Kamis, 17 Januari 2008

Transmigran

KOMPAS
Rabu, 8 April 1992

Lebaran Sepanjang Batumarta-Ungaran (1)
RABU KLIWON BAGI NURYATI

Oleh Kenedi Nurhan

Pengantar Redaksi: Tanggal 27-31 Maret 1992, koresponden Kompas di Palembang, Kenedi Nurhan, mengikuti perjalanan mudik Lebaran satu keluarga transmigran mulai dari Batumarta, Sumsel, sampai ke kampung asal mereka di kaki Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Berbagai peristiwa selama di perjalanan disajikan dalam tiga tulisan berikut.


TANGIS Nuryati (21) pecah. Berita duka tentang "kepulangan"
ayahnya, Sumadi (1936-1992) pada Rabu kliwon 26 Februari 1992 ke
keharibaan Yang Maha Kuasa, baru ia ketahui justru pada saat hati
ibu satu anak ini tengah berbunga, dalam suasana pulang kampung
bertemu sanak saudara dan handai taulan setelah dua tahun lebih
mereka tak saling berjumpa.

Tak ada firasat sebelumnya. Tak ada tanda-tanda bahwa maut
telah memisahkan ayah dan anak itu. Tidak juga selama dalam
perjalanan mudik Lebaran menuju tanah kelahirannya di Desa Gogik,
Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Bersama suaminya asal Bali, I Wayan Melaya (24), dan anak
mereka Agus Setiawan (2,8), sejak berangkat dari lokasi transmigrasi
Batumarta, Kecamatan Buay Madang, Kabupaten Ogan Komering Ulu,
Sumsel, Sabtu (29/03/1992), Nuryati kelihatan tampak terus ceria.
Kegembiraan yang sama juga ditunjukkan Agus Setiawan, buah hati
pertama pasangan Jawa-Bali ini. Perjalanan mudik lebaran selama 30
jam --nyaris tanpa berhenti kecuali istirahat untuk makan-- itu
berjalan mulus tanpa gangguan berarti.

"Terus terang, kami betul-betul kaget menerima kenyataan ini.
Dalam suratnya terakhir Bapak memang berpesan agar Lebaran tahun
ini kami pulang ke Ungaran. Bapak ingin sekali bertemu Agus. Jika
seminggu sebelum Lebaran kami tidak muncul di Gogik, Bapak yang
justru akan datang ke Sumatera. Cuma yang agak ganjil, dalam surat
itu dipesan agar kami tidak berangkat pada hari Rabu kliwon. Dan
ternyata itu adalah hari di mana bapak dipanggil Tuhan," tutur I
Wayan Melaya.

BOLEH jadi, itulah antiklimaks perjalanan mudik Lebaran bagi
pasangan suami istri muda ini. Persiapan selama setahun lebih,
terutama untuk ongkos mudik sebesar Rp 300.000 yang dipersiapkan
dengan cara ikut arisan selama 15 bulan, yang telah dirancang
khusus untuk berlebaran di tanah seberang itu pun terasa menjadi
pahit: ada sesuatu yang tak lengkap.

Tali silaturrahmi Batumarta-Ungaran teretas dengan "kepergian"
sang bapak. "Keleresan Nur yogo kulo engkang paling raket kalih almarhum," kata ibunya, Ny Umini (54), dalam bahasa Jawa halus yang kurang lebih berarti bahwa Nuryati kebetulan memang anak mereka yang paling dekat dengan almarhum Sumadi.

***

KETIKA berangkat dari Desa Wanabakti, Batumarta E, memang tak
ada yang istimewa. Usai upacara pamitan dengan kedua mertuanya,
orangtua I Wayan Melaya, Nuryati beserta suami dan anaknya langsung
bergegas ke tempat penjualan tiket bus angkutan umum di simpang
masuk ke lokasi transmigrasi yang mulai ditempati sejak 1974/1975
itu, tepatnya di kilometer 16 arah tenggara Baturaja menuju
Martapura.

Letak "halte" itu cukup strategis, yakni berada di tepi jalur
lintas Sumatera Palembang-Bakauheni. Bus yang bisa ditumpangi ke
berbagai jurusan di Jawa, termasuk yang melewati rute Semarang, tak
terlalu susah didapat. Apalagi Lebaran tahun ini jumlah pemudik
lebaran relatif tak meningkat dibanding hari-hari biasa. Bahkan
dibanding tahun sebelumnya malah bisa dibilang turun drastis.

"Tahun lalu, saat menjelang Lebaran seperti ini banyak sekali
penumpang yang akan ke Jawa. Sampai-sampai mereka harus

menunggu berhari-hari di sini agar bisa dapat tumpangan. Tetapi
tahun ini sepi. Abang kan bisa lihat sendiri. Sejak kemarin jumlah
penumpang yang naik dari sini tak beda dibandingkan hari-hari biasa,"
ujar Murjito (23), salah seorang petugas sub-agen perusahaan bus di
simpang Batumarta.

Dan memang. Calon penumpang yang berangkat dari sini dengan
mudah bisa memperoleh tiket bus yang akan mambawa mereka hingga
ke tujuan. Tanpa harus antre, Nuryati bersama suami dan anaknya tak
mengalami kesulitan mendapatkan tiket bus non-AC tujuan Semarang
seharga Rp 17.500 per orang. Kebetulan pagi itu calon penumpang lain
yang juga akan berangkat ke Jawa cuma seorang lelaki muda berambut
ikal dengan ransel parasut "Jayagiri" warna kelabu berstrip merah di
pundak.

***

I WAYAN Melaya, sesuai kata sapaan di depan namanya, memang
anak pertama dari delapan bersaudara hasil perkawinan pasangan I
Wayan Surem dan Ni Nyoman Mukre. Usai menyelesaikan pendidikan
SD dan SMP di Batumarta, lelaki tinggi gempal ini sempat merantau ke
Jakarta sembari meneruskan studinya di STM Penerbangan hingga
selesai. Tetapi garis nasib, paling tidak untuk sementara waktu,
ternyata menentukan bahwa ia harus kembali ke Batumarta menjadi
seorang petani.

"Di Jakarta sebetulnya saya ikut bapak angkat," ucapnya. Tetapi
ketika ditanya apa dan siapa bapak angkatnya yang telah bersedia
membiayai sekolah menengah atas-nya itu hingga rampung, ia menolak.

"Malu saya pada mereka," katanya berkilah.

"Lho, mengapa?"

"Saya sudah mengecewakan mereka. Seusai menamatkan sekolah,
saya kecelakaan sehingga harus kawin muda. Padahal waktu itu saya
diberi pilihan: mau meneruskan sekolah atau bekerja. Terus terang
saya menyesal sekali. Saya ini tidak tahu diri. Sudah miskin tapi
masih berbuat macam-macam. Tapi mau apa lagi. Garis tangan saya
barangkali memang begitu. Setelah kawin, saya bawa istri saya pulang
ke Batumarta. Ya, mbantu-mbantuin bapak, begitu."

Begitulah. Sejak awal 1989, wanita bernama Nuryati yang
dikenalnya di Ibukota itu pun resmi menjadi pendamping hidupnya.
Tanggal 1 Agustus tahun yang sama anak mereka yang pertama lahir
dan diberi nama Agus Setiawan. "Soalnya ia lahir bulan Agustus," timpal
Nuryati, yang ketika berkenalan dengan Wayan Melaya adalah sosok
wanita desa yang ditemuinya sedang bertarung mengadu nasib di tengah
kerasnya kehidupan Ibukota.

***

BATUMARTA adalah satu dari sekian banyak lokasi transmigrasi
yang tersebar di Sumatera Selatan. Penempatannya dimulai tahun
1974/1975, meliputi areal pencadangan seluas 65.000 hektar dengan
jenis usaha pokok perkebunan karet. Hingga tahun 1982 sudah 16 unit
pemukiman transmigrasi (UPT) yang dibangun. Dari jumlah itu, 12 di
antaranya sudah diserahkan pengelolaannya kepada pemda. Sedangkan 4
Sedangkan 4 UPT lainnya sedang dalam taraf persiapan akhir, yang dalam
waktu dekat juga akan segera diserahkan ke pemda.

"Insya Allah dalam tahun anggaran 1992/1993 ini penyerahan
pengelolaannya sudah bisa dilakukan," kata Drs Slamet Sutanto,
Kepala Kanwil Departemen Transmigrasi Sumsel.

Keadaan di sini --seperti halnya lokasi-lokasi transmigrasi
dengan orientasi utama sektor perkebunan-- pada tahap awal memang
sulit diramalkan masa depannya. "Setengah tahun pertama di sini saya
tidak yakin akan bisa terus bertahan. Soalnya semua serba
memprihatinkan. Tapi setelah pohon-pohon karet mulai tumbuh
berkembang, harapan untuk menyongsong hidup yang lebih baik mulai
tampak," tutur Sujah (58), Kepala Desa Lubukbanjar (Batumarta IV).

Transmigran asal Desa Simbar, Kecamatan Dieng, Kabupaten
Banjarnegara (Jateng) ini akhirnya bertekad tetap tinggal di proyek
transmigrasi Batumarta. Bagi dia, pernik-pernik kehidupan yang lebih
cerah sangat mungkin digapai dibandingkan jika kembali ke daerah
asal di kaki Gunung Dieng, tempat musibah gas beracun yang
dikeluarkan oleh kawah Sinila belasan tahun lampau.

***

PASANGAN Nuryati-Wayan Melaya bersama anak tunggal mereka
mengenakan busana terbaik menuju loket penjualan tiket bus untuk
mudik Lebaran. Mereka tergolong generasi kedua yang telah bertekad
membangun masa depan di Batumarta.

Kepulangan mereka pada Lebaran kali ini semata-mata untuk
memperkokoh tali silaturrahmi dengan tanah kelahiran sang isteri.
Bertemu kerabat dan handai-taulan adalah bagian dari upaya
pemenuhan kebutuhan batin yang sempat tercerabut. Lebih-lebih bagi
Nuryati--di mana sejak tiga tahun terakhir hidup dan bergaul dalam ling-
kungan keluarga Bali-- kenangan masa kecil sampai remajanya di
kampung "Jawa" adalah bagian dari masa lalu yang masih pantas ditelusuri
kembali.

Kerinduannya pada lenguh kerbau di sawah, padi menghijau di
kaki Ungaran, malam-malam yang dingin, mandi di pancuran, serta
setumpuk kenangan masa lalu seperti bermain bersama akan-anak desa
lainnya saat terang bulan, adalah sisi lain yang mendorong Nuryati
"ziarah" pada Lebaran kali ini. Namun di atas segalanya, "Saya ingin
sekali ketemu Bapak," ungkapnya.

Mereka tak pernah tahu apakah makna mudik Lebaran sudah bergeser atau tidak. Bagi Nuryati yang penting pulang. Titik. Jarak ribuan kilometer terasa menjadi lebih dekat. Lalu, perjalanan panjang mudik Lebaran yang melelahkan itu pun ditempuh.






Tidak ada komentar: