis, 6 Desember 2007

Seni Tradisi Melayu
MENGINTIP MELAYU
LEWAT PENTAS MAKYONG


Oleh Kenedi Nurhan


Kekhawatiran itu akhirnya terjadi juga. Setelah hampir satu jam
menyusuri jalan tanah berdebu pada dini hari tanpa bulan, rombongan kecil itu tersadarkan
bahwa mereka tersesat. Di kanan-kiri jalan hanya terlihat belukar
yang menyerkap. Di kejauhan, kelip pelita yang
terpancar dari perahu nelayan seperti timbul-tenggelam.

Rombongan kecil dari Tanjung Pinang itu baru saja menyaksikan
pentas Makyong di Desa Sungai Nam, Bintan Timur. Tiga mobil yang
mereka tumpangi hanya berputar-putar di jalanan yang bagai tak
berujung. Tiap ada persimpangan, pengendara paling depan tampak
ragu, sampai akhirnya mobil kedua yang dibawa Akib, Kepala Dinas
Pariwisata Kota Tanjung Pinang, mengambil alih kendali. Ia pun
memutuskan berputar haluan, kembali ke Sungai Nam untuk mencari
"bantuan" penunjuk jalan.

"Bukan apa-apa, kalau terus seperti tadi, bisa sampai pagi kita
berputar-putar di sana. Lagi pula saya juga sudah khawatir karena
bahan bakar mobil ini sudah kritis," kata Akib setiba di Sungai Nam
saat "melapor" ke Said Parman, Asisten Bidang Ekonomi dan
Pembangunan Kota Tanjung Pinang, yang malam itu hadir dan terlibat
dalam kapasitasnya sebagai anggota komunitas seni tradisi Makyong.

Dalam nada bercanda, Said Parman hanya menanggapi peristiwa
tersesatnya rombongan "penanggap" pentas Makyong di Sungai Nam
tersebut akibat pertunjukan dilakukan tanpa sesaji. Ketua Dewan
Kesenian Kepulauan Riau Hoesnizar Hood juga ikut mengamini dan ikut
tertawa terkekeh-kekeh dari belakang setir mobilnya.

"Mungkin karena upacara ritual 'buka tanah' sebelum dan setelah
Makyong ditampilkan, yang menurut kepercayaan tetua Makyong
harus dilaksanakan, pada pentas tadi justru ditiadakan. Sementara
topeng-topeng dan alat musik tertentu yangbiasanya diupacarai
sebelum digunakan dalam pertunjukan tadi juga tidak dilaksanakan,"
kata Said, masih dalam nada bercanda meski di balik itu kata-katanya
yang terdengar agak serius.

Seni ritual

Makyong adalah jenis teater tradisi khas Melayu, yang tumbuh dan
berkembang terutama di Kepulauan Riau. Memanfaatkan kisah-kisah
Melayu klasik sebagai lakon, pentas Makyong dihadirkan lewat
penggabungan unsur ritual, tari, musik, dan -tentu saja-dialog.
Karena itu, beberapa pengamat seni tradisi kerap menyebut pentas
Makyong sebagai opera Melayu.

Bagi pengusung setia Makyong, seni tradisi ini diyakini tak hanya
sebagai seni yang bersifat menghibur. Makyong juga dipercaya
mengandung unsur ritual sehingga-sebagai seni tradisi-ia merupakan
semacam perpaduan antara peristiwa ritual sekaligus media hiburan
atau sebaliknya.

Dalam tradisi pementasan Makyong, pertunjukan selalu diawali
upacara yang mereka sebut "buka tanah" lalu ditutup dengan upacara
serupa. Ritual ini dipimpin oleh tetua yang disebut bomoh alias
pawang Makyong, seperti yang dilakukan Abdul Gani ketika kelompok
Makyong dari Pulau Matang Arang tampil di Desa Mantang Lama, juga
masih di wilayah Bintan Timur, pada akhir November lalu. Ia juga
membacakan mantra-mantra untuk topeng-topeng dan alat musik
tertentu sebelum para pemain Makyong menghadap penonton lewat
ritual tari dan nyanyian perkenalan yang disebut betabek.

"Semua ritual itu dimaksudkan agar pentas bisa berlangsung
lancar tanpa ada kekuatan- kekuatan lain yang menghalangi atau
mengganggu pertunjukan. Ritual itu juga sebagai media untuk mohon
izin mementaskan kisah-kisah lama dari para datuk mereka terdahulu,"
papar Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia MPSS, yang sejak
awal 1990-an aktif melakukan program pendampingan setelah penelitian
panjang tentang Makyong untuk disertasi doktornya di Universitas
Indonesia (2004).

Sebetulnya, dalam kondisi normal, setelah ritual "buka tanah"
seharusnya diikuti ritual tari dan musik disertai nyanyian oleh tetua
Makyong atau pemain yang berperan sebagai tokoh utama. Ritual yang
disebut "menghadap rebab" ini dilaksanakan sebelum ritual tari dan
nyanyi betabek.

Akan tetapi, sejak beberapa dekade terakhir, ritual ini
jarangterlihat lantaran mereka tak lagi memiliki alat musik dimaksud.
Rebab sumbangan Ditjen Nilai Budaya Seni dan Film beberapa waktu lalu
belum sepenuhnya berfungsi. Selain hanya satu, sementara jumlah
kelompok Makyong saat ini setidaknya ada tiga komunitas, pemainnya
pun belum ada yang cukup terampil untuk ditampilkan dalam ritual yang
menuntut sejumlah persyaratan tersebut.

Di luar pentas, pada masa lampau Makyong juga dipakai sebagai
media pengobatan tradisional. Hal itu dimungkinkan karena-pada
masanya-tetua Makyong juga adalah tokoh spiritual yang memiliki
kemampuan supranatural. Karena itu, tetua Makyong seperti Muhamad
Atan Rahman alias Pak Atan (almarhum) juga jadi semacam tokoh
pemimpin informal, yang kerap dilibatkan untuk menyelesaikan masalah
kemasyarakatan.

Kisah Pak Atan saat ikut menenangkan kerusuhan sosial di Batam
pada awal 1990-an masih jadi "kebanggaan" di kalangan komunitas
Makyong hingga hari ini. Dengan menggunakan salah satu properti
Makyong, yakni topeng yang disebut Betara Siwu-yang dipercaya
memiliki kekuatan spiritual-Pak Atan tampil di tengah massa yang
beringas. Kata-katanya didengar, amuk massa pun reda. Kehidupan
masyarakat di sana kembali berjalan seperti sedia kala.

Batang terendam

Akan tetapi, masa lampau memang kerap tak berkelindan dengan masa
kini. Kejayaan Makyong sudah lama terjerembap. Dan, ibarat
membangkitkan "batang terendam", itulah yang kini dilakukan ATL
bersama Lembaga Kemajuan Makyong yang dipimpin Said Parman.

Setelah "berhasil" menghidupkan kembali atmosfer seni Makyong
pada 1990-an, setelahsebelumnya "terkubur" selama lebih dari dua
dekade tanpa terdengar sekalipun ada pentas Makyong, aktivitas
pendampingan terus dilakukan oleh ATL.

Saat ini setidaknya sudah ada
tiga kelompok Makyong, yakni di belakang Padang (Batam) serta di
Kampung Keke-Sungai Nam dan di Mantang Arang (Bintan). Belum lagi
munculnya peminat-peminat baru yang bukan dari komunitas Makyong.
Mereka adalah anak-anak muda yang tinggal di Tanjung Pinang dan
berusaha menampilkan Makyong dalam berbagai bentuk yang sudah
dimodifikasi serta disesuaikan dengan selera masa kini.

Terlepas dari pendekatan dan orientasi mereka berkesenian,
Makyong pada hakikatnya adalah salah satu penanda identitas
kemelayuan. Makyong menyimpan berbagai repertoar dasar tari, musik,
sejarah, dan bahasa Melayu yang dikenal sekarang. Makyong juga
adalah teater rakyat yang memiliki cerita tentang "Melayu" dalam
memori kolektif masyarakatnya.

"Oleh karena itu, mengaitkan Makyong dengan kemelayuan sangat
sahih. Sebab, kita tidak mungkin mengatakan Makyong bukan Melayu.
Sementara bila kita mau bicara mengenai Melayu sebetulnya dapat
diwakili oleh Makyong," kata Pudentia.

Meski jenis tradisi ini cikal bakalnya berasal dari Patani,
Thailand selatan, dan masuk ke Indonesia pada abad ke-19 melalui
Kelantan (Malaysia) serta Tanjung Kurau, Tumasik (Singapura), tetapi
keberadaan Makyong yang ada di Kepulauan Riau sudah merupakan
kreasi Melayu-Indonesia. Bukan saja dilihat dari lakonnya, tetapi juga
bentuk pementasannya yang relatif berbeda dibandingkan dengan di
tempat asalnya.

Dalam catatan bangsa Eropa, seni tradisi jenis ini pada abad ke-
17 hidup di daerah Naratwihat, Patani, Thailand, dengan sebutan
teater manora. Akan tetapi, Makyong yang berkembang di Kepulauan
Riau cukup unik. Selain merupakan perpaduan antara ritual dan media
hiburan, Makyong menyimpan ingatan masa lalu tentang kesejarahan
negeri dan adat istiadat Melayu.

Melihat asal-usul dan pertumbuhannya, Makyong juga memperlihatkan
identitas kemelayuan yang multikultur. Sajian musik, tari, dan kata-
kata yang disampaikan dalam pertunjukan Makyong berbeda
dibandingkan dengan seni Melayu pada umumnya seperti saat ini.

Semangat itu pula yang melatari usulan Indonesia menominasikan
Makyong sebagai Memory of the World ke lembaga PBB, UNESCO.
Karena seni tradisi ini juga ada di Kelantan, sebagai bangsa yang
berbudaya dan bertata krama, Indonesia pun menggandeng Malaysia
untuk bersama-sama menjadikan Makyong sebagai ingatan kolektif dunia....


Tidak ada komentar: