Rabu, 23 Januari 2008

KOMPAS
Kamis, 28 Juli 1994

Laporan dari Lampung (1)
MENUNGGU TUMPAHAN DARI JAWA...

Oleh Kenedi Nurhan

PARA ahli sosiologi dan linguis barangkali perlu merumuskan
istilah baru berkaitan persoalan migrasi penduduk ekstransmigran
di Lampung. Setelah dua generasi menikmati suka duka hidup sebagai
petani di tanah "impian" di ujung semenanjung Pulau Andalas, pada
generasi ketiga, di sini merebak fenomena "baru". Ribuan warga
ekstransmigran Lampung, terutama dari Lampung Selatan -- dan
sedikit dari Lampung Tengah -- kini berbalik menyerbu Jawa.

Mereka telah menanggalkan cangkul. Kini, mereka menyerbu pusat-
pusat industri berskala besar di Jakarta dan sekitarnya. Berbekal
keterampilan seadanya, ekstransmigran asal Lampung ini mencoba
mengadu nasib bersama ribuan pekerja lain di kawasan industri
Jabotabek. Sektor ekonomi tradisional yang telah digeluti oleh dinasti
keluarganya secara turun-temurun sejak ratusan tahun lampau
ditinggalkan. Mereka memilih menjadi buruh harian di pabrik-pabrik...

Tiap tahun arus "migrasi balik" tersebut cenderung meningkat.
Jawa dijadikan ajang mencari kerja, tanpa meninggalkan status
kependudukannya sebagai ekstransmigran Lampung. "Yang jelas,
ekstransmigran asal Jawa yang balik cari kerja ke Jawa ini perlu
diberi identitas ke-'migrasi'-annya," seloroh seorang rekan wartawan
di Lampung.

KETIKA di era 1930-an dimulai pemindahan penduduk secara
terorganisir dari Jawa ke Gedongtataan (Lampung), kita pun untuk
pertama kalinya mengenal istilah transmigrasi. Dan ketika
pertumbuhan ekonomi di kota-kota semakin berkembang bersamaan
semakin membaiknya tingkat penghidupan bangsa Indonesia, ribuan
penduduk desa berbondong-bondong menyerbu kota. Lalu, istilah
urbanisasi pun menjadi sangat populer di negeri ini.

Tetapi apa yang terjadi di Lampung, khususnya di sejumlah
lokasi ekstransmigrasi di Lampung Selatan, justru menampakkan
fenomena berbeda. Bahkan sepintas terasa agak aneh. Pendatang
asal Jawa yang semula sengaja datang ke Lampung untuk mencari
penghidupan baru, belakangan malah banyak yang menggantungkan
lahan penghidupan di Jawa.

Sejauh ini belum ada data pasti mengenai jumlah penduduk
ekstransmigran Lampung yang bekerja di kawasan industri
Jabotabek. Yang pasti, menjelang Lebaran lalu ribuan kelompok
pekerja ini ramai-ramai mudik. Mereka tumpah bagaikan air bah,
mengalir dari pusat-pusat kawasan industri tadi dan memenuhi
jalur penyeberangan Merak-Bakauheni. Lampung "kampung halaman"
mereka, Jawa tempat gantungan nafkah mereka.

"Saya cuma dapat izin libur seminggu. Tiga hari setelah
Lebaran kami diharuskan sudah masuk kerja," kata Siti Zahara
(18), putri keluarga transmigran generasi ketiga dari Pringsewu,
Lampung Selatan. Dara manis ini mengaku bekerja di satu perusahaan
garmen di Tangerang.

Fenomena berupa "arus balik" yang terjadi di tengah-tengah
kehidupan generasi ketiga warga ekstransmigran di Lampung ini
sesungguhnya tidaklah sama sekali baru. Apa yang dilakukan Siti
Zahara misalnya, cuma sekadar melanjutkan semacam "tradisi" yang
telah dirintis para pendahulunya. Begitu pun nasib ribuan Zahara
lain, yang mencoba bertahan di tengah kerasnya kehidupan buruh
sektor industri di Jabotabek. Mereka mengikuti jejak mbakyu-mbakyu-
nya yang sejak lima tahun terakhir membanjiri bursa tenaga kerja di
kawasan industri sekitar Ibukota.

Semakin sempitnya lahan pertanian milik keluarga yang tersedia
hanyalah salah satu faktor pendorong munculnya "migrasi balik"
tersebut. Di balik itu semua, banyak pengamat yakin bahwa
sesungguhnya ada kekuatan yang jauh lebih besar yang menyedot mereka
kembali ke Jawa, yang pusarnya betapa pun memang masalah ekonomi.

***

DI tengah pusaran ini pula, Lampung --terutama Bandarlampung
sebagai ibukota propinsi berpenduduk sekitar 6,3 juta jiwa itu--
berjuang menjadi salah satu pusat pertumbuhan baru perekonomian
di luar Jawa. Letaknya yang begitu dekat dengan Jawa, lebih-lebih
Jawa Barat, merupakan salah satu nilai lebih dibandingkan daerah
lain di Sumatera.

Posisi geografis yang oleh banyak pengamat dinilai strategis
tersebut, kini menempatkan posisi Lampung sebagai daerah tolehan
bagi investor. Hanya saja, untuk bisa menyaingi gairah investasi
di Jawa memang masih perlu waktu. Bahkan menurut seorang pengamat
ekonomi setempat, sesungguhnya posisi Lampung sekarang ini ibarat
menunggu tumpahan Jawa. Artinya, selagi iklim investasi di Jawa
belum jenuh, percepatan lompatan pertumbuhan investasi di Lampung
bagai mengikuti rumus deret hitung.

Peluang investasi di propinsi yang kadang-kadang diplesetkan
sebagai "Jawa Utara" ini, realisasinya harus diakui memang masih
lamban. Kendala seperti kekurangsiapan infrastruktur, terutama
menyangkut sektor pelayanan publik (public service) -- semacam
ketersediaan listrik dan air bersih -- serta iklim investasi itu
sendiri masih tetap menjadi persoalan klasik. Sekadar gambaran,
selama PJP I dari rencana investasi untuk 167 proyek PMDN senilai Rp
3,32 milyar hanya terealisasi Rp 1 milyar. Sedangkan untuk PMA, dari
rencana investasi 328,4 juta dollar (AS) ternyata cuma terealisasi
99,7 juta dollar (AS).

Namun tidak berarti sikap optimis surut ke belakang. Pada
satu seminar yang secara khusus membahas Repelita VI Daerah
Lampung beberapa waktu lalu, Gubernur Poedjono Pranyoto malah
melihat tantangan itu sebagai alat pemicu semangat membangun bagi
pengembangan di segala sektor. "Kita harus siap membangun Lampung
dengan sepenuh tenaga. Transformasi ekonomi pada PJP II tidak
bisa terelakkan, karena itu diperlukan sumber daya manusia yang
kuat untuk menghadapi transformasi budaya dan penguasaan iptek."

Prospek dan tantangan Lampung untuk menjadi poros utama
perkembangan Jawa-Sumatera tampaknya saling berkait. Melesatnya
angka pertumbuhan penduduk Kota Bandarlampung selama 15 tahun
terakhir misalnya, barangkali merupakan satu indikasi ke arah
terbentuknya poros tadi.

Tengoklah data berikut. Pada tahun 1980, Kantor Statistik
Bandarlampung mencatat jumlah penduduknya baru 284.275 jiwa.
Tetapi 10 tahun kemudian, jumlah ini meningkat hampir tiga kali
lipat, menjadi 636.706 jiwa. Tingkat pertumbuhan rata-rata 3,11
persen ini termasuk relatif tinggi. Melihat trend demikian, tak
aneh bila muncul perkiraan, di tahun 2004 jumlah penduduk
Bandarlampung akan mencapai sekitar 1,25 juta jiwa! Dan itu
berarti, Bandarlampung tengah bersiap-siap menjadi kota besar.

Persoalannya kini, mampukah Lampung membangun satu jaringan
ekonomi yang tangguh tanpa harus menunggu kejenuhan "pasar"
investasi di Jawa? Meski sejumlah industri mulai tumbuh sepanjang
poros utama Jalan Lintas Sumatera di sekitar Bandarlampung, namun
kehadirannya belumlah cukup mampu menyedot investasi usaha secara
besar-besaran. Salah satu faktor penyebab kurang maraknya minat
investor merelokasikan industri mereka dari Jawa ke Lampung,
menurut versi pemda setempat, karena terbentur masalah kurangnya
ketersediaan tenaga listrik yang memadai.

Kendati demikian, mereka optimis bahwa satu saat Lampung
akan mampu menjadi pusat pertumbuhan baru di luar Jawa. Jika
impian ini bisa terwujud, dan daerah di sekitar Kotamadya
Bandarlampung tumbuh menjadi satu kawasan industri seperti di
Jabotabek, boleh jadi arus "migrasi balik" di kalangan
ekstransmigran yang sejak lima tahun terakhir cenderung meningkat
akan bisa direm.

Tidak ada komentar: