Selasa, 22 Januari 2008

KOMPAS
Jumat, 29 Juli 1994

Laporan dari Lampung (2-Habis)
DI ANTARA KARANG DAN TELUK

Oleh Kenedi Nurhan

BANDARLAMPUNG memang bukanlah kota utama dan terbesar di
Sumatera. Dilihat dari jumlah penduduknya saja yang kurang dari
700.000 jiwa, ibu kota Provinsi Lampung ini masih kalah dibandingkan
Palembang yang berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa. Jangan pula
disejajarkan Medan, yang konon kota terbesar ketiga di Tanah Air.
Hanya karena letaknya yang persis berada di poros utama Jawa-
Sumatera, banyak orang yakin bahwa suatu saat Bandarlampung akan
menjadi kota besar, atau sedikitnya menjadi "tolehan" begitu orang
berbicara tentang Pulau Sumatera.

Sekarang pun, dalam posisinya sebagai hinterland Ibukota,
Bandarlampung sebenarnya sudah memiliki posisi khusus. Kota yang
empat kali meraih penghargaan Adipura ini pelan-pelan mulai bergerak
menjadi kota "masa depan", lengkap dengan segala atribut yang mulai
terasa berbau metropolitan.

Pertumbuhan di pusat-pusat kota serta daerah pinggiran yang
menjadi penyangga kota berkembang pesat. Sejumlah industri skala
menengah bermunculan. Jalan lingkar luar di sebelah timur kota
sebagai penghubung dari arah Kotabumi (utara) menuju Bakauheni
(selatan), telah pula dibangun. Di masa-masa mendatang, kehadiran
jalur ini akan semakin penting fungsinya dalam menunjang pertum-
buhan Kota Bandarlampung. Efek ganda yang segera bisa disimak
adalah pada satu sisi kemacetan arus lalu lintas dalam kota bisa ditekan
dan di sisi lain membuka peluang munculnya pusat-pusat pertumbuhan
baru di sepanjang jalur ini.

Menilik ketersediaan sarana dan situasi lain yang melingkupi
ini, tak heran bila Wali Kota Drs A Nurdin Muhayat terobsesi untuk
mengembangkan Kotamadya Bandarlampung ke segala arah dan segala
sektor kehidupan. Nuansa implisit yang bisa ditarik dari obsesi itu
adalah: Bandarlampung harus mulai bersiap menghadapi kemungkinan
terjadinya luberan aktivitas sosial, ekonomi dan kependudukan.

Di sektor kependudukan misalnya, dalam 10 tahun mendatang
jumlah penghuni Bandarlampung diperkirakan sudah mencapai 1,2 juta
jiwa. Saat ini, jumlah penduduknya memang baru 636.706 jiwa
(berdasarkan hasil sensus tahun 1990), dengan komposisi penduduk
terpadat berada di Tanjungkarang Pusat, yakni 11.090 jiwa/km*u22.
Perlu dicatat, 10 tahun sebelum itu Bandarlampung hanya dihuni
284.275 jiwa.

***

GUNA mengantisipasi pertumbuhan kota, sebenarnya pemda setempat
telah menyusun pola penggunaan lahan hingga tahun 2004 yang
terangkum dalam Rencana Umum Tata Kota Bandarlampung (1984-2004).
Kebijakan dasar itu sendiri sudah dijabarkan dalam Rencana Tata
Ruang Kota (RTRK), yang membagi Bandarlampung menjadi enam kawasan
wilayah pengembangan (KWP). Peran KWP ini tidak lain adalah sebagai
pusat pengembangan lokal, yang kesemuanya bermuara pada fungsinya
dalam tataran skala nasional, regional dan lokal itu sendiri.

Dalam skala regional --terutama di kawasan Sumatera bagian
Selatan dan lebih khusus lagi di lingkup Propinsi Lampung--
pengembangan Bandarlampung diarahkan pada beberapa fungsi. Di
antaranya, Bandarlampung sebagai pusat perdagangan regional. Ini
berarti, Kotamadya Bandarlampung harus mampu memainkan perannya
sebagai simpul akhir kegiatan ekonomi, baik yang berorientasi ekspor
maupun ke Jakarta, dalam sistem pelayanan di wilayah Sumbagsel dan
atau Propinsi Lampung. Selain itu, Bandarlampung juga diarahkan
sebagai pusat pelayanan transportasi regional, pusat pendidikan dan
kebudayaan serta sebagai pusat pengembangan baru kawasan industri:
baik yang bersifat agroindustri, industri maritim maupun industri
lainnya.

Secara administratif, Kodya Bandarlampung saat ini memang baru
terbagi dalam 9 kecamatan yang terdiri dari 74 kelurahan dan 10
desa. Tetapi pembagian ini tentu sangat tidak memadai andaikan
pertumbuhan kota benar-benar sesuai dengan kecenderungan yang ada.
Oleh karenanya, tak berlebihan bila Nurdin Muhayat bercita-cita,
dalam masa PJP II ini Bandarlampung diproyeksikan memiliki 114
kelurahan di bawah kendali 15 kecamatan.

Sejarah terbentuknya Kodya Bandarlampung memang cukup unik.
Sebelum tahun 1982 kota ini masih bernama Tangjungkarang-Teluk
Betung yang masing-masing merupakan kota dengan ciri dan 'watak'
tersendiri. Jauh sebelum itu, sebelum 1912, Tanjungkarang adalah
bagian dari Onder Afdeling Telok-Betong. Kota Telok-Betong sendiri
adalah Ibukota Karesiden Lampung, sementara Tanjungkarang merupakan
Ibukota Onder Afdeling Telok-Betong. Dilihat dari sisi ini, tampak
bahwa "wibawa" wilayah Teluk Betung memiliki nilai lebih ketimbang
daerah "bawahannya": Tanjungkarang!

Kini, situasi justru tidaklah demikian: Teluk Betung tak
ubahnya cuma bagian dari Tanjungkarang!

***

"DULU Teluk Betung ini jauh lebih ramai ketimbang daerah
Tanjungkarang. Tetapi sekarang situasinya justru berbalik. Lihatlah,
menjelang tengah hari toko-toko dan pusat perbelanjaan di sini
sepi," ucap seorang pedagang yang ditemui di daerah pertokoan yang
berada di Teluk Betung.

Munculnya wilayah permukiman baru yang didominasi kelompok
menengah-atas di bagian utara dan timur kota -- yang notabene
termasuk wilayah Tanjungkarang -- diyakini sebagai salah satu faktor
utama penyebab perubahan ini. Pusat-pusat pertokoan tumbuh dan
berkembang. Bahkan pusat perbelanjaan (modern) terbesar di kota ini
pun tumbuh di wilayah Tanjungkarang. Kendati sektor jasa
penyangganya tetap lebih banyak di Teluk Betung -- seperti bank,
kantor-kantor pelayanan umum dan pusat grosir -- namun secara umum
dominasi kegiatan ekonomi perkotaan ada di Tanjungkarang.

"Di masa datang aktivitas ekonomi perkotaan di Teluk Betung
diperkirakan akan semakin menciut. Teluk Betung sendiri hanya
menjadi semacam pelengkap bagi pusat-pusat kota yang akan
berkembang," kata Sahat SP Pandjaitan PhD, ahli ekonomi dari
Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (FE Unila).

Prediksi yang dilontarkan Sahat SP Pandjaitan sesungguhnya
tidaklah terlalu berlebihan. Sekarang pun gejala itu sudah mulai
tampak. Lihatlah kesibukan di sepanjang Jalan Kartini, Raden Intan
dan Jalan Teuku Umar yang mulai diwarnai kebisingan. Di kedua tepi
jalan berderet toko kelontong, pusat pelayanan jasa umum dan aneka
kesibukan lainnya. Semua itu merupakan bagian dari penyediaan sarana
kebutuhan warga Tanjungkarang. Sarana rekreasi sebagai pelengkap
kebutuhan keluarga "modern" pun bermunculan. Bahkan di daerah
Kedaton -- yang sepuluh tahun lampau masih bersuasana ndeso -- kini
ikut sibuk dan telah menjadi bagian dari aktivitas ekonomi
perkotaan.

Berkembangnya pusat-pusat pendidikan tinggi di daerah
Gedongmeneng, disadari atau tidak, juga telah ikut memberi warna
bagi pola pertumbuhan kota Bandarlampung. Hadirnya sejumlah
perguruan tinggi di wilayah ini, termasuk Universitas Lampung, ikut
mempengaruhi terbentuknya unit-unit permukiman baru yang penghuninya
didominasi kelompok menengah-atas.

Keberadaan kawasan perumahan Way Halim hanyalah satu contoh
kecil, betapa pertumbuhan permukiman di wilayah ini telah melahirkan
semacam "kota baru" di Bandarlampung. Belum lagi hadirnya sejumlah
kompleks real estate lain, semacam Kedamaian Indah dan Tanjung Damai
Lestari, yang belakangan cenderung kian deras bermunculan. Dan semua
itu, tentunya, membutuhkan berbagai sarana pelengkap. Lalu hukum
ekonomi pun berlaku. Pasar dan pertokoan ikut bermunculan di lokasi-
lokasi dalam radius yang mudah dijangkau. Pusat-pusat kegiatan
bisnis juga tak ketinggalan memanfaatkan situasi demikian.

Simak saja belasan pusat pertokoan, baik berupa super market
maupun masih tergolong mini market, yang dalam beberapa tahun
terakhir tumbuh bagai jamur di musim hujan. Sembilan dari 14 super
market/mini market yang ada di kota ini berada di wilayah
Tanjungkarang, termasuk super market di kawasan perbelanjaan
termegah (dan mungkin terlengkap) yang menjulang di kawasan Jalan
Kartini.

"Kita tidak bisa melawan kekuatan pasar," kata Dr Sahat SP
Pandjaitan, Dekan FE-Unila, mengomentari 'persaingan' dua wilayah
Kotamadya Bandarlampung yang tumbuh di antara "Karang" dan "Teluk".



Tidak ada komentar: