KOMPAS
Rabu, 9 Mei Mei 2007
Wisata Ekologi (2)
REKONSTRUKSI BUDAYA
DI TENGAH HUTAN TROPIS
Oleh Kenedi Nurhan
Hutan hujan tropis di Peru tiba-tiba jadi terkenal. Para
petualang dari berbagai belahan dunia berduyun-duyun datang ke sana.
Ada sesuatu yang mereka cari: kebenaran kosmis dan transformasi
spiritual.
Adalah James Redfield, pengarang trilogi kisah pencarian
spiritual yang bertumpu pada keaslian alam--The Celestine Prophecy (Manuskrip Celestine); The Tenth Insight (Wawasan Kesepuluh); dan The Secret of Shambhala: In Search of the Eleventh Insight (Rahasia Shambhala: Mencari Wawasan Kesebelas)--yang jadi pemicunya. Sejak itu, hutan hujan tropis Peru tidak saja jadi pusat perhatian, tetapi juga diyakini memendam "kekuatan" luar biasa, yang memberi kemungkinan bagi para pencari wawasan dan energi baru untuk memahami makna kehidupan di milenium baru ini.
Berkat kepiawaian Redfield bertutur dan memberi gambaran detail
tentang hutan hujan tropis di Peru, yang dipadukan dengan perjalanan
spiritual tokoh-tokoh cerita rekaannya, rasa ingin tahu banyak orang
pun muncul. Lalu, berduyun-duyunlah para petualang memasuki hutan-
hutan lebat di sana, terlibat dalam apa yang disebut Redfield sebagai
parabel petualangan sambil berwisata, sekaligus menikmati proses
kembali ke alam dalam pengertian yang sesungguhnya.
Tak berlebihan bila pemikir kebudayaan seperti Taufik Rahzen
mengimpikan peristiwa serupa terjadi pada hutan tropis basah di
Kalimantan. Dalam satu kesempatan, di sela-sela pertemuan Masyarakat
Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) di Tenggarong, Kutai Kertanegara,
beberapa tahun lampau, Taufik berucap, "Hutan Kalimantan dengan
segala produk budaya masyarakat yang ada di sana merupakan suatu
misteri yang tak kalah menarik untuk dijelajahi."
Prosesi ritual masyarakat Dayak untuk melepas arwah leluhur
mereka menuju surga lewat upacara tiwah, misalnya, hanyalah bagian
kecil dari peristiwa menarik dari pedalaman Kalimantan. Begitupun
keberadaan suku Punan-yang dari hasil "bacaan" Taufik Rahzen,
berdasarkan berbagai literatur, menjadi semacam "garis luar" dan
selalu mengintili masyarakat Dayak pada umumnya-masih menyisakan
banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Belum lagi terkait kekayaan alamnya berupa flora dan fauna yang
begitu beragam. Kayu ulin, rotan, dan pepohonan berlumut masih
tumbuh alami di banyak tempat. Sementara lebih dari 210 jenis
mamalia, termasuk 44 jenis yang tidak terdapat di mana pun di dunia,
hidup di kawasan ini.
Bahkan, salah satu laporan World Wildlife Fund (WWF) yang
dikeluarkan baru-baru ini, Borneo's Lost World, menyebutkan paling
tidak ada 361 spesies baru yang telah teridentifikasi pada 1994-2004.
Spesies itu meliputi 260 serangga, 50 tumbuhan, 30 ikan air tawar,
dan sejumlah binatang darat lain. Sementara di hutan-hutan asli yang
belum banyak dijamah manusia, yang luas kawasannya mencapai 22 juta
hektar dan sebagian besar ada di wilayah Kalimantan Tengah,
diperkirakan masih ada ribuan spesies yang belum teridentifikasi.
Jauh di hulu Sungai Rungan, Kahayan, Barito, Kapuas, dan
Katingan, serta dataran tinggi yang membentang dari Bukit Raya hingga
rangkaian Pegunungan Schwaner, eksotisme kehidupan pedalaman
menyeruak di antara kekayaan hutan rimba yang hijau. Misteri
akan "kesaktian" orang-orang Dayak bahkan masih bisa dilacak lewat
cerita tutur mereka, lewat seni rajah di tubuh mereka, atau lewat
beragam atraksi dalam bentuk pertunjukan seni-ritual mereka.
Kisah tentang tradisi "pengayauan", "tariu", atau "mangkok merah"
memang sudah ditutup. Akan tetapi, keberadaan betang (rumah
panjang) di Tumbang Anoi bisa jadi saksi pertemuan besar masyarakat
Dayak pada 1894. Dalam pertemuan akbar yang diprakarsai Pemerintah
Hindia-Belanda dan dihadiri hampir semua subsuku Dayak di Kalimantan
tersebut, antara lain, disepakati untuk tidak lagi melaksanakan
"pengayauan". Sejak itu kegiatan "pengayauan" menjadi adat terlarang.
Akan tetapi, cerita dan "dongengan" tentang "kesaktian" orang-orang
Dayak masa lampau itu masih terus bergema hingga hari ini.
"Belajar dari kasus hutan Peru, barangkali memang
diperlukan 'dongengan' dengan perspektif baru tentang berbagai
misteri yang tersimpan di jantung Borneo. Harus ada semacam
rekonstruksi budaya atas peradaban manusia yang tinggal di dalamnya,
tidak cukup hanya mengandalkan eksotisme alam semata untuk
menjadikan Kalimantan sebagai kawasan wisata ekologi," kata
Taufik Rahzen.
Kepala Naga
Bila Anda baru pertama kali mengunjungi daerah ini, begitu bunyi
promosi sederhana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalteng,
tengoklah keluar melalui jendela pesawat yang Anda tumpangi. Anda
akan menyaksikan pemandangan alam di bawah yang terdiri atas
kehijauan yang terpotong oleh sungai aliran lambat yang berkelok-
kelok ke hilir hingga ke hutan bakau yang mengingatkan Anda akan
kepala naga dengan badannya yang tak berujung.
"Ketika hutan rimba mulai kelihatan lebih renggang dan jelas,
maka tampaklah ibu kota provinsi, Palangkaraya--yang berarti tempat
terhormat dan suci--yang seakan-akan menjulang keluar dari hutan
tropis," begitu bunyi lain dari promosi tentang keelokan negeri di pusar
jantung Borneo ini.
Sebutan "kepala naga", "jantung Borneo", "paru-paru dunia", "pusar
Bumi", serta sejumlah penamaan lain untuk daerah ini adalah
parafrasa yang bisa dimaknai sebagai penanda eksotisme alam
Kalimantan Tengah.
Sayangnya, seperti diakui oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras
Narang, selama ini orang hanya tahu tentang daerah ini kebanyakan
karena ada kasus illegal logging. Bahwa Kalteng memiliki pantai yang
panjangnya hingga 750 kilometer, misalnya, tak banyak yang tahu.
Begitupun keragaman alam dan budaya Dayak-nya yang penuh
eksotisme, yang--ironisnya--kerap dimaknai secara negatif. Bahkan tak
jarang, pada mereka yang sama sekali belum mengenal kehidupan
masyarakat di daerah ini muncul stigma bahwa Dayak identik dengan
suku yang hidup dalam suasana penuh kekerasan.
Itulah bias penilaian dan kesalahkaprahan warisan kolonial. Tak
berlebihan bila dalam kaitan ulang tahun ke-50 provinsi ini,
bersamaan perayaan Festival Isen Mulang, undangan untuk
menyaksikan cara hidup orang Dayak di desa-desa asli mereka di
pedalaman disebarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalteng dan
Kalimantan Tourism Development. Sambil menikmati lalu lintas
sungai dengan boat atau perahu klotok, berbagai aktivitas keseharian
orang-orang Dayak disodorkan untuk "dinikmati" dan dirasakan.
Bagai meniru promosi besar- besaran wisata Malaysia, semboyan
"Datanglah untuk Melihat Borneo yang Sebenarnya" menjadi semacam
ucapan selamat datang. Tentang hal ini, Gaye Thavisin dari Kalimantan
Tourism Development sampai berucap, "Jika Anda sedang mencari
petualangan dan pengalaman unik, jauh dari jalan yang sering dilalui
menuju tempat yang mudah dicapai, maka jantung Borneo akan
menjadikan Anda seorang penjelajah!"
Hanya setengah jam perjalanan dari Kota Palangkaraya, di Sei
Gohong--sebuah desa Dayak yang berada di tepi Sungai Rungan--
eksotisme itu sudah mulai terasa. Sepintas memang hampir tak ada
perbedaan mencolok dalam kehidupan sehari-hari mereka dibanding-
kan desa-desa lain yang dihuni masyarakat campuran dari berbagai
etnis. Tapi coba rasakan denyut keseharian mereka. Mulai dari
aktivitas mereka mandi dan mencuci di sungai, cara menidurkan anak,
hingga kegiatan menangkap ikan serta berburu.
Juga bagaimana mereka mencari akar-akar pohon untuk obat-obatan
tradisional khas Dayak, seperti dilakukan Mak Gendut. Bagi Mak
Gendut, begitu dia menyebut dirinya, meramu obat-obat tradisional
khas Dayak dari beragam akar dan daun kayu dari hutan di pedalaman
Kalimantan bukan lagi kerja sambilan. Meramu bahan-bahan dasar dari
hutan-hutan lebat yang dipenuhi berbagai cerita misteri,
serta "meracik"- nya untuk dijadikan obat-obatan, kini ia tekuni
sebagai sebuah profesi.
"Akar-akar pohon tersebut tidak diambil dari sembarang hutan.
Untuk itu bisa berminggu- minggu saya masuk hutan, mencari akar atau
daun kayu yang diperlukan untuk obat," kata Mak Gendut, ibu delapan
anak, yang mengaku kemampuannya meramu dan meracik obat-obatan
tradisional Dayak itu ia dapatkan dari neneknya.
Menikmati cara hidup orang Dayak memang akan lebih terasa bila
masuk hingga ke hulu-hulu sungai. Hanya saja, untuk sampai hingga
ke "jantung Borneo yang sebenar-benarnya" itu butuh waktu berhari-
hari.
"Karena itu, kami tengah menyiapkan boat yang sekaligus
berfungsi sebagai hotel terapung. Eco-Boat Hotel, namanya. Mudah-
mudahan September nanti sudah bisa beroperasi," kata Lorna Dawson
dari Kalimantan Tourism Development. (cas)
Selasa, 08 Januari 2008
Borneo
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 1/08/2008 02:43:00 PM
Label: catatan dari pedalaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar