KOMPAS
Selasa, 16 Mei 2005
Pendidikan di Pedalaman Papua (1)
MENUNGGU KEAJAIBAN DARI TIMUR
Oleh Kenedi Nurhan
AYU datang dengan berita buruk. Saat transit di Bandara Frans
Kasiepo, Biak, dengan agak tergopoh-gopoh ia berbisik, "Sesampai di
Wamena nanti kita tidak bisa langsung ke Kurima. Hujan yang terus
turun beberapa hari terakhir telah memutuskan hubungan darat ke
sana."
Padahal, sesampai di Wamena-setelah sebelumnya harus ganti
pesawat di Sentani, Jayapura-rombongan Dirjen Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Fasli Jalal dijadwalkan
langsung ke Kurima untuk melihat dari dekat kegiatan pendidikan di
sana. Namun karena jembatan yang melintasi aliran sungai di sana
tergerus air bah, dan hanyut, kendaraan tidak bisa menyeberang.
"Terlalu berisiko kalau harus memaksakan diri menyeberangi
sungai yang deras sehabis hujan. Kalaupun berhasil mencapai ke
seberang sungai, dan kendaraan di tinggal di sisi lainnya, jarak
tempuh yang harus dijalani bisa berjam-jam. Kita pasti akan kemalaman
di jalan," kata Ayu R Feizal, staf Dirjen PMPTK, yang beberapa
minggu sebelumnya telah lebih dahulu 'menyinggahi' sejumlah titik
pendaratan pesawat kecil dan melihat dari dekat perkampungan-
perkampungan penduduk pedalaman di Kabupaten Yahukimo, Papua.
Alhasil, begitu tiba di Wamena-pada siang menjelang senja
berkabut itu-'haluan' pun berubah. Iring-iringan kendaraan bergerak
menyisir Lembah Baliem menuju salah satu perkampungan adat di
Distrik Keluru, yang masih merupakan bagian dari wilayah Kota Wamena.
Selain melihat gugusan perkampungan adat dengan rumah-rumah khas yang disebut honai, juga mayat berusia hampir 350 tahun yang sudah mengecil dan mengering, sekelompok anak duduk berderet di bawah pohon sembari belajar mengenal huruf. Di 'Sekolah Minggu' berlabel Sekolah Darurat Kartini yang dirintis oleh Ibu Kembar (Rossy dan Rian) tersebut, anak-anak berusia 5-14 tahun itu terlihat gembira mengikuti setiap kata yang diucapkan oleh "guru" mereka.
Sore itu, Suherman-yang juga adalah Komandan Koramil Keluru-
bertindak sebagai tenaga pengajar. Suaranya lantang melafalkan
kumpulan huruf yang membentuk kata-kata sederhana, kemudian diikuti
anak-anak itu secara bersama-sama. Beberapa anak bahkan ada yang
sudah bisa membaca sendiri sejumlah kata yang tertera di papan tulis.
Hidup dalam keterisolasian
Kurima adalah distrik di Kabupaten Yahukimo yang paling dekat
dengan Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Dulu, Yahukimo adalah
bagian dari Kabupaten Jayawijaya, tetapi sejak 2002 jadi kabupaten
tersendiri.
Saat ini praktis hanya Distrik Kurima yang bisa dicapai dengan
kendaraan roda empat dari Wamena. Itu pun masih harus dilanjutkan
dengan berjalan kaki 4-5 kilometer. Distrik-distrik lain, termasuk
ibu kota Yahukimo yang berada di Dekai, hanya bisa didatangi dari
udara dengan pesawat-pesawat kecil.
Ongkos yang cukup mahal bagi masyarakat miskin di pedalaman Papua
membuat perkampungan yang tersebar di sejumlah distrik di lereng-
lereng Jayawijaya itu semakin jauh dari persentuhan dengan peradaban
luar. Untuk barang-barang bawaan, misalnya, pihak penyedia jasa
penerbangan mengenakan tarif Rp 8.500 per kilogram. Sementara ongkos
penumpang dari Wamena ke sejumlah titik pendaratan pesawat kecil di
Yahukimo berkisar antara Rp 125.000 hingga Rp 250.000 per orang.
Kalau lewat darat, harus melewati jalan setapak menembus hutan lebat
dan lereng-lereng bukit terjal Pegunungan Jayawijaya, butuh waktu
satu minggu untuk sampai di Dekai.
Kecilnya daya angkut pesawat memaksa pihak penyedia jasa
penerbangan memberlakukansistem antre. Untuk pesawat Filatus Porter,
pesawat jenis terbaru yang jumlahnya masih sangat sedikit, kapasitas
angkut hanya sembilan penumpang. Pesawat jenis Cessna memang bisa
mengangkut penumpang lebih banyak, tetapi tetap dalam jumlah amat
terbatas.
"Jangan kaget bila harga semen per zak di Dekai bisa Rp 1 juta.
Padahal, di Wamena 'hanya' (?) Rp 350.000 per zak," kata Manuarun,
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Yahukimo. Tentu ini
sangat fantastis, mengingat harga semen per zak isi 40 kilogram di
Merauke cuma Rp 55.000.
Jika pusat pemerintahan kabupaten saja sudah seperti itu,
bagaimana dengan mereka yang tinggal di kampung-kampung kecil yang
berada di lereng-lereng bukit yang bertebaran di Pegunungan
Jayawijaya?
Penduduk pedalaman itu tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di
pegunungan yang luas. Hubungan antara satu kelompok dengan kelompok
lain begitu sulit, dipisahkan oleh jurang dan hutan lebat. Untuk
mencapai landasan pesawat terdekat sekalipun tidak mudah. Selain
jauh, jalan setapak yang ada sangat sukar dilewati.
Ketiadaan akses dengan dunia luar membuat jam kehidupan seperti
berhenti. Jika saja ukuran peradaban lewat pendikotomian antara masa
sejarah dan prasejarah hanya ditandai oleh tradisi tulis, atau
keberaksaraan dalam bentuk lain, maka di banyak tempat di pedalaman
Papua bisa dibilang waktu masih tertinggal jauh di belakang.
Dilema dunia pendidikan
Di tengah peradaban yang terisolasi, sehingga apa yang disebut
kemajuan seperti jalan di tempat, perubahan menjadi sesuatu yang
sulit dimengerti. Sementara pendidikan yang diharapkan sebagai pintu
masuk utama menuju dunia baru tampaknya belum jadi prioritas.
Persoalannya bukan karena tak ada kemauan belajar di kalangan
anak-anak pedalaman itu, tapi lebih karena masih kecilnya perhatian
pemerintah. Disisi lain, akibat keterisolasian dengan segala
implikasinya, semangat dan motivasi mengajar para guru di daerah
pedalaman pun kini jadi persoalan pelik.
Sejak setahun terakhir ratusan guru mangkir. Dengan 1.001 alasan
mereka umumnya lebih memilih tinggal di Wamena. Dari 69 SD yang ada
di Yahukimo, belasan SD sudah tidak menunjukkan aktivitas sama
sekali. SD-SD lain memang masih ada kegiatan, tetapi tidak semua
berjalan rutin setiap hari.
Di Soba, misalnya, saat Dirjen PMPTK berkunjung ke sana hanya
menemukan ruang-ruang kelas yang tertutup rapat. Tetapi karena anak-
anak pedalaman itu hanya bermain di sekitar kampung, dan begitu
mendengar ada suara pesawat akan singgah para penduduk segera
berkumpul di pinggir landasan, Obet Heselo dengan mudah bisa
menggiring anak-anak itu ke ruang kelas.
Obet Heselo bukanlah guru di sana. Ia adalah petugas penyuluh
pertanian lapangan (PPL) yang dikirim ke Soba pascabencana kelaparan
yang menimpaYahukimo beberapa bulan lalu. Tujuh orang guru yang nama
mereka tercatat sebagai tenaga pendidik di sini, pagi itu tak satu
pun ada di tempat.
Tak heran bila 113 siswa SD Soba akhirnya memilih "belajar"
sendiri-sendiri di alam terbuka tanpa bimbingan. Tak jarang, anak-
anak di perkampungan berpenduduk sekitar 3.000 jiwa (sudah termasuk
Dusun Oak Pisik dan Kayo) itu juga ikut orangtua mereka mencari umbi-
umbian ke hutan.
"Pak Yaconius Kabak sedang tugas kunjungan mengajar ke sekolah
paralel di Oak Pisik dan Kayo. Sebagai kepala sekolah, dua minggu
sekali dia harus menengok murid-muridnya di sekolah paralel di sana.
Sementara guru-guru lain saat ini ada di Wamena," kata Obet Heselo.
Situasi tak jauh berbeda juga terjadi di Langda. Kegiatan
pembelajaran di SD yang dikelola oleh misi gereja di wilayah paling
timur Yahukimo-berada di ketinggian di atas 2.000 meter dari
permukaan laut-ini pun jauh dari normal.
Selain di Langda sendiri, SD ini juga memiliki kelas paralel di
11 dusun kecil lainnya, dengan total murid 793 orang. Khusus di
Langda, siswa kelas I terpaksa belajar di ruang darurat berukuran tak
lebih dari 5 x 6 meter. Ruang sempit itu dijejali 52 siswa. Mereka
duduk berimpitan. Bahkan ada bangku tanpa meja. Belasan siswa lainnya
duduk sambil berjongkok atau berselimpuh di lantai tanah.
Meski ada 12 guru di sini, tak berarti pembelajaran di SD Langda
selalu berjalan normal. Saat kami berkunjung ke sana, akhir April
lalu, guru yang ada di tempat cuma dua orang. Kepala sekolahnya pun
tidak ada. Begitu pun guru-guru lain.
Situasi pembelajaran semacam ini, di mana para guru lebih kerap
meninggalkan tugasnya-seperti diakui oleh Manuarun-merupakan
fenomena umum di Kabupaten Yahukimo. Dan, dalam kondisi semacam itu
pula anak-anak pedalaman Papua menunggu keajaiban untuk sebuah
perubahan akan masa depan nasib mereka....
class="fullpost">
Selasa, 19 Februari 2008
Pendidikan
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 2/19/2008 10:39:00 PM
Label: catatan dari pedalaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar