Senin, 11 Februari 2008

Budaya Melayu

KOMPAS
Rabu, 30 Bovember 2005

Benturan Peradaban
ORANG MELAYU CUMA PANDAI BERCERITA...

Oleh Kenedi Nurhan



DICK van der Meij sontak tertawa terkekeh-kekeh. Tangannya
menunjuk-nunjuk sepasang patung yang menggambarkan sosok tentara
Romawi-lengkap beserta pakaian kebesaran mereka dengan tameng,
senjata, dan "sirip" di kepala-yang dipajang di satu sudut ruang
pengambilan bagasi Bandara Hang Nadim, Batam.

"Hebat, ya. Orang Melayu sekarang memang luar biasa," kata
antropolog asal Belanda itu.

Bersama Rahayu Supanggah (seniman asal Solo berkelas dunia),
Pudentia (Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, ATL), dan Mukhlis PaEni (Staf
Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Pranata Sosial), sore
itu Dick baru saja tiba dari Jakarta untuk melanjutkan perjalanan ke
jantung Melayu di Pulau Bintan. Keinginan Dick untuk bisa secepatnya
menikmati suasana Melayu yang sebenar-benarnya Melayu di
Kepulauan Riau langsung sirna. Singgah di Batam, ia malah disambut
sosok pencitraan yang justru menggambarkan kebesaran imperium
para "leluhur"-nya dari daratan Eropa.

Di balik tawa tergerai itu, sebagai antropolog yang mendalami
naskah-naskah Melayu-Islam, Dick sesungguhnya tengah menertawai
orang-orang Melayu. Nadim memang sudah jadi nama bandara di
Batam, keperkasaan Tuah telah melegenda, dan "kepahlawanan" Jebat
tetap tak tergoyahkan meski harus mati di ujung keris Tuah; teman
sepermainannya sejak kecil. Sementara lewat naskah-naskah lama,
kebesaran Riau-Lingga dan Siak-Indragiri pun masih terekam di dalam
ingatan. Begitupun sosok Raja Ali Haji dengan Tuhfat al-Nafis dan
Gurindam Dua Belas-nya.

Akan tetapi, itu semua adalah romantisme masa lampau yang cuma
ada dalam bayang-bayang masa kini pada sebagian kecil orang-orang
Melayu. Selebihnya? Dunia kapitalisme dengan segala pernak-pernik
yang menyertainya sudah merampas kenangan akan kebesaran itu.
Bahkan, pekik Tuah yang begitu terkenal, "Tak kan Melayu hilang di
Bumi", kini sudah tidak punya gaung lagi dalam etos keseharian
orang-orang Melayu hari ini.

Harga sebuah perubahan

Tentu saja para pembela dan pengusung marwah Melayu seperti
sastrawan Taufik Ikram Jamil dan Hoesnizar Hood (sekadar menyebut
sedikit nama) tak usah terlalu masygul dengan kenyataan kian
meredupnya nilai-nilai kemelayuan itu. Selalu ada semacam apologi
yang bisa didedahkan. Taruhlah seperti pengalaman Dick yang ber-
jumpa "leluhur"-nya dalam wujud sosok tentara Romawi Kuno tadi,
oleh Mukhlis PaEni ditanggapi dengan menyodorkan cerita legenda
tentang cikal bakal raja-raja Melayu yang disebut-sebut berasal dari
keturunan Iskandar Zulkarnain.

Meski kisah tentang asal usul raja-raja Melayu tersebut benar-
benar tercatat dalam kitab Sejarah Melayu, namun tak berarti Mukhlis
PaEni--yang meraih doktor di bidang ilmu sejarah dengan disertasi
tentang penyerbuan Belanda ke Tanah Gayo dalam Perang Atjeh--
mengamininya. Tidak! Bahkan kisah tentang asal-usul raja-raja Melayu
itu terkesan ia sampaikan dalam nada satiris.

"Jadi, Dick, kamu tak perlu heran kalau ada yang
merepresentasikan orang Melayu seperti tentara Romawi itu. Sebab,
menurut silsilahnya, raja-raja Melayu itu kan keturunan Iskandar
Zulkarnain," kata Mukhlis.

Ucapan Mukhlis itu kontan disambut Dick van der Meij dengan gelak
tawa. Apalagi sebelumnya Mukhlis menginformasikan, setiba di Batam
mereka akan dijemput petugas dari dinas pariwisata setempat yang
berpakaian adat-resam Melayu.

Memang, sesungguhnya tak begitu penting menelusuri kebenaran atau
ketidakbenaran cerita semacam itu. Bukankah dalam masyarakat
kita--termasuk di tanah Melayu--legenda, mitos, dan sejenisnya
memang kerap membaurkan fakta dengan hal-hal yang berbau mitologis.

Apalagi dalam konteks Melayu saat ini, di mana praksis kehidupan
bermasyarakat lebih didominasi oleh kecenderungan pragmatisme, asal
usul tentang kejadian bukan lagi topik utama yang jadi pokok
perbincangan. Hal-hal yang berbau ideologis pun dalam beberapa
dekade terakhir sudah dipinggirkan. Lebih-lebih sejak wilayah ini
ditasbihkan sebagai kawasan segitiga pertumbuhan: Singapura-Johor-
Riau! Maka, lengkap sudah perubahan-perubahan itu.

Bahkan sejak Batam dijadikan wilayah eksklusif dalam hal
investasi dan perdagangan, sejarah tentang masa lalu kawasan ini
seperti tak lagi penting. Seiring perubahan Batam yang menjadi surga
bagi industri-bisnis dan pelancongan, nilai-nilai yang berkembang pun
mengalami pergeseran.

Melayu sebagai entitas budaya, yang kerap diidentikkan dengan
nilai-nilai keislaman, juga ikut tergerus. Pemandangan budak-budak
Melayu pergi mengaji ke surau-surau selepas maghrib hingga isya, kini
sudah kalah bersaing dengan gemerlap kehidupan malam di kawasan
Nagoya misalnya.

Apa boleh buat. Pembangunan yang menandai kemajuan fisik kawasan
ini senyatanya telah mengubah wajah kemelayuan yang mereka
sandang. Akan tetapi, sebesar itukah harga yang harus dibayar oleh apa
yang disebut modernisme dan modernitas? Sebegitu mahalkah?

Orang Melayu sebetulnya punya jawabnya. "Pandai-pandailah menitih
buih!" begitu kata bidal Melayu. Atau, dalam bahasa yang amat memelas
memelas melihat perkembangan di kawasan ini, penyair Ediruslan Pe
Amanriza (alm) pernah berucap: "Datang ke Batam harus tanpa amarah
dan marwah, saat melihat apek-apek dari Singapura menggandeng cewek kiri kanan."

Masih dalam kerangka meredam kemasygulan itu, seniman Zuarman
pada Kenduri Seni Melayu beberapa tahun lampau sampai-sampai
melantunkan kalimat: "Tak kumimpikan Melayu hilang di Batam.
Nagoya dan Jodoh hanya menjadi tempat belanja lontong (baca:
pelacur)." Perlu diketahui, Nagoya dan Jodoh adalah nama kawasan
bisnis dan 'pelesiran' terkenal di Batam.

Apalagi bila menyaksikan kawasan Logoi di utara Pulau Bintan,
pulau terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai bagian dari
realisasi segitiga pertumbuhan, Pulau Bintan malah harus kehilangan
"kedaulatan" pada sebagian wilayahnya. Lewat SK Presiden, tahun
1991, tanah seluas lebih dari 19.000 hektar di Kecamatan Bintan Utara
dijadikan kawasan terpadu, yang pengelolaannya "diserahkan" kepada
Singapura untuk jangka waktu 80 tahun!

Setelah 15 tahun berlalu, kawasan itu kini telah menjadi wilayah
"tertutup" bagi mereka yang tak berkepentingan. Setiap jalan masuk
menuju kawasan bernama Bintan Resort--dengan 11 hotel yang sudah
berdiri di sana--dijaga sangat ketat dan berlapis. Oleh pihak
keamanan di tiap gerbang masuk, tamu-tamu berwajah Melayu
ditanyai dengan tatapan penuh curiga.

"Masih untung kita tidak diminta menunjukkan paspor Indonesia,"
ujar seorang rekan yang sudah telanjur bikin janji bertemu dengan
salah satu pengelola hotel di sana.

Apalagi mereka punya pelabuhan khusus. Tanpa harus melalui
pelabuhan fery yang dikelola Pemerintah Indonesia, wisatawan dari
Singapura bisa langsung ke Bandar Bentan Telani di kawasan ini
dengan jarak tempuh sekitar 55 menit. Di sini, kecuali alam dan
lingkungannya, atmosfer Melayu yang sebenar-benarnya Melayu
sudah menguap entah ke mana.

"Setiap tahun sekitar 300.000 wisatawan dari Singapura datang
lewat pelabuhan ini," kata Marc R Thalmann, Direktur PT Mutiara
Bintan Discovery.

Membaca Melayu

Kenyataan-kenyataan semacam itu bukan tak dibaca oleh para
pengusung dan penjaga budaya Melayu seperti Hoesnizar Hood. Sebagai
anak muda yang sangat peduli pada jati diri dan kemelayuan orang
Melayu, Hoesnizar bahkan melancarkan otokritik terhadap orang-orang
Melayu itu sendiri.

Dalam rubrik "Temberang" di harian lokal yang terbit di Batam,
ia menulis bahwa tudingan yang menyebutkan orang Melayu cuma
pandai bercerita memang itulah adanya. "Betullah itu," katanya ketika
jumpa-sua dengan penulis di Tanjung Pinang, beberapa waktu lalu.

"Orang Melayu tu memang cuma pandai bercerita. Bukankah yang
menjadi petinggi (di Kepulauan Riau) hari ini entah siapa, yang duduk
di Dewan jumlahnya hanya seberapa, yang menjadi pejabat pun tak
jelas kemelayuannya. Dan yang benar-benar Melayu diam-diam
menyembunyikan identitasnya."

Begitulah hasil "bacaan" Hoesnizar terhadap kehidupan orang-
orang Melayu hari ini. Meski mengaku galau, namun ia masih bisa
berseloroh lewat permainan kata sebuah bidal yang diplesetkan.
Katanya, "Sudah gaharu cendana pula, sudah Melayu merana pula!"

class="fullpost">

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan Arab Melayu (ARMEL) telah dilupakan banyak pihak, khususnya dunia usaha dan dunia kerja. Saat ini anak-anak sekolah SD & SMP di Riau masih mempelajari penulisan tersebut.

Menurut kami, ada beberapa pola untuk melestarikan armel, salah satunya lewat siklus ekonomi. Setiap ada kebutuhan pasti ada suplai, rumus ekonomi inilah yang sebaiknya digunakan oleh Pemda untuk melestarikan armel.

Sebagai contoh bila administrasi perkantoran pemerintahan semuanya menggunakan aksara arab melayu dengan sendirinya akan ada kebutuhan editor arab melayu yang bisa link dengan MS Office dan bisa digunakan disemua bentuk komputer saat ini. Contoh detailnya lagi bila regulator yang dikeluarkan oleh pemda seperti Izin-izin, Akte Kelahiran, KK, KTP, SIM, IMB, SIUP,SITU dan sebagainya diterbitkan dalam aksara melayu dengan sendirinya kita dapat melestarikan aksara tersebut karna dibutuhkan ditingkat dunia kerja.

Sebagai langkah awal untuk mendapatkan Editor Arab Melayu secara cuma-cuma dapat menghubungi :

1. Lembaga Adat Melayu Riau Riau dengan Bapak Suwarto dan Datuk Dun Usul hp. 08127638000.

2. IAIN Rianiry Banda Aceh dengan Bapak Cut Azwar hp.08566033901.

3. IAIN Medan/Sumut dengan Bapak Irwan Nasution 08126024032.

4. Balai Bahasa Sumut dengan Bapak Sihombing 08126054470.

jazrul mengatakan...

mengumpat pun pandai


web design

fauzi mengatakan...

tak baik mulut gunakan untuk buat benda macam tu

fire extinguisher

fauzi mengatakan...

mulut kalau baca al-quran lagi bagus

malaysia seo

fauzi mengatakan...

memang bagus guna benda yang menfaat

malaysia web design

jazrul mengatakan...

benda apa yang menfaat
fire detection

jazrul mengatakan...

baca AL_QURAN menfaat
fire suppression system

jazrul mengatakan...

senam pun juga
hose reel system

abg mengatakan...

senam tu apa????

Maternity Wear,Maternity Clothing,Maternity Dress,Online Maternity,Online Baby Products,One Stop Maternity