Jumat, 15 Februari 2008

Pendidikan

KOMPAS
Kamis, 18 Mei 2005

Pendidikan di Pedalaman Papua (3-Habis)
UNA, SIL, DAN KEBERAKSARAAN

Oleh Kenedi Nurhan



ORANG sering keliru menempatkan bahasa ibu dalam konteks
keberaksaraan. Dalam banyak kasus, bahasa ibu malah dituding pangkal
dari interferensi yang negatif, melanggar kaidah gramatikal, sehingga
jadi sumber kekacaubalauan dalam berbahasa yang baik dan benar.

Bahasa ibu lalu seperti "dimusuhi" karena dianggap bisa merusak
kemampuan bahasa anak dalam pemerolehan bahasa baru: bahasa Indonesia!

Tidak demikian pandangan Summer Institute of Linguistics (SIL)
Internasional, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang
pembangunan yang berbasis pemberdayaan masyarakat melalui bahasa di
50 negara di dunia, termasuk Indonesia.

Dalam konteks program keberaksaraan-dalam bahasa sehari-hari
lebih dikenal sebagai upaya pemberantasan buta huruf-di daerah-
daerah terpencil, SIL Internasional-Indonesia justru menempatkan
bahasa ibu sebagai pintu masuk. "Bahasa ibu adalah kunci untuk
mengembangkan masyarakat dan untuk mengatasi buta aksara," kata Dick
Kroneman, ahli sosiolinguistik yang bertindak sebagai konsultan
penerjemah pada SIL International-Indonesia.

Bahasa-bahasa minoritas

Lembaga yang didirikan William Cameron Townsend (1896- 1982) pada
1934 di Guatemala ini memang memberi perhatian khusus pada para
penutur bahasa-bahasa minoritas, termasuk mereka yang tinggal di
pedalaman Papua. Hasil berbagai survei menyebutkan, dari sekitar 700
bahasa yang ada di Indonesia, lebih dari 265 ada di Papua. Masing-
masing bahasa lokal itu memiliki karakteristik berbeda.

Meski jumlah penutur bahasa-bahasa minoritas di pedalaman Papua
sangat sedikit, terkadang bahkan kurang dari 25 orang, namun tetap
harus mendapat perhatian. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan
bahwa setiap bahasa melambangkan sumbangan yang berharga untuk
warisan kebudayaan Indonesia.

Bukankah bahasa adalah alat perantara utama yang digunakan oleh
suatu suku untukmengingat sejarah, tradisi-tradisi, dan pelajaran-
pelajaran yang mereka pelajari untuk dikomunikasikan kepada anak-anak
mereka? Bahasa lokal, baik melalui nyanyian-nyanyian, cerita lisan
ataupun tertulis, diyakini sebagai kunci untuk melestarikan
pengetahuan suatu suku. Bila ini diabaikan tentunya akan hilang pula
nilai pusakanya bagi generasi yang akan datang.

Oleh karena itu, kata John Custer-Direktur Hubungan Pemerintahan
SIL International-Indonesia, "Program-program keaksaraan yang
diadakan oleh SIL membangun dasar yang kuat melalui bahasa daerah
sebagai jembatan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara efektif,
yaitu keterampilan yang sangat penting untuk memperoleh berbagai
kesempatan pendidikan formal di SD."

"Pendidikan formal dalam bahasa Indonesia penting sekali untuk
mendidik warga masyarakat di daerah terpencil. Tetapi, kalau
kebanyakan masyarakat belum tahu bahasa Indonesia, kita sebaiknya
memulai dengan program pemberantasan buta aksara di dalam bahasa
daerah," ujar Dick menambahkan.

Pintu masuk utama

Memahami suatu bahasa daerah berikut struktur dan cara berpikir
masyarakatnya memang tidak gampang. Hal itu disadari betul olek Dick
Kroneman. Tidak heran bila ahli sosiolinguistik dari Belanda ini
sempat menemui banyak hambatan ketika pertama kali menjadi
fasilitator program pemberantasan buta huruf bagi para penutur bahasa
Una di Langda dan sekitarnya.

Bahasa Una dipakai oleh sekitar 5.400 orang yang tinggal di
bagian paling timur Kabupaten Yahukimo. Orang Una bermukim di 30
kampung yang tersebar di antara tebing-tebing curam di Pegunungan
Jayawijayapada ketinggian sekitar 2.000 meter dari permukaan laut. Di
sekitarnya (dipisahkan bukit, tebing, dan jurang-jurang terjal
berhutan lebat) ada tiga landasan pesawat kecil, yakni di Langda,
Bomela, dan Sumtamon.

Bagi orang luar, satu-satunya cara untuk masuk ke wilayah ini
hanya dengan menggunakan pesawat kecil. Jika kondisi baik, saat kabut
agak menipis, penerbangan dari Wamena ke lokasi ini bisa ditempuh
dalam 45 menit. Jika alam lagi "tak bersahabat", kata Brett Lie-
pilot pesawat Pilatus Porter yang membawa kami ke Langda, pesawat
bisa terkurung di sini hingga seminggu. Namun, bila cuaca bagus,
Langda dan sekitarnya begitu indah dipandang mata.

"Memulai belajar bahasa-bahasa di Papua, juga bahasa Una, sulit
sekali. Strukturnya sangat berbeda daripada kebanyakan bahasa lain.
Tapi, bagi kami, ini justru merupakan suatu tantangan," kata Dick
Kroneman, yang bersama istrinya sejak 1989 bergaul rapat dengan
masyarakat Langda dan sekitarnya sebagai penutur bahasa Una.

Dalam bahasa Una, urutan kata dalam kalimat bukan saja tidak
beraturan dalam perspektif bahasa modern pada umumnya, penempatan
kata kerja pun bisa semaunya. Kalimat "Saya membunuh babi", oleh
masyarakat penutur bahasa Una bisa dengan enteng menjadi, "Saya babi
membunuh" atau bahkan "Babi membunuh saya".

Ini baru satu contoh kecil. Belum lagi hambatan lain yang lebih
serius, yakni terkait fenomena sosial-budaya yang-kata Dick Kroneman-
berbeda sekali. Karena itu, sebelum program pemberantasan buta huruf
dimulai, SIL meneliti bahasa daerah dan kebudayaan setempat. Dalam
kasus pemberdayaan masyarakat penutur bahasa Una melalui program
pemberantasan buta huruf, penelitian berlangsung hingga tiga tahun.

Selain menyangkut fonologi, ejaan, dan tata bahasa, hal lain yang
juga diteliti tentu saja kebudayaan masyarakat setempat. Cerita-
cerita apa yang menarik bagi mereka, pola hidup, sertanilai-nilai apa
yang penting dalam kehidupan mereka sangat penting dipahami untuk
perencanaan dan keberhasilan program pemberantasan buta huruf.

"Penelitian seperti ini sangat dibutuhkan. Kalau tidak
dilaksanakan maka program pemberantasan buta aksara pasti akan kurang
efektif," kata Dick.

Dalam pelaksanaannya, pertama-tama anak hanya dikenalkan pada
bunyi. Berulang-ulang. Tutor bercerita tentang keseharian mereka,
atau murid yang diminta bercerita mengenai anjing misalnya. Sebelum
sampai pada pengenalan huruf, anak disodori sejumlah gambar, dan
diminta mengenali dan menceritakan sesuai gambar yang mereka kenali.

Huruf dikenalkan kemudian. Itu pun selalu dikaitkan dengan suatu
kata kunci yang digambar. Untuk mengenalkan huruf "a" misalnya, anak
disodori gambar 'keladi', yang dalam bahasa Una dilafalkan "am" dan
bukan "a-em". Atau huruf "b" lewat gambar 'babi', yang dalam bahasa
Una disebut "bisam". Setiap kata kunci itu ada ceritapendek dan
sederhana yang dibacakan oleh tutor.

Buku-buku penunjang dalam tiga bahasa (Una-Indonesia-Inggris)
sudah disusun sesuai tingkatannya. Buku yang terdiri atas enam bagian
itu dimulai dari mengenal gambar (Buku I), membedakan huruf (Buku
II), mendengarkan bunyi/melafalkan (III), latihan menulis (IV),
menulis (V), dan membuat kalimat sederhana (VI).

Kasabaran tinggi memang dituntut dari para tutor yang
dipersiapkan oleh SIL International-Indonesia. Bekerja sama dengan
Yayasan Kristen Pelayanan Sosial Masyarakat Irian Jaya (Yakpesmi),
kini sebanyak 68 tutor dalam bahasa Una terlibat sebagai sukarelawan
dengan imbalan seadanya, kurang dari Rp 100.000 per bulan.

Hasilnya memang tidak cespleng. Setelah 15 tahun berjalan,
sekarang hampir 30 persen dari 5.400 penutur bahasa Una sudah mampu
membaca dan menulis dalam bahasa Una. Adapun yang sudah mengenal
bahasa Indonesia baru sekitar 20 persen.Saat ini sekitar 200 pemuda-
pemudi dari Langda dan desa-desa "tetangga"-nya (?) telah
melanjutkan pendidikan ke SMP, SMA, dan pendidikan tinggi di Wamena
atau di Jayapura.

Jumlah wanita dewasa yang bisa membaca pun mulai meningkat. "Ini
sangat berarti karena kalau sudah bisa membaca mereka akan paham
tentang kesehatan juga. Buku-buku sederhana tentang hal itu sudah
kami terjemahkan ke dalam bahasa Una," kata Dick.

Begitu pentingkah peran bahasa lokal dalam pemberdayaan
masyarakat? Para linguis dan ahli strategi pembangunan pasti sepakat
tentang hal itu. Akan tetapi, seberapa banyak proyek pemberdayaan di
negeri ini telah memanfaatkannya sebagai pintu masuk utama untuk
meningkatkan kualitas hidup mereka? Rasanya kita masih harus lebih
banyak berkaca pada pengalaman orang luar.

Di negeri ini, berbicara dengan bahasa rakyat-apalagi mau
mendengarkan suara rakyat-masih sebatas jargon.

class="fullpost">

Tidak ada komentar: