Selasa, 05 Februari 2008

Seni Tradisi

KOMPAS Tambahkan Gambar
Sabtu, 18 Juni 2005

Seni Tradisi Melayu
KE SINGAPURA TANPA REBAB MAKYONG

Oleh Kenedi Nurhan


PAK Khalid Kasim (73) kini sudah memiliki handphone. Luar biasa?
Tidak juga!

DI Desa Mantang Arang- sebuah kampung kecil di Bintan Timur,
Kepulauan Riau; tempat lelaki tua "pewaris" utama seni tradisi Melayu
bernama Makyong ini tinggal dan bermukim-benda kecil yang kerap
dikait-kaitkan dengan simbol kemajuan peradaban itu kini sudah
tergolong bukan lagi barang istimewa. Jadi tidak usah heran bila ke
mana pun Pak Khalid pergi handphone itu selalu ia kantongi. Juga
ketika ia ikut bersama tim kesenian Kepulauan Riau bertandang ke
negeri tetangga: Singapura!

Hanya saja, dalam misi muhibah seni ke negara pulau itu, 9-12
Juni lalu, tak sekali pun handphone Pak Khalid terdengar berbunyi.
"Tak tahu mengapa begitu jadinya," kata Pak Khalid agak masygul.

Tentu saja Pak Khalid tak cukup paham bahwa identitas kartu
prabayar yang ia miliki itu tak bisa "dibaca" oleh jasa provider
telepon seluler di sana. Alhasil, meski jarak dari kampung kecil
mereka di Bintan Timur ke negara pulau itu hanya "sepelemparan
batu", tetapi karena pemegang otoritas wilayah pertelekomunikasi-
annya berbeda, handphone Pak Khalid pun cuma jadi peneman "sepi"
di tengah keriuhan metropolitan.

Pak Khalid memang tidak sendiri. Bersama rombongan dari Dewan
Kesenian Kepulauan Riau yang dipimpin Hoesnizar Hood, mereka
mengusung kelompok teater-tari Makyong di pentas Singapore Arts
Festival 2005. Dalam forum bergengsi itulah, selama tiga malam
berturut-turut, Pak Khalid sebagai sesepuh kelompok Makyong dari
Kepulauan Riau ikut naik panggung bersama grupnya di lingkaran
atmosfer kota internasional seperti Singapura.



***




TUNGGU dulu!

Jangan bayangkan para pemain Makyong--semacam opera tradisi
Melayu yang pemanggungannya menggabungkan unsur ritual, tari,
musik, dan dialog--dari Kepulauan Riau itu tampil di gedung kesenian
modern. Jangan pula berasumsi bahwa pentas pertunjukan mereka
sepanggung dengan para seniman dari negara-negara lain yang ikut
meramaikan kalender Singapore Arts Festival 2005.

Seniman-seniman Makyong itu justru bermain di panggung terbuka
di halaman bekas Istana Kampong Gelam. Suara deru mobil yang lewat
sesekali terdengar hingga ke panggung. Bahkan, menjelang pentas
hari/malam kedua dimulai, mereka harus "bertarung" dengan keriuhan
lantunan suara musik dan rentak orang-orang berzapin di sebuah
restoran yang ada persis di sisi kanan gerbang Istana Kampong Gelam.

Istana Kampong Gelam berada persis di seberang Mesjid Sultan,
hanya dipisahkan oleh jalan kecil bernama Kandahar Street. Pada 4
Juni 2005 kawasan ini diresmikan penggunaannya oleh Perdana
Menteri Singapura Lee Hsien Loong menjadi semacam museum dan
dinamakan Taman Warisan Melayu.

"Ya, benar-benar hanya berpayung langit. Kemarin ketika latihan,
celana ini sampai basah karena lantai tempat duduk masih ada bekas
genangan air sisa hujan," kata Pak Khalid.

Di bawah payung langit itulah, sembari memandang gedung-gedung
jangkung yang ada di sekitar kawasan Kampong Gelam--tempat dahulu
(kala) banyak orang Melayu bermukim, juga di Geylang--dialog-dialog
khas Melayu-Riau disampaikan dalam bentuk nyanyian dan tarian.

Ditingkahi musik Makyong yang dihasilkan oleh perpaduan suara
gendang, gong, mong, gedombak, breng-breng, dan biola, penonton
dibawa ke kelampauan. Apalagi dua lakon yang mereka bawakan,
Bongsu Sakti dan Wak Perambun, memang tergolong klasik. Tak hanya
dari aspek isi cerita, tetapi juga dalam format pemanggungannya.

Dua tokoh sentral Makyong, Cek Wang (dimainkan oleh Tina) dan
Awang/Wak Penghulu (Abdul Gani), tak pelak lagi menjadi semacam
ikon Makyong di atas panggung. Kedua pemain inilah yang sebetulnya i
inti pertunjukan.

Sementara di barisan pemusik, Pak Khalid dan Satar menjadi tokoh
pengimbang. "Sayangnya sampai kami berangkat dari Tanjung Pinang
menuju Singapura, alat musik rebab-Melayu yang merupakan ciri khas
sekaligus inti musik Makyong tak bisa dibawa. Sebetulnya, kalau ada
serunai juga bisa dipakai sebagai pengganti, tetapi itu pun kami tak
punya," kata Satar sedikit mengeluh.

***

SATAR pantas mengeluh. Soalnya mereka punya alat musik dimaksud.
Namun, karena rebab Makyong pemberian Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL)-- disampaikan lewat Philip Yampolsky dari Ford Foundation
ketika berkunjung ke kampung mereka--itu diminta agar disimpan di
sebuah institusi kebudayaan di Tanjung Pinang, untuk mendapatkan-
nya kembali ternyata sulitnya minta ampun. Begitupun perangkat
pakaian Makyong (juga sumbangan dari ATL) yang diminta agar
"dititikan" di sana, ketika mereka butuhkan saat akan naik pentas tak



bisa lagi diambil.

"Beberapa kali saya bolak-balik dari Mantang Arang ke Tanjung
Pinang. Ongkos habis, tapi barang milik kami tak juga diberikan,"
kata Rogayah menimpali.

Kabar lain yang didapat salah satu pendukung Makyong ini,
sebagian dari pakaian sumbangan ATL itu sudah hilang. Adapun rebab
yang semula ingin dimainkan Satar saat bertandang ke Singapura
justru tak jelas lagi di mana rimbanya.

Tentu saja ini sebuah ironi. Dan, ironi memang selalu menyungkupi
keberadaan seni tradisi, di mana pun, termasuk Makyong dan
komunitasnya.

Kalaupun kemudian mereka diundang tampil dalam suatu perhelatan
budaya atau disewa untuk memeriahkan acara perkawinan, penghasilan
yang didapat tetap tak sebanding dengan kebutuhan hidup sehari-hari.

"Tapi kami bermain Makyong memang bukan untuk diri kami sendiri,
melainkan untuk orang lain dan untuk Makyong," kata Rogayah.

Ada kesedihan di sana, tetapi juga ada semangat bersemayam di
balik kehidupan para penggiat Makyong.

Satu hal yang selalu mereka pesankan: jangan lupakan Makyong!

"Jadi kalau nanti teringat pada Pak Khalid, cakap sajalah di
dalam henpon," begitu ia selalu berpesan setiap kali bertemu orang-
orang yang mengenalnya namun mereka tinggal jauh dari kampung
kecil tempat Pak Khalid bermukim.

Itu pun masih dengan catatan tambahan, yang disampaikannya lewat
sebuah pantun berikut: //Ambil atap di dalam kebun/Pergi ke pasar
membeli bilis/Pak Khalid nak cakap dalam henpon/Tapi pulsa sudah
habis....//


Tidak ada komentar: