KOMPAS
Sabtu, 18 Juni 2005
Seni Tradisi Melayu
JANGAN MENANGIS (-I) MAKYONG
Oleh Kenedi Nurhan
Sabtu, 18 Juni 2005
Seni Tradisi Melayu
JANGAN MENANGIS (-I) MAKYONG
Oleh Kenedi Nurhan
AKHIRNYA Sarijah (67) jadi juga berangkat ke Singapura. Suaminya,
Muhammad Atan Rahman atau biasa dipanggil Pak Atan (almarhum),
adalah pewaris utama Makyong kelahiran sebuah kampung di Tanjung
Kurau, Singapura sekarang ini. Karena itu, bagi Sarijah kehadirannya
bersama rombongan Makyong dari Kepulauan Riau ke negara pulau itu
di perhelatan Singapore Arts Festival 2005 punya makna lain: "ziarah"
ke tanah kelahiran almarhum suaminya!
Akan tetapi, Singapura begitu sombong terhadap Sarijah. Dalam
kondisi tubuh yang mulai renta, berjalan agak terbongkok-bongkok,
selama tiga hari Sarijah harus bolak-balik dari hotel tempat
rombongan pemain Makyong menginap di kawasan Geylang ke lokasi
pertunjukan di Istana Kampong Gelam.
Bukan cuma soal turun-naik bus yang membuat Sarijah kelelahan.
Justru proses menunggu naik panggunglah yang amat menjemukan.
Ketika mereka dijadwalkan tampil pada puncak Festival Teater Rakyat
--sebagai bagian kecil dari perhelatan besar Singapore Arts Festival
2005--Makyong diagendakan naik panggung pukul 18.00 waktu
setempat. Namun, oleh panitia mereka diminta sudah harus siap
berangkat dari hotel pada pukul 11.30. Kembali ke hotel menjelang
tengah malam, padahal esok harinya pada pukul 06.00 mereka sudah
harus berada di lobi hotel untuk diantar ke pelabuhan; pulang, kembali
ke kampung halaman mereka di Pulau Bintan.
"Ya... capek juga, Nak," kata Sarijah pelan.
Lengkap sudah "penderitaan" para pemain Makyong, yang
sebelumnya harus melewati masa-masa latihan selama sebulan penuh
menjelang keberangkatan ke Singapura. Proses latihan yang dipusatkan
di Tanjung Pinang itu ditempuh pihak Dewan Kesenian Kepulauan Riau
lantaran pemain yang akan ke Singapore Arts Festival adalah gabungan
tiga kelompok Makyong. Selain dari Mantang Arang, sebagian pemain
juga diambil dari Keke dan Sanggam. Karena itu, perlu latihan untuk
memadukan penampilan di atas panggung.
Proses latihan ini kerap mengharuskan mereka menginap di tempat
latihan hanya beralaskan tikar. "Baru pada malam menjelang
keberangkatan ke Singapura kami diinapkan di hotel," kata Rogayah,
pemain Makyong lainnya.
Dan, selama lima hari di Singapura (8-12 Juni 2005) sebetulnya
tak banyak yang dikerjakan oleh Sarijah. Juga anggota rombongan
lainnya sesama pemain Makyong yang berjumlah 20 orang.
Setiba di Singapura, setelah dua jam naik feri dari Tanjung
Pinang, mereka langsung istirahat di hotel. Tak ada program jalan-
jalan. Tak ada agenda sempalan untuk sekadar berleha-leha, menyapu
pemandangan kota yang sebagian wilayahnya berasal dari pasir pulau
mereka di Bintan. Senja pun turun berganti malam. Wajah Singapura
hanya bisa mereka pandang lewat jendela kamar masing-masing.
***
TAK ada catatan tertulis yang secara jelas menyebutkan asal usul
Mak Yong. Namun, dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh Pudentia
MPSS, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) ketika melakukan penelitian
sejak awal 1990-an tentang Makyong untuk disertasi doktornya di
Universitas Indonesia, terungkap bahwa teater tradisi sejenis Makyong
di Melayu-Riau pertama kali dikenal oleh orang- orang Eropa pada abad
ke-18 di Thailand selatan. Tepatnya di daerah Narathiwat, Patani.
Oleh karena itu, tidak aneh bila Makyong-juga disebut-sebut
sebagai opera Melayu-punya banyak kemiripan dengan teater
(tradisional) Manora dari Thailand selatan. Dari Patani, teater-opera
ini diperkirakan masuk ke Kepulauan Riau melalui Kelantan di Tanah
Semenanjung dan Tajung Kurau di Teluk Selabim, Singapura.
Adakah keistimewaan Makyong yang hidup dan tumbuh di Riau?
Tentang hal ini, Pudentia punya catatan kecil.
Seperti halnya banyak seni tradisi lisan yang lain, Makyong pun
sempat mengalami masa ketiadaannya, yakni pada sekitar tahun 1990-an,
saat ia mencoba menemukan jejaknya. Sebelumnya, Makyong setelah
mencapai masa puncak kejayaan pada tahun 1950-an.
Selama lebih dari dua dekade tak pernah terdengar ada pentas
Makyong. Padahal, kata Pudentia, saat itu masih ada beberapa tokoh
yang dapat bermain Makyong. Pak Atan (meninggal dunia dua tahun lalu)
dan Pak Khalid adalah dua tokoh pewaris utama Makyong yang sempat
menikmati masa kejayaan salah satu seni tradisi Melayu ini.
"Keduanya punya ingatan lengkap mengenai hal-ihwal pertunjukan
Makyong. Akan tetapi, untuk meminta berpentas adalah sesuatu yang
mustahil ketika itu karena tradisi berpentas sudah menghilang selama
sekitar 20 tahun," tutur Pudentia.
Dari sanalah ia lalu lebur dan terjebak dalam pusaran kehidupan
pemain-pemain Makyong. Pada sekitar tahun 1975 dan tahun 1982 memang
ada usaha untuk menghidupkan Makyong lewat semacam kegiatan
revitalisasi pada para pelajar sekolah pendidikan guru (SPG). Hanya
saja, pementasan Makyong dalam arti yang sesungguhnya tak kunjung
muncul.
Peristiwa "bersejarah" itu pun tiba ketika pada bulan Agustus
1991 tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
bersama Pudentia memelopori pementasan Makyong di Mantang Arang,
kampung asal Makyong Riau. Masyarakat Bintan seakan bangkit. Ingatan
pada kegemilangan Makyong pada era 1950-an seolah dihidupkan kembali.
"Tentu saja mereka merasa dihibur dan dihargai karena
orang 'kota' pun mau nonton seni tradisi leluhur mereka. Euforia
ini terus berlanjut sampai tahun 1993, yakni ketika Makyong Riau
berpentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam Seminar dan
Festival Tradisi Lisan Nusantara I," jelas Pudentia.
***
SEJAK itu kegiatan pendampingan terus dilakukan. Selain ATL, Ford
Foundation dan pemerintah daerah juga mulai menoleh pada Makyong.
Hasilnya memang tidak seperti mantra simsalabinm, tetapi penguatan
pada sikap dan semangat para pemain Makyong mulai memberi harapan.
Apalagi semangat di balik pementasan Makyong bukanlah pada cerita
yang dimainkan, tetapi lebih pada momen penting pertemuan antara
pemain dan penonton.
Seperti dikatakan Pudentia, inti dari Makyong adalah hiburan
(rakyat). Kalaupun ada cerita, maka akhir dari cerita selalu tidak
pernah menyelesaikan masalah yang ada. Pertunjukan dianggap jauh
lebih penting artinya daripada kelengkapan cerita.
Boleh jadi, dalam konteks inilah mengapa Makyong sebagai bagian
dari pranata sosial menjadi penting dijaga roh dan semangat hidupnya.
Meski untuk itu perlu banyak pengorbanan, seperti yang harus dialami
oleh Mazlan. Anak (alm) Pak Atan ini harus kehilangan pekerjaan
sebagai sopir lantaran harus berlatih Makyong menjelang keberangkatan
mereka ke Singapura.
"Dia dipecat oleh majikannya lantaran sering tidak masuk kerja
karena lebih mengutamaka bermain Makyong," kata Satar, kakak Mazlan.
Memang masih terus ada kesedihan, tapi tak boleh lagi ada tangis
untuk Makyong....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar