Selasa, 12 Februari 2008

Tradisi

KOMPAS
Kamis, 16 Februari 2006

Tradisi Tabot Bengkulu (2-habis)
WAJAH BUDAYA BERMUKA DUA

Oleh Kenedi Nurhan


Ada kuda sembrani di arena Festival Tabot 2006. Warna badannya hitam, dengan kepak sayap berwarna jingga. Di leher jenjangnya tergantung perisai dalam warna kuning keemasan. Rambut hitamnya yang menjuntai, menambah keelokan bagian kepala berbentuk wajah wanita cantik, lengkap dengan mahkota di atasnya.

Tegak bertengger di bahu bangunan menyerupai menara masjid, kuda hitam bersayap dan berwajah wanita cantik--simbol dari hewan bernama buraq yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad SAW saat melakukan perjalanan kenabiannya dan dikenal sebagai peristiwa Isra' Mikraj--itu tampak terlihat gagah. Masyarakat yang memadati sepanjang Jalan Jend A Yani dan Letjen Suprapto yang membentang di pusat Kota Bengkulu sempat dibuat kagum.

Belum lagi aneka bentuk tabot lain. Meski pada umumnya tabot-
tabot yang disertakan dalam prosesi puncak upacara tabot di Bengkulu
pada 10 Muharam 1427 Hijriah (bertepatan 9 Februari 2006) berbentuk
menara masjid, namun variasi yang ditampilkan begitu beragam. Lebih-
lebih pada jenis yang mereka sebut tabot pembangunan, yang
merupakan pesanan instansi-instansi pemerintah dan atau lembaga-
lembaga lain. Sementara 17 tabot utama dinamakan tabot sakral, bentuk
dasarnya relatif seragam, tetapi ada sedikit variasi pada aksesori
pendukungnya, lengkap dengan aneka kertas warna terang-mencolok
sebagai penghiasnya.

Di tengah keragaman bentuk dan variasi tabot-tabot yang umumnya
mereka persiapkan sejak sebulan menjelang prosesi agung tersebut,
pada dasarnya tabot-tabot itu melambangkan peti mati Husein bin Ali
bin Abi Thalib. Cucu Nabi Muhammad SAW ini gugur menjadi syuhada
dalam pertempuran tak seimbang ketika harus melawan ribuan laskar
Ubaidillah Ibnu Said dari Bani Umaiyyah di Padang Karbala (wilayah
Irak sekarang) pada 10 Muharam 61 Hijriah (681 Masehi).

Bagi masyarakat Bengkulu, rangkaian prosesi upacara tabot yang
selalu diselenggarakan pada 1-10 Muharam (konon sudah sejak dua
abad terakhir) tersebut selalu mereka tunggu. Setiap malam, ribuan
warga memadati Lapangan Merdeka (di sebelah Gedung Daerah,
kediaman resmi Gubernur Bengkulu; tak jauh dari Benteng
Malborought). Di sini mereka berkumpul menyaksikan aneka acara
pendukung yang digelar, termasuk menikmati suasana dan jajanan di
pasar malam dan stan-stan peserta pameran pembangunan.

Bahkan, pada pemuncak prosesi yang diselenggarakan pada tengah
hari tanggal 10 Muharam, puluhan ribu warga tumpah ke jalan-jalan
utama yang dilewati arak-arakan tabot, yang bergerak mulai dari
Lapangan Merdeka hingga berakhir di Pemakaman Umum Karabela di
Kelurahan Padang Jati. Lokasi ini dipilih sebagai tempat akhir
sekaligus penutup dari rangkaian prosesi-lewat apa yang mereka sebut
tabot tebuang-itu karena diyakini di sanalah Imam Senggolo alias
Syekh Burhanuddin (orang yang disebut-sebut sebagai pelopor upacara
tabot) dimakamkan.

Akulturasi budaya


Kini, tabot dengan segala rangkaian prosesi dan pernak- pernik
yang melingkupinya itu sudah menjadi bagian dari tradisi budaya
Bengkulu. Meski pada awalnya ia berangkat dari kebiasaan orang-orang
Bengali (India selatan) yang didatangkan oleh Inggris saat
pembangunan Benteng Malborouhgt (1718-1719), namun dalam
perkembangannya yang cukup panjang, upacara tabot bersentuhan dengan
budaya-budaya lokal.

Terjadilah semacam akulturasi budaya. Mereka yang diyakini
sebagai keturunan orang-orang Bengali yang sudah berasimilasi dengan
penduduk asli Bengkulu pun, yang dikenal dengan sebutan orang-orang
Sipai, kini juga sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat
Bengkulu kebanyakan.

Dan, memang, berbagai kajian menyimpulkan bahwa upacara tabot
dapat digolongkan sebagai produk budaya lokal. Beberapa di antaranya
bahkan berani menggolongkan upacara tabot sebagai upacara
tradisional masyarakat Melayu-Bengkulu, seperti halnya upacara-
upacara daur hidup (life cycle) orang Bengkulu yang kental akan aroma
keislamannya. Taruhlah seperti adat dan upacara kelahiran, perkawinan,
dan kematian (Bunga Rampai Melayu-Bengkulu, 2004; Adat Istiadat
Daerah Bengkulu
, 1980).

"Tidak usah heran bila dalam perkembangannya ritual-ritual dalam
upacara tabot sudah sangat longgar. Tampaknya ada semacam
kesadaran budaya dari para pengusung utama ritual ini. Bahwa, agar i
tradisi ini bisa terus berkembang ia harus berkompromi dengan apa
yang disebut unsur 'tontonan' dalam agenda kepariwisataan," kata Agus
Setiyanto, sejarawan dari Universitas Bengkulu.

Dalam perspektif filsafat sejarah, kecenderungan semacam itu
memang menarik. Sama menariknya atas dugaan terjadinya pergeseran
upacara tabot yang semula sebagai produk dari budaya masyarakat
nelayan-yang dicirikan sebagai budaya kelautan, budaya hilir-tetapi
kini menjadi budaya orang-orang 'darat' dan dengan orientasi pada
pranata budaya hulu.

Dulu, kata Agus Setiyanto, pada akhir prosesi, tabot-tabot sakral
itu dibuang ke laut. Akantetapi, entah sejak kapan, kini justru
dibuang ke darat; ke lokasi pemakaman tokoh bernama Imam Senggolo
alias Syekh Burhanuddin, yang oleh pengikutnya diyakini sebagai cikal
bakal 'terbentuknya' upacara tabot di Bengkulu.

"Pergeseran ini sangat boleh jadi untuk melengkapi identitas
budaya mereka. Identitas budaya hilir yang mereka miliki tampaknya
tidak cukup kuat menghadapi desakan budaya hulu, sehingga dipandang
perlu mencari pijakan baru. Kebetulan 'ruang' itu ada, yakni suatu
tempat yang diyakini sebagai makam Imam Senggolo, tokoh yang
menyejarah sekaligus melegenda," urai Agus, yang sehari-hari
mengasuh mata kuliah Kebudayaan Masyarakat Indonesia dan Sistem
Sosial Budaya Indonesia di FISIP Universitas Bengkulu.

Ritual dan sekuler

Fenomena sosial budaya lainnya adalah kuatnya kecenderungan
pergeseran upacara tabot dari ritual murni ke seni pertunjukan yang
bisa dikategorikan sebagai pseudo-ritual. Ciri utama seni pertunjukan
rakyat yang pseudo ritual, menurut Agus, ditandai oleh adanya
distorsi nilai-nilai ritual. Seiring dengan itu muncullah tontonan
yang bersifat (semi) sekuler; di satu sisi aspek ritualnya mulai
tergerus, tetapi di sisi lain ia belum bisa dikategorikan sebagai
seni yang komersial.

Situasi semacam inilah yang sekarang dihadapi seni tradisi tabot
di Bengkulu. Dengan kata lain, tabot kini menampilkan wajah budaya
yang bermuka dua: semi ritual dan semi (tontonan) sekuler!

Kenyataan ini tak perlu terlalu dirisaukan. Gejala budaya semacam
ini wajar terjadi di tengah 'persaingan' pengaruhi, tentu saja
sejauh tidak bersifat saling merusak.

"Yang perlu dicemasi adalah seni budaya tradisional yang tak
mampu menyesuaikan dirinya sesuai tuntutan zaman. Sebab, kalau tidak,
ia justru jadi produk yang liar," ujar Agus.

Dalam kasus upacara ritual tabot sebagai sebuah produk budaya,
fenomena 'budaya bermuka dua' tadi justru menjadikan tabot sebagai
apa yang disebut dengan istilah local genius. Fenomena ini pula yang
diyakini banyak kalangan membuat upacara ritual tabot mampu bertahan
dari benturan-benturan budaya yang dihadapinya selama dua abad
terakhir.

Bahwa ada sebagian kalangan yang menuding upacara (semi) ritual
tabot menyimpang dari akidah keislaman, Agus mencoba menempatkannya
dalam posisi berbeda. Taruhlah terhadap semacam keyakinan pada
keluarga tabot, yang sebagian masih percaya bahwa jika ritual ini
tidak dilaksanakan akan mendatangkan bencana bagi mereka, atau
terhadap benda-benda yang dikeramatkan, Agus melihatnya justru di
balik itu ada semacam kearifan lokal.

Wasiat leluhur mereka tentang hal itu, kata Agus, adalah wujud
kearifan yang telah dibungkus sedemikian rupa. Intinya adalah agar
jangan sampai tradisi-tradisi itu ditinggalkan begitu saja. Harus
dijaga, bahkan kalau mungkin dikembangkan.

"Apalagi jika dicermati dari perspektif filsafat sejarah,
substansi budaya tabot itu merupakan simbolisasi dari sebuah
keprihatinan sosial. Dengan demikian, sebagai produk budaya manusia,
secara tidak langsung-lewat tahapan-tahapan prosesi yang ada itu-ia
juga mengusung simbol-simbol solidaritas sosial atau merupakan
simbolisasi kearifan sosial," papar Agus Setiyanto.

Boleh jadi memang demikian. Sebelum dan selama hari-hari
pelaksanaan upacara, di sejumlah kampung tempat para keluarga tabot
bermukim, merekasaling bantu dalam pengerjaan bangunan tabot dalam
suasana akrab. Nilai-nilai kegotongroyongan muncul ke permukaan.
Bahkan, pada prosesi meradai, anak-anak berusia 10-12 tahun ikut
mengumpulkan sumbangan untuk kepentingan ritual tabot. Orang-orang
yang lewat pun menyumbang secara sukarela.

Itulah wajah lain di balik kemeriahan yang tersembunyi....



class="fullpost">

Tidak ada komentar: