Selasa, 19 Februari 2008

Pendidikan

KOMPAS
Rabu, 17 Mei 2005

Pendidikan di Pedalaman Papua (2)
MEMBANGUN MIMPI-MIMPI

Oleh Kenedi Nurhan


YUSTINUS (15) ingin jadi bupati. Kelak, ia akan membangun
landasan pesawat terbang yang lebih lebar di kampungnya. Juga jalan
darat dan jembatan-jembatan panjang untuk menghubungkan bukit
yang satu dengan bukit lainnya. Jika perlu, Yustinus akan membuat
terowongan hingga tembus dari Soba ke Wamena.

Lain lagi cita-cita Suniter (13). Gadis cilik ini hanya ingin
jadi suster. Sementara Dina (12), setelah agak lama tercenung,
memutuskan memilih menjadi mantri kesehatan.

Dina ingin mengobati orang-orang di kampungnya yang sakit.
Dengan begitu, anak-anak Soba yang demam-panas atau ibu-ibu yang
akan melahirkan tak perlu harus dipanggul dengan berjalan kaki meniti
bukit-bukit terjal melewati belantara hutan lebat hingga berhari-hari
hanya agar bisa mendapat perawatan di Wamena, ibu kota Jayawijaya.

Itulah sebagian mimpi-mimpi anak-anak Soba. Percakapan tentu saja
dalam bahasa Indonesia terbata-bata. Jawaban sepotong-sepotong
kerap membuat suasana jadi tak nyaman.

Memancing rasa ingin tahu anak-anak yang tinggal di Kampung Soba,
salah satu titik pendaratan pesawat kecil di Kabupaten Yahukimo yang
berada di salah satu lereng bukit di kawasan Pegunungan Jayawijaya,
bukanlah usaha gampang. Sikap malu, tertutup, bahkan cenderung
menghindar saat diajak bercakap-cakap adalah gambaran umum yang
melekat pada anak-anak di pedalaman Papua.

Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK)
Fasli Jalal juga merasakan hal itu. Saat mengunjungi SD Soba, dengan
agak susah payah ia hanya berhasil memancing satu-dua anak yang
mau mengungkapkan keinginan mereka kelak. Itu pun harus dibantu
oleh Manuarun, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Yahukimo ,yang mendampingi kunjungan Fasli. Bahkan, untuk
memancing anak-anak itu mau bicara, pejabat Kepala Dinas Pendidikan
dan Pengajaran Provinsi Papua James Modow juga sesekali ikut
membantu mengarahkan "mimpi-mimpi" mereka.

Baru setelah diajak bernyanyi bersama-sama mereka tampak
antusias. Lagu favorit mereka bukan lagu-lagu nasionalisme macam
Garuda Pancasila atau Dari Sabang Sampai Merauke, apalagi himne
guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Ketika diminta memilih lagu
kesenangan mereka, anak-anak itu serentak menyanyikan lagu yang
biasa mereka bawakan saat kebaktian di gereja Kampung Soba.

Padahal Soba tak begitu jauh dari Wamena, kota kecil di Lembah
Baliem yang menjadi acuan kemajuan bagi masyarakat pedalaman di
Pegunungan Jayawijaya. Bila menggunakan pesawat kecil jenis Filatus
Porter berpenumpang sembilan orang, Soba bisa ditempuh hanya
sekitar 15 menit dari Wamena. Namun, karena pesawat merupakan
angkutan mewah bagi mereka, warga Soba yang ingin ke Wamena
biasanya memilih lewat darat dengan berjalan kaki melintasi bukit dan hutan lebat.

"Saya sudah dua kali ke Wamena. Butuh waktu sehari semalam,"
kata Yustinus. Di Wamena, seperti halnya kebanyakan warga
pedalaman lain, Yustinus mengaku hanya melihat-lihat 'peradaban' di
luar kampungnya. Kadang mereka berlama-lama memerhatikan satu
per satu barang-barang dagangan yang dipajang di toko-toko di
Wamena. Akan tetapi, tentu saja orang macam Yustinus tidak mampu
untuk membelinya agar bisa dibawa pulang ke kampung.

Boleh jadi, itu juga sisi lain yang mendorong siswa kelas VI SD
Soba ini ingin melanjutkan ke Wamena. Itu pun bila orangtuanya bisa
membiayainya sekolah di Wamena. "SMP di Pasema memang ada, tetapi
untuk jalan ke sana juga harus bermalam. Perlu enam jam," ucapnya.
Pasema adalah distrik terdekat dari Soba, hanya dipisahkan dua bukit
yang juga berhutan lebat.

Setali tiga uang dengan anak-anak Soba, sulitnya menggali "mimpi-
mimpi" anak-anak pedalaman Papua juga ditemui di Langda. Di kawasan
perkampungan paling timur wilayah Kabupaten Yahukimo ini, yang
terletak di lereng Pegunungan Jayawijaya pada ketinggian di atas
2.000 meter dari permukaan laut, beberapa di antara anak-anak itu
bahkan tidak tahu untuk apa mereka diajari membaca dan menulis.

Memupuk kesadaran

Ironis? Tidak juga! Di tengah kenyataan masih sulitnya
menggali "mimpi-mimpi" anak-anak pedalaman tersebut, sejumlah anak
punya semangat luar biasa untuk bisa melihat dunia luar. Di kalangan
para orangtua pun mulai tumbuh kesadaran agar anak-anak mereka bisa
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Di Soba, dari sembilan anak yang lulus SD tahun lalu semua
melanjutkan ke SMP di Wamena. Tidak sia-sia perjuangan warga Soba.
Empat tahun lalu, ketika SD Inpres di desa itu yang dibangun
pemerintah pada tahun 1970-an hancur sehingga tidak bisa lagi
digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar, masyarakat dengan bantuan
pihak gereja memperbaikinya secara swadaya dengan cara bergotong-
royong.

Peristiwa pada tahun 2002 itu patut mendapat catatan khusus.
Suatu perubahan cara berpikir mulai merasuki kesadaran mereka akan
perlunya pendidikan. Sekalipun faktor pendorong itu berawal dari luar
diri mereka.

Menurut salah seorang warga Soba, selain ajakan yang datang dari
pihak gereja, dorongan terbesar untuk mendirikan kembali sekolah yang
hancur itu justru datang dari anak-anak mereka sendiri. "Karena
ketika itu anak-anak banyak yang menuntut mau sekolah," ujarnya.

Kesadaran! Boleh jadi itulah kata kuncinya. Meski masih setipis
rambut, kesadaran ini perlu terus dipupuk. Apalagi dalam kehidupan
sehari-harinya mereka itu masih dihadapkan pada tantangan kesulitan
hidup yang luar biasa.

Kemiskinan begitu menekan. Anak-anak bertubuh dekil, ingus yang
berleleran, dengan baju compang-camping yang melekat di tubuh mereka-
juga saat belajar di kelas-adalah gambaran umum betapa kehidupan
masyarakat Soba masih jauh dari sejahtera. Anak berperut buncit pun
sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, di penghujung 2005, Soba
termasuk daerah yang terkena bencana kelaparan karena umbi-umbian
yang biasa mereka ambil dari hutan banyak membusuk lantaran tingginya
curah hujan.

Kesadaran serupa juga mulai tumbuh di Langda. Sejak aktivitas
gereja yang dimotori Yayasan Kristen Pelayanan Sosial Masyarakat
Irian Jaya (Yakpesmi) masuk ke wilayah ini pada 1984, program
penyadaran melalui pendidikan informal, pertanian, kesehatan, dan
keterampilan-keterampilan sederhana pun mulai diperkenalkan.
Masyarakatnya yang semula animis dan liar, suka berperang antarsuku,
bahkan kadang-kadang juga makan sesama manusia, bukan saja secara
berangsur-angsur mengubah perilaku tersebut, tetapi juga melihat ada
bentuk kehidupan lain yang lebih baik.

Lebih-lebih ketika SIL International-Indonesia-sebuah lembaga
pelayanan nonprofit yang memfasilitasi pengembangan masyarakat yang
berbasis bahasa di 50 negara-masuk sejak 1989 dan memulai kegiatan
pemberantasan buta huruf lima tahun kemudian, media penyadaran itu
mendapat tempat. Mereka bermimpi suatu saat bisa melihat dunia luar,
sekaligus menikmatinya. Baru pada dekade awal abad ke-21 'mimpi-
mimpi' itu menemukan bentuknya, setelah hampir 200 anak-anak dari
Langda dan sekitarnya bisa menikmati pendidikan di Wamena dan
Jayapura.

Dalam perspektif demikian, menjadi sesuatu hal yang wajar bila
dalam perjumpaan pertama dengan orang asing-seperti dialami Kompas
ketika baru saja turun dari pesawat kecil di landasan Langda, akhir
April lalu- Gerson Kayo (14) langsung berucap, "Bapak, saya pingin
sekolah ke Wamena, akan tetapi tak punya uang..."

class="fullpost">

Tidak ada komentar: