Jumat, 11 Januari 2008

Borneo

KOMPAS
Selasa, 8 Mei 2007

Wisata Ekologi (1)
PUSAR BUMI DI JANTUNG BORNEO

Oleh Kenedi Nurhan


Hujan turun semalaman
Paginya jalak berkicau
dan daun jambu bersemi; mereka
tidak mengenal gurindam dan peribahasa,
tapi menghayati adat purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa bahagia.

("Hujan, Jalak, dan Daun Jambu", Sapardi Djoko Damono)


Pagi belum beranjak siang ketika dari balik hutan kecil itu tiba-
tiba terdengar raungan gergaji mesin merobek sepi. Suara yang
dihasilkan dari gesekan gergaji berbalut rantai besi bergerigi itu
saat beradu pokok kayu memekakkan telinga. Tak lama berselang,
suara gemuruh pohon tumbang pun berdentam: bruukk.
buuuummmm....

Tak ada lagi burung mencicit, nyanyian jangkrik, atau jeritan
orangutan yang sejak subuh bersahutan membentuk semacam orkestra
alam. Padahal, hari masih teramat pagi. Sinar matahari bahkan belum
tampak, masih tertutup kerimbunan dedaunan pohon yang basah di
kawasan Eco Village; sebuah penginapan sederhana di tengah hutan tak
jauh dari pusat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Embun yang mengumpul membentuk butiran-butiran air Minggu pagi
itu masih terlihat "menggelayut" di daun-daun bungur dan trembesi.
Sisa hujan pada pengujung April 2007 di kawasan hutan tropis basah
itu seketika mengingatkan pada larik-larik puisi Sapardi Djoko
Damono, yang dimusikalisasikan lewat "Hujan dalam Komposisi". Alam
ternyata memberi manusia banyak kemungkinan untuk menikmati
hidupnya, tetapi di sisi lain tak jarang sekaligus terjadi pengingkaran,
atau bahkan penghancuran.

"Saya sudah minta security untuk mengeceknya. Pohon-pohon yang
ditebang itu masih dalam wilayah kawasan ini," kata Mustafa, Manajer
Eco Village, yang pada pagi itu sengaja menyambangi rombongan
wartawan dari Jakarta yang menginap di tengah kawasan "hutan wisata"
seluas 132 hektar tersebut.

Tak ingin terulang

Kejadian pada Minggu pagi di kawasan Eco Village--sekitar 36
kilometer dari pusat Kota Palangkaraya ke arah Kasongan--Sampit-
tersebut hanyalah contoh kecil betapa perusakan hutan Kalimatan bukan
lagi peristiwa istimewa. Berbagai kasus pembalakan liar (illegal
logging
) bahkan sebelumnya sudah menjadi berita sehari-hari.

Belum lagi pembabatan hutan yang cenderung tak terkendali oleh
para penebang berizin alias para konglomerat pemegang izin hak
pengusahaan hutan (HPH). Malah tak sedikit hutan di kawasan ini
dimanfaatkan oleh berbagai aktivitas yang mengatasnamakan
pembangunan. Ironisnya, di balik kosakata "pemanfaatan"
dan "pembangunan" itu menjelmalah monster yang siap mengancam
keberadaan hutan tropis basah dengan segudang kekayaan alam yang
tak ternilai di dalamnya.

Kasus yang disebut terakhir tampaknya merupakan fenomena umum
perusakan hutan di Tanah Air, terutama terkait rencana pembangunan
perkebunan skala besar. Di Kalimantan Tengah, fenomena itu muncul
sejak ratusan pengusaha mendapat izin pembukaan perkebunan kelapa
sawit. Sedikitnya tercatat 313 izin usaha yang sudah dikeluarkan
untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit seluas 1,4 juta hektar di
provinsi ini. Tentu saja, pemberian izin usaha itu diikuti pemberian
izin pemanfaatan kayu (IPK) pada lokasi-lokasi yang akan dijadikan
areal perkebunan.

Akan tetapi, hingga saat ini baru 104 pemegang izin usaha yang
telah merealisasikan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Itu pun
dengan skala yang masih jauh dari harapan, tercatat baru 180.000
hektar, sangat tak sebanding dengan total luas areal perkebunan yang
direncanakan akan dibuka.

Kalau saja lebih dari satu juta hektar area hutan yang
dicadangkan untuk perkebunan kelapa sawit yang belum juga
direalisasikan itu tak diusik, boleh jadi tak membuat Gubernur
Kalteng Agustin Teras Narang agak sewot. Masalahnya, dengan
bermodalkan IPK di tangan, para pemegang izin usaha perkebunan
cuma menguras kayu-kayunya. Usaha perkebunan itu sendiri entah
kapan direalisasikan. Sampai-sampai seorang pejabat setempat
berseloroh menirukan bunyi sebuah iklan televisi: "May be yes,
may be no!"

"Persis, itulah yang terjadi," kata Teras Narang. Oleh karena
itu, mantan Ketua Komisi III DPR ini mengaku tak ingin kasus semacam
ini terulang pada masa pemerintahannya. Begitu masa izin pemanfaatan
kayu yang sudah telanjur dipegang oleh para pengusaha-yang umumnya
dari luar Kalteng-itu berakhir, tak akan ada lagi perpanjangan
izin. "Pada pertengahan 2008 semua harus tuntas. Sekarang saya tidak
bisa mencabutnya karena bisa diperkarakan ke pengadilan," katanya.

Keprihatinan Teras Narang akan kelestarian hutan di provinsi
seluas 1,5 kali Pulau Jawa ini bukan tanpa sebab. Selama ini rakyat
Kalteng, yang sebagian besar dihuni masyarakat suku Dayak, lebih
banyak sebagai penonton. Kalaupun ikut dilibatkan dalam eksploitasi
hutan dan isinya, tak lebih sekadar pelengkap penderita. Padahal,
menurut dia, kekayaan alam Kalteng seharusnya benar-benar bisa
dinikmati oleh rakyat dalam arti yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, ke depan, ia tak akan mengeluarkan lagi izin
pemanfaatan hutan untuk perkebunan-perkebunan besar. Ia mengaku
akan lebih memberiperhatian kepada upaya pengembangan perkebunan
karet yang lebih berorietasi kepada rakyat. Kelak, karet akan menjadi
semacam "ATM"-nya rakyat Kalteng; begitu butuh uang mereka sadap
karet miliknya, dijual, dan langsung dapat duit!

Adapun sumber pendapatan dari eksploitasi hutan, "Itu kami
anggap sudah masa lalu. Kami tak ingin lagi orang mengenal Kalteng
hanya karena selama ini jadi sarang illegal logging. Ke depan, hutan
di Kalteng akan lebih banyak difokuskan sebagai eco-turism," kata
Teras Narang.

Babak Baru

Bagi masyarakat Kalteng, hutan sebagai kawasan wisata ekologi dan
dikunjungi oleh orang luar sesungguhnya bukan hal baru. Sejak masa
kolonial, sudah banyak naturalis dari berbagai negara di dunia yang
mendatangi hutan-hutan di pedalaman Kalimantan, termasuk Kalimantan
Tengah. Hanya saja, sebagai sebuah "gerakan" yang terprogram,
gagasan Teras untuk memfokuskan pemanfaatan kawasan hutan tropis
di daerah ini--berikut kehidupan masyarakat suku Dayak yang tinggal di
sekitarnya--boleh jadi merupakan babakan baru bagi pemerintah dan
masyarakat Kalteng.

Memanfaatkan momentum peringatan 50 tahun Provinsi Kalteng pada
23 Mei 2007, sebuah hajatan besar digelar lewat apa yang mereka
namakan Festival Isen Mulang, yang berarti "Semangat Pantang
Mundur". Bersama Kalimantan Tourism Development, sebagai
tahap "perkenalan", selama festival berlangsung (19-24 Mei) sudah
disiapkan beberapa paket kunjungan bagi mereka yang berminat untuk
menikmati wisata ekologi di Kalteng.

Selain perayaan Festival Isen Mulang itu sendiri, yang
mempergelarkan aneka permainan dan seni tradisional masyarakat di
Kalteng, pengunjung juga bisa mengikuti kehidupan sehari-hari bersama
suku Dayak asli di daerah ini; termasuk menginap di rumah betang
(rumah panjangkhas suku Dayak), ikut memancing, berburu, menari,
dan menganyam berbagai kerajinan khas suku Dayak. Paket lain berupa
kegiatan petualangan dengan menjelajah sungai, hutan tropis basah,
dan daerah perbukitan yang masih asri.

Kehidupan orangutan (Pongo pygmaeus) juga bisa dilihat dari
dekat, baik yang ada di habitat aslinya maupun yang ada di kawasan
rehabilitasi Nyaru Menteng, Sungai Rungan, dan Tanjung
Puting. "Pesona alam di pedalaman Kalimantan Tengah sungguh luar
biasa. Jantung Borneo ini akan menjadikan Anda seorang penjelajah
sejati. Tidak percaya? Datanglah dan buktikan sendiri," kata Lorna
Dawson dari Kalimantan Tourism Development.

Sekitar 15 juta hektar hutan tropis yang masih tersisa, dengan
beragam flora dan fauna berikut kehidupan masyarakat suku Dayak di
sekelilingnya, memang menyimpan banyak cerita. Berkat keberadaan
hutan tropis basah yang masih perawan itu, Kalteng dijuluki
sebagai "paru-paru dunia" (the lung of the world). Bahkan ada yang
percaya bahwa daerah ini bukan hanya terletak di tengah-tengah
Nusantara, Kalteng dengan Palangkaraya sebagai ibu kota provinsinya
juga berada "persis" di pusar Bumi. Ini bukan soal percaya atau
tidak, tetapi menyangkut sebuah keyakinan... (cas)

Tidak ada komentar: