Jumat, 11 Januari 2008

arkeologi

KOMPAS
Jumat, 8 Desember 2000

Situs Prasejarah (3)
MEMERAS DARAH DARI BATU

Oleh Kenedi Nurhan

DRS Dubel Driwantoro MHum, arkeolog muda dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang mulai mengkhususkan diri
untuk kajian bidang prasejarah, sore itu sibuk dengan "barang mainan"-
nya berupa batu-batu kecil dalam berbagai ukuran. Bentuk "mainan
batu"-nya pun macam-macam. Batu-batu itu diletakkan berjajar,
memenuhi salah satu sudut beranda depan rumah Pak Toesimin di
Desa Punung, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Ada yang berbentuk pipih, bulat, dan lonjong, menyerupai mata
kapak sebesar genggaman tangan orang dewasa. Ada yang panjang-
lancip mirip mata anak panah dalam wujud yang sangat sederhana.
Pada bagian tertentu tampak hasil tajaman kasar membentuk serpihan
lekuk, sehingga dapat difungsikan menjadi semacam mata pisau yang
sewaktu-waktu siap digunakan untuk merobek benda-benda lunak
seperti daging hewan, atau untuk memotong serat dan tulang.

Batu-batu hasil "ciptaan" Dubel tadi tak lain adalah tiruan dari
model-model peralatan batu yang dulu digunakan oleh manusia purba
yang digolongkan sebagai Homo erectus. Hanya saja, peniruan Dubel
tidak terbatas pada hasilnya berupa batu-batu yang dibuat mirip,
tetapi juga dalam proses pembuatannya-tentu saja dengan asumsi hal
yang sama dilakukan Homo erectus-dengan cara saling membenturkan
antara batu yang satu dengan yang lain.

"Ini hanya semacam uji coba, terutama untuk melihat perbedaan
antara batu yang memang sengaja diserpih dengan batu-batu yang aus
karena proses pengikisan oleh alam," kata Dubel yang sore itu
mengenakan baju kaus, celana pendek, masih dalam keadaan tubuh
kotor berdebu sehabis melakukan penggalian di situs prasejarah
Song Terus bersama tim yang dipimpin Dr Harry Truman Simanjuntak.

Mendengar itu, Truman lalu menimpali ucapan Dubel. Katanya dalam
nada setengah bercanda, "Nanti Bung Dubel memang kita minta
kesediaannya untuk memperagakan cara membuat peralatan batu

manusia purba ini di depan para mahasiswa yang mengambil mata
kuliah kajian prasejarah.

***

BAGI awam, keberadaan batu-batu sisa peralatan manusia purba yang
banyak ditemukan di kawasan Pegunungan Seribu memang dapat
menimbulkan kesangsian. Apakah betul batu-batu dalam beragam bentuk
itu adalah peralatan yang dulu digunakan manusia purba? Apakah justru
tidak mungkin batu-batu yang diberi label macam-macam oleh para ahli
prasejarah-seperti kapak berimbas (chopper), kapak genggam (hand-
axe), kapak penetak (chopping tool), pahat genggam (hand-adze), serut
(scraper), dan lancipan (point)-itu sesungguhnya terbentuk oleh
proses alam selama ratusan ribu tahun, atau bahkan jutaan tahun
keberadaannya?
Pertanyaan semacam itu bukan tidak disadari oleh para ahli
prasejarah. Apa yang dilakukan Dubel di atas, boleh jadi merupakan
salah satu cara yang ditempuh untuk memperlihatkan kepada "dunia
luar" (baca: mereka yang bukan berlatar belakang pengetahuan tentang
arkeologi); bahwa, ada perbedaan yang jelas antara batu hasil
bentukan (shaped) manusia maupun yang diserpih ulang atau diretus
(retouched) tersebut dengan batu hasil bentukan alam.
"Kalaupun ada batu bentukan alam yang terserpih karena benturan
atau kejatuhan batu-batu lain, sehingga keberadaannya mirip dengan
peralatan batu yang dibuat dan digunakan manusia purba, juga bisa
kita bedakan. Caranya gampang, yakni dengan melihat tingkat keausan
pada masing-masing tajaman atau lancipannya. Di sana akan terlihat
jelas perbedaannya. Tampilan batu yang pernah digunakan akan berbeda
dengan yang belum atau sama sekali tidak pernah dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan," kata Dubel memberi penjelasan.
Dalam kajian arkeologi prasejarah, peralatan batu memiliki banyak
fungsi. Oleh karena itu, keberadaannya sangat penting, terutama untuk
membuat semacam interpretasi dalam upaya memberi gambaran umum
tentang corak dan pola kehidupan masa lampau. Misalnya untuk
mendapatkan petunjuk tentang sejauh mana tingkat peradaban atau latar
budaya manusia kala itu.
Selain itu, alat-alat batu juga dapat dipakai sebagai penanda
tingkat kepurbaan manusia pendukung budaya batu tersebut. Di samping
tentu saja (meminjam pendapat G Issac, 1977, sebagaimana dikutip
Peter Bellwood) juga sebagai petunjuk "kemajuan" budaya mereka,
sebagai ciri penanda dalam pengelompokan budaya pada kurun waktu atau
tempat tertentu, serta sebagai petunjuk organisasi ekonomi.
Betapa luas fungsi peralatan batu dalam kajian prasejarah,
sehingga Issac sampai mengibaratkannya dengan darah manusia purba itu
sendiri. Lewat batu, "darah" manusia purba diperas untuk dikaji
segala hal ihwal kehidupan mereka, bagai para ahli masa kini yang
mampu mengurai apa dan siapa seseorang lewat DNA-nya. "Akan tetapi,"
begitu Issac mengingatkan, "kita perlu menyadari batas-batas
banyaknya darah yang secara realistis dapat diperas dari batu-batu
ini."
***

SEBELUM para peneliti berhasil menemukan artefak batu yang diduga
digunakan manusia purba agar mereka bisa bertahan hidup, berbagai
teori (mungkin lebih tepat dipakai istilah dugaan) sempat muncul
untuk menjelaskan apa dan siapa manusia purba yang pernah ada di
Nusantara.
Dan memang, sejak booming penemuan manusia purba di Nusantara,
pertanyaan tentang peralatan apa yang mereka gunakan sering muncul ke
permukaan. Persoalan itu muncul lebih karena selama ini setiap
penemuan sisa manusia purba di suatu tempat tidak diikuti penemuan
peralatannya. Begitupun sebaliknya, penemuan sisa peralatan tidak
diikuti oleh penemuan sisa manusianya.
"Tak aneh bila kemudian wacana tentang manusia purba, khususnya
menyangkut peralatannya, menjadi debat berkepanjangan dan memunculkan
berbagai hipotesis," kata Truman Simanjuntak.
Ada pendapat yang menyebutkan, mereka hidup berkelompok dengan
kegiatan berburu hewan dengan menggunakan peralatan teknik jebakan.
Ada juga yang menganggap bahwa manusia purba di Indonesia hidup
terisolasi dalam suatu lingkungan khusus, sehingga tidak membutuhkan
alat-alat batu. Pendapat lain mengatakan, manusia purba di sini pada
hakikatnya menggunakan peralatan dari bambu dan tulang. Bahkan
seorang peneliti yang mendasarkan bukti-bukti pada gigi-geligi sampai
pada kesimpulan: manusia purba di Indonesia vegetarian, sehingga
tidak membutuhkan alat-alat batu!
Debat panjang ini sudah muncul sejak dini, bahkan sejak Eugene
Dubois (1891-1892) menemukan fosil sisa manusia purba di Trinil yang
kemudian ia namakan Pithecanthropus erectus, atau dalam takson
sekarang cenderung lebih dipakai istilah Homo erectus.
Polemik kemudian berlanjut ketika Koenigswald (1934) menemukan
alat-alat serpih dari bahan kalsedon, jaspis, dan tufa kersikan di
atas bukit Ngandong, di barat laut kubah Sangiran, Sragen, Jawa
Tengah. Perdebatan seputar masalah ini terus berlanjut dari waktu ke
waktu.
Dalam pandangan Truman, penyebabnya lagi-lagi karena konteks
stratigrafi artefak temuan kurang meyakinkan dan temuan itu sendiri
tidak berasosiasi dengan sisa manusia purba yang dikait-kaitkan
sebagai pengguna peralatan batu tersebut.
Sebetulnya, pada tahun 1970-an mulai terlihat titik terang ihwal
pemanfaatan batu sebagai peralatan utama manusia purba di Indonesia,
meski tetap menimbulkan perdebatan hangat di kalangan ahli
prasejarah. Buktinya, tahun 1985 Bellwood masih meragukan penggunaan
alat-alat batu oleh manusia purba di Indonesia. Alasan Bellwood, "Di
kawasan ini tidak pernah ditemukan lapisan yang pernah
menjadi 'permukaan tanah asli tempat mereka hidup' sebagaimana yang
terdapat di Afrika dan Eurasia bagian barat. Ada kemungkinan bahwa
Homo erectus Jawa tidak seperti manusia-manusia Afrika dan Cina yang
sezaman, (mereka) tidak membuat alat-alat dari batu."
Akan tetapi, sejak penelitian intensif dilakukan mulai awal tahun
1990-an keraguan itu mulai terjawab. Kepastian bahwa manusia purba di
Indonesia juga menggunakan alat-alat batu, seperti halnya "saudara"
mereka di belahan dunia lain yang hidup sezaman, semakin meyakinkan
menyusul adanya temuan-temuan terbaru.
Ekskavasi yang dilakukan oleh tim peneliti Indonesia-Perancis di
berbagai tempat-mulai dari Desa Ngembung, Ngeledok, Dayu, dan
Kedungcumpleng (Sangiran) hingga ke Song Keplek, Song Terus, Gua
Tabuhan (Punung, Pacitan), dan Gua Braholo (Semugih,
Gunungkidul)-sedikit demi sedikit membawa hasil.
Dalam ekskavasi di Dayu, misalnya, ditemukan alat-alat serpih
dari lapisan yang disebut Grenzbank. Setelah diteliti melalui metode
paleomagnetis, diperoleh pertanggalan absolut yang menunjukkan
kisaran awal periode usia 0,73 juta tahun dan kisaran akhir periode
0,9-0,73 juta tahun, dan dengan periode tengah 800.000 tahun yang
lalu.
Berdasarkan pertanggalan ini, kata Truman, maka dapat diketahui
bahwa alat-alat serpih tersebut merupakan budaya Homo erectus. Bukti
ini semakin diperkuat oleh temuan hasil ekskavasi di situs-situs
tertutup, yang sekaligus menemukan rangka/ fosil manusia berikut
peralatan batu yang ada di dekatnya, seperti di Song Keplek, Song
Terus, dan Gua Braholo.
"Penemuan ini sekaligus semakin mengaburkan berbagai hipotesis
yang selama ini cenderung menolak keberadaan peralatan batu pada
manusia purba di Indonesia. Homo erectus yang hidup di Jawa, sama
seperti Homo erectus lain di dunia; mereka membuat dan menggunakan
batu. Agaknya, dalam kaitan dengan peralatan batu, tampak bahwa unsur
universalitas budaya telah timbul sejak manusia tertua di dunia,"
ujar Truman, ahli prasejarah lulusan Institut de Paleontologie
Humaine, Perancis.
Kalau begitu, benarlah ungkapan bahwa manusia pada dasarnya
adalah hewan pengembara. Bahwa mereka yang tergolong sebagai Homo
erectus tersebut diyakini bukan leluhur dari Homo sapiens, apalagi
terkait dengan ras manusia baru yang kemudian menjadi nenek moyang
manusia Indonesia saat ini, itu urusan lain.
Seperti halnya belum ditemukannya data artefaktual tentang
peralatan yang digunakan manusia purba dari periode yang lebih tua
lagi, yang disebut-sebut Homo erectus arkais, tentu saja menjadi
tugas para ahli prasejarah untuk mengungkap missing link itu.





1 komentar:

infogue mengatakan...

> Artikel di blog Anda sangat menarik dan berguna sekali. Anda bisa lebih mempopulerkannya lagi di infoGue.com dan promosikan Artikel Anda menjadi topik yang terbaik bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://fossil.infogue.com/memeras_darah_dari_batu