KOMPAS
Kamis, 9 Agustus 2007
Seni Tradisi Sumsel
PANTUN SAHILIN,
DENDANG TENTANG KESUNYIAN
Oleh Kenedi Nurhan
DENGAN sangat hati-hati, Sutrisman Dinah (45) membelokkan sepeda
motornya ke gang sempit itu. Malam belum larut, tetapi atmosfer di sepanjang gang
terasa senyap. Di kanan-kiri jalan setapak itu, rumah-rumah
panggung--yang bagian kolongnya kebanyakan sudah dibeton--berdiri rapat seperti sambung-menyambung.
Susul bae kami ke Gang Gading!" Begitu pesan singkat yang kami
terima dari Sahilin (55), orang yang di-"buru" hingga ke gang-gang
sempit di kawasan Kelurahan 7 Ulu, Palembang, tersebut.
Sebagai wartawan senior di daerah ini, Sutrisman tahu persis
sejarah dan situasi daerah yang dimaksud Sahilin. Sebuah kawasan
permukiman padat penduduk, yang pada tahun 1970-an termasuk
salah satu daerah "rawan" dan ditakuti. "Kawasan ini bahkan sempat
mendapat juluk sebagai 'Texas'-nya Palembang," kata T Wijaya,
penyair Palembang yang membuntuti kami dari belakang.
Akan tetapi, tawaran untuk datang ke wilayah "Texas"-nya
Palembang tersebut kali ini tak ada kaitan dengan
urusan "penaklukan" atau "serbu-menyerbu" kawasan seperti pada
era 1970-an. Malam itu justru sebuah pentas seni tradisi akan
dipergelarkan di sana, menghadirkan maskot pemantun lagu-lagu
daerah Sumatera Selatan: Sahilin! Tentu saja berikut permainan gitar
tunggalnya yang unik dan sudah sangat terkenal di provinsi ini.
Malam itu Sahilin memang diminta tampil hingga dini hari di
sebuah hajatan perkawinan, yang siang harinya diisi pertunjukan organ
tunggal. Di atas panggung, lelaki tunanetra itu terlihat tersenyum-
senyum entah kepada siapa.
Sembari menyetel tali gitar di tangan, Sahilin yang buta sejak
usia lima tahun itu sesekali berbisik kepada Sulaiman (21), satu di
antara tiga anaknya yang sejak beberapa tahun terakhir selalu
menyertai ke mana pun ia pergi. Tak berapa lama berselang mikrofon
pun diarahkan ke wajahnya. Para penonton yang duduk di bawah
tenda--yang didirikan di lapangan tak seberapa luas, sepintas seperti
terselip di antara kepadatan rumah--rumah penduduk-langsung
menyambutnya dengan tepuk meriah.
Anak elang anak lah layang/Anak tiung menari-nari/ Bapak
melayang, umakku malang/Sape nak menulungi aku lagi//...//Ke laut
sambilan mandi/Mandi ke lubuk menyelam jangan/Sape nak menulungi aku
lagi/Banyak dibenci lah sanak-sanak//...//Kalu nak mandi menyelam
jangan/Mandilah juge di lubuk kecik/Sangkan dibenci lah sanak-
sanak/Aku dek pacak bejalan dewek....
Nyanyian dalam bentuk pantun itu pun ia lanjutkan: //Kalu nak
mandi di lebak kecik/Anak tupai di pucuk kayu/Aku dek pacak bejalan
dewek/Lain lah uhang lain bagiku//...//Kalu mak ini rase bagiku/Padi
banyak campuran daun/Lain uhang lain bagiku/Mate cacat umur lah lime
tahun//...//Batang padi campuran daun/Daun padi daun teriti/Mate
cacat umur lah lime tahun/Turun dunia tesimpang kiri....
Diiringi petikan gitarnya yang dominan memanfaatkan melodi bas
(tali 4, 5 dan 6), lagu-lagu daerah dalam bentuk pantun atau
terkadang syair itu mampu menyirap penonton ketika isinya berupa
ungkapan hati Sahilin yang pilu. Petikan lagu "Sukat Malang" di
atas, misalnya, bercerita tentang biografi hidupnya yang sejak umur
lima tahun tak bisa berjalan sendiri lantaran buta akibat diserang
penyakit cacar ("Kene uap," begitu kata Sahilin). Bapaknya meninggal
dan ia dibesarkan oleh ibunya yang miskin di Dusun Benawe,
Kecamatan Tanjung Lubuk, Ogan Komering Ilir. Istilah sukat malang
itu sendiri berasal dari bahasa Benawe, merujuk pada pengertian nasib
malang yang terus menimpa kehidupan seseorang.
Namun, pada lagu lain, begitu isi pantun atau syairnya berupa
cerita-cerita lucu tentang keseharian muda-mudi atau orang sedang
jatuh cinta, misalnya, aplaus disertai suitan panjang terdengar dari
berbagai sudut. Apalagi bila malam kian larut, saat Sahilin mulai
menyelipkan ungkapan-ungkapan asosiatif tetapi disajikan dengan
jenaka, sambutan pun kian ramai.
Ungkapan 'barang buruk tegantung' untuk menyindir (dalam arti
positif) lelaki yang dianggap terlambat kawin alias bujang tue atau
bujang lapuk bahkan telah menjadi bahasa gaul yang sangat populer di
daerah ini. Begitu pun ungkapan dalam bentuk pantun umum lainnya,
juga bersifat sindiran, tak jarang membuat banyak orang tersipu.
(Terang bulan terang di kali/ Buaye nimbul disangke mati/Jangan
percaye mulut lelaki/Berani sumpah dek takut takut....)
Selalu berduet
Dalam setiap pementasan, Sahilin jarang tampil tunggal. Sejak
mulai dikenal luas sebagai pelantun lagu-lagu daerah Sumatera Selatan
tahun 1974, hampir selalu ia didampingi pedendang perempuan. Siti
Rohmah yang saat ini masih bertahan sebagai teman duetnya adalah
salah satunya.
Sahilin tentu saja memilih perempuan sebagai pasangannya. "Kalu
sesame lanang idak lemak. Dak seru," kata Sahilin terkekeh-kekeh.
Nama-nama mereka masih ia ingat dengan jelas. Ketika masih di
Benawe, Sahilin sempat berduet dengan Robama, Layani, Zainab, dan
Solbani. Setelah hijrah dan bermukim di Palembang sejak 1972, selain
dengan Siti Rohmah, Sahilin juga pernah berpasangan dengan Ridaw,
Chadijah, dan Cik Misah. Nama yang disebut terakhir ini berasal dari
desa Danau Tampang di Kecamatan Sungai Rotan dan telah meninggal
dunia.
"Aku tu sebetul-nyo paling cocok dengan Cik Misah," begitu
pengakuan Sahilin saat ditemui di rumahnya yang amat sederhana di
sebuah gang sempit di Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang.
Rumah panggung yang ia tempati bersama istri (Semah, 48) dan tiga
anak--Saidina (23), Sulaiman (21), Sjarwani (17)--serta satu
menantunya itu berdiri di atas rawa, berukuran 5 x 8 meter. Hampir
tanpa penyekat, kecuali dinding pemisah ruang depan, ruang tidur, dan
dapur. "Rumah dan tanah ini dibeli dari hasil rekaman lagu-lagu
daerah itulah," kata Sahilin.
Sahilin sudah tak ingat berapa kaset rekaman lagu yang sudah ia
hasilkan melalui perusahaan rekaman lokal: Palapa Record. Yang cuma
ia ingat, setiap rekaman ia mendapat honor sekitar Rp 300.000. Setiap
kaset berisi dua hingga empat lagu, di mana masing-masing lagu
terdiri atas bait-bait pantun atau syair yang cukup panjang.
Lagu "Sukat Malang", misalnya, terdiri atas 10 bait. Namun, ada juga
yang mencapai 20-30 bait, terutama lagu-lagu yang didendangkan
dalam formasi duet berupa pantun bersahut.
"Permainan gitar Sahilin memang unik. Pada lagu 'Nasib Muara
Kuang', misalnya, ia bermain pada metrum yang berbeda-beda.
Metrum awal mempunyai hitungan 4, pada bagian- bagian tertentu ia
memainkan gitar pada hitungan 6 dan 10. Bahkan, ada yang muncul
pada hitungan ganjil, seperti hitungan 5," begitu hasil pencatatan Hanefi
dari Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Padangpanjang, tentang lagu-lagu daerah yang dibawakan Sahilin.
Menurut Hanefi, dalam banyak lagunya terlihat bahwa Sahilin tak
mau terikat dengan pola-pola birama konvensional. Sahilin bermain
dengan mengikuti frase-frase melodi yang pada dasarnya memiliki
metrum berbeda walaupun pada bagian awal dinyatakan dengan
hitungan 4 atau metrum empat per empat (4/4).
"Unik," begitu Hanefi berucap tentang musik-lagu Sahilin, yang
sempat ia survei bersama Philip Yampolsky dari Ford Foundation,
beberapa tahun lalu.
Lagu-lagu daerah yang direkam pertengahan 1970-an hingga awal
1980-an itu umumnya telah direkam ulang berkali-kali. Sekalipun
Palapa Record itu sendiri saat ini sudah tak ada, di sebuah toko
kaset di kawasan 16 Ilir Palembang kita dengan gampang bisa
menemukan kaset-kaset rekaman suara Sahilin dan pasangannya.
"Ketika rekaman dululah aku dapat honor Rp 300.000 tiap
rekaman," ujar Sahilin. "Kerno itulah, aman mak ini, kalu ado wong
nak ngajak rekaman, akudak galak lagi. Sering tebudi," tambahnya.
Sahilin memang tak mengenal, apalagi memahami, istilah royalti
dengan segala aturan hukumnya. Namun, meski buta huruf-ia pun tak
pernah mengenal braille-dan hidup selalu dituntun ke mana pun pergi,
Sahilin tidaklah bodoh. Dari pergaulannya sehari-hari, Sahilin mulai
mengerti akan hak-hak atas karyanya meski ia sendiri tetap tak bisa
berbuat apa-apa.
Sahilin memang bukan satu-satunya pelantun lagu-lagu daerah
Sumatera Selatan ini, di mana unsur pantun dan syair menjadi dasar
dari proses penciptaannya. Masyarakat juga mengenal nama-nama
seperti Rusli Effendi, Syafrin, Emilia, dan Asnadewi. Namun, Sahilin
tetaplah maskot dan paling populer.
Tak ada catatan tentang sejak kapan jenis musik-lagu daerah
Sumsel ini mulai ada. Juga tak ada nama khusus terkait genre kesenian
ini. Masyarakat, pertama-tama, cuma mengenalnya dengan sebutan
lagu daerah. Karena biasanya diiringi petikan gitar, sebutan gitar
tunggal pun kemudian juga dilekatkan.
Belakangan, karena jenis kesenian ini ada di hampir seluruh
wilayah Sumsel, yang dikenal juga sebagai daerah batanghari sembilan
(karena memiliki sembilan batanghari atau sungai yang semua akhirnya
bermuara ke Sungai Musi), lekat pula nama 'batanghari sembilan' pada
jenis kesenian ini.
Istilah ini dikenalkan oleh Djaafar Malik. "Dia orang Lahat dan
sudah meninggal dunia," kata Sahilin.
Selasa, 29 Januari 2008
Seni Tradisi
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 1/29/2008 05:53:00 PM
Label: Seni dan Kearifan Tradisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar