Selasa, 08 Januari 2008

Borneo

KOMPAS
Kamis, 10 Mei 2007

Wisata Ekologi (3-Habis)
BERTEMU CINDY DI PULAU PALLAS


Oleh Kenedi Nurhan


Hendro agak jengkel. Selly, Novi dan Inong seperti sengaja bersembuyi di balik kerimbunan hutan rawa di Pulau Pallas. Telah berulang kali ia berteriak, memanggil nama-nama mereka, sembari menawarkan jasa baiknya dengan membawa beragam jenis makanan. Namun, tampaknya tak satu pun dari ketiga ‘dara’ itu yang peduli.

Begitupun tawaran Umardi dan Uberto—dua rekan Hendro—yang juga berniat memancing kehadiran Selly, Novi, dan Inong. Ajakan untuk ‘kencan’ sejenak pada Sabtu di akhir pekan pada penghujung April lalu itu sepertinya tak bersambut. Perlahan, ketiga lelaki itu menghidupkan mesin perahu klotok mereka, bertolak dari sana, dan mencoba mencari sasaran baru: Cindy dan teman-temannya!

“Kadang-kadang mereka memang agak jual mahal. Mungkin sudah kenyang,” kata Hendro tentang ketiga ‘dara’ yang diicarnya itu.

Jangan salah paham. Selly, Novi, dan Inong adalah bagian dari sekitar 110 populasi orangutan (Pongoh pygmaeus) yang tengah memasuki tahap akhir proses rehabilitasi sebelum dilepas secara penuh ke habitat aslinya. Ketiganya, menurut May Sumarnae (29) dari Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng, Yayasan Penyelamatan Orangutan Kalimantan (Borneo Orangutan Survival, BOS, Foundation), memang masih tergolong remaja dan belum terlalu lama berada di Pulau Pallas. Umur mereka sekitar 3-4 tahun.

Adapun Hendro, Umardi, dan Uberto adalah teknisi BOS Nyarumenteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang bertugas memberi makan orangutan yang masih dalam tahap rehabilitasi tersebut. Sebelumnya, ratusan orangutan—hasil sitaan dari para pemeliharanya dan atau berasal dari kegiatan penyelamatan akibat hutan tempat tinggal mereka dibuka untuk perkebunan besar—ini dirawat dan dilatih tentang bagaimana cara bertahan hidup di alam bebas di pusat rehabilitasi BOS di Nyarumenteng.

Gagal memancing Selly, Novi, dan Inong keluar dari persembunyiannya, Hendro pun mengarahkan perahu klotoknya ke sisi lain pulau. Pada satu cekungan, di sebuah alur sungai kecil yang mengalir dari sela-sela kerimbunan pohon ehang, putat, dan rengas, perahu klotok yang dikemudikan Uberto itu menikung pelan masuk ke tengah pulau.

Setelah mesin dimatikan dan perahu bersandar di satu pokok pohon sialang yang tegak menjulang, Hendro kembali beraksi dengan teriak lantangnya. “Ohhoooiii… Cindy…. Ohhoooiiii… Didik…. Ohooooiiii… Sandy….. Ini ada jagung, pisang dan ketela…. Ohhoooiiii….”
Tak begitu lama, dari balik kerimbunan pohon yang lain, satu per satu binatang yang seluruh tubuhnya berbulu kemerahan itu muncul, menggelosor dan bergelayut dari dahan-dahan tinggi. Dengan sigap, Hendro dan Umardi melemparkan bonggol-bonggol jagung dan pisang ke arah mereka. Sambil menggendong bayinya melekat di dada, Cindy tak kalah sigap menyambutnya: hhaappp! Begitupun Didik dan Sandy.

Sambil bergelayut dengan satu tangan di salah satu dahan pohon bungur, Didik menikmati sarapan paginya seolah sekaligus ingin mempertontonkan kemampuannya berakrobat di udara. Padahal, di bawahnya, air setinggi dada menunggu bila ia terjatuh. Sesekali orangutan jantan itu naik ke dahan yang lebih tinggi, lalu tiba-tiba meluncur seperti menggelosorkan tubuhnya ke bawah, dan berhenti di sisi Cindy yang tampak asyik sendiri dengan jagung di salah satu kepalan tangannya.

“Seperti kita mengenali manusia pada umumnya, masing-masing orangutan punya ciri yang membedakan satu dengan yang lain. Mungkin karena sudah terbiasa, kami bisa tahu mana Cindy dan mana Sandy. Begiu pula dengan yang lainnya,” kata Hendro ketika ditanya bagaimana mereka bisa membedakan antara orangutan yang satu dengan yang lain, yang sepintas—bagi awam—semua tampak sama.

“Pendidikan terakhir”

Pulau Pallas (I dan II) adalah satu di antara empat pulau yang menjadi tempat orangutan hasil rehabilitasi di BOS Nyarumenteng belajar bersosialisasi untuk membiasakan mereka mengasah kemampuan bertahan hidup di alam bebas sebelum dilepasliarkan. Tiga pulau lain yang berada di kawasan Sungai Rungan itu adalah Pulau Kaja, Bangamat, dan Hampakpak Matey.

Biasanya, setelah 3-5 tahun berada di pulau-pulau ini baru mereka dilepaskan ke habitat aslinya. Akan tetapi, itu pun setelah ditemukan kawasan hutan bebas yang layak dan aman dari kemungkinan ‘penghancuran’. Selama berada di kawasan ini, orangutan-orangutan yang dalam proses “pendidikan akhir” sebelum dilepas ke habitat aslinya itu masih diberi makan.

“Hanya saja, sedikit demi sedikit jatah mereka dikurangi. Ini adalah cara untuk mulai membiasakan mereka mencari sendiri sumber makanannya di hutan. Tetapi karena sumber makanan di hutan tempat rehabilitasi akhir ini terbatas, tentu saja mereka masih perlu dipasok makanan,” kata May Sumarnae.

Lokasi keempat pulau tempat rehabilitasi akhir orangutan yang akan dilepasliarkan itu tak begitu jauh dari Kota Palangkaraya. Cuma sekitar 34 kilometer. Untuk sampai ke lokasi ini, pengunjung bisa bertolak dengan perahu klotok sewaan dari dermaga sungai di Tangkiling atau melalui dermaga di Sei Gohong, Kecamatan Bukit Batu. Hanya saja, kata May, untuk memasuki kawasan ini perlu berbekal surat izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah.

Aset berharga


Keberadaan pusat rehabilitasi orangutan di bawah pengelolaan Yayasan Penyelamatan Orangutan Kalimantan di Nyarumenteng, bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, kini disadari merupakan bagian dari aset berharga dalam upaya menggalakkan sektor wisata ekologi di daerah ini. Di samping, tentunya, juga keberadaan pusat rehabilitasi sejenis di Taman Nasional Tanjung Puting yang dikelola oleh lembaga yang berbeda.

Dari aspek keletakan, klinik rehabilitasi orangutan di Nyarumenteng dan lokasi ‘pendidikan akhir’ mereka pada beberapa pulau di Sungai Rungan relatif memang lebih gampang ‘dijual’ lantaran masih berada di wilayah Kota Palangkaraya. Apalagi di sekitarnya masih ada panorama hutan rawa, bibir-bibir sungai yang berpasir putih, atau kehidupan masyarakat Dayak dengan segala aktivitas keseharian mereka.

“Letaknya sangat dekat dari pusat Kota Palangkaraya. Dalam tiga jam berlayar di Sungai Rungan, pengunjung sudah bisa menikmati kehidupan orangutan di pulau-pulau tempat rehabilitasi mereka,” kata Gaye Thavisin dari Kalimantan Tourism Development.

Selain itu, lanjut Gaye, perjalanan bisa dilanjutkan sambil memasuki jalur-jalur sempit dan danau-danau tempat lembu berkubang sambil melihat aneka kehidupan masyarakat Dayak di sana. “Kalau lagi tidak musim penghujan, terkadang kita bisa menyaksikan mereka menangkap ikan atau mendulang emas,” tambahnya.

Di tengah kesumpekan hidup di perkotaan, mengamati kehidupan dan perilaku orangutan boleh jadi merupakan semacam oase untuk lepas sejenak dari kerutinan. Tentu akan menjadi lebih bermakna bila aktivitas itu disertai kesadaran untuk lebih mengenal dan memahami akan pentingnya keseimbangan ekologis pada suatu kawasan. Apalagi bila dipandu oleh mereka yang benar-benar mengenali kehidupan orangutan itu sendiri, seperti May dan rekan-rekannya dari BOS-Nyarumenteng atau para relawan dari Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland (Cimtrop) Universitas Negeri Palangkaraya.

“Orangutan itu sangat unik. Bayangkan, 97 persen DNA orangutan sama dengan manusia,” kata Lone Neilsen, Manajer BOS-Nyarumenteng. Bahkan, secara berseloroh, Lone menambahkan dengan sebuah pertanyaan retoris. “Sebetulnya orangutan yang mirip kita atau sesungguhnya kita yang mirip orangutan, ya... Hahahahaa….”
(cas/ken)

Tidak ada komentar: