Selasa, 08 Januari 2008

BORNEO

KOMPAS
Kamis, 10 Mei 2007

Catatan dari Pedalaman

MAY, "IBU" ORANGUTAN
DARI NYARUMENTENG



Oleh Kenedi Nurhan





"Tolong hati-hati, perahunya jangan terlalu dekat ke pohon. Mereka memang kelihatan baik. Akan tetapi, kalau lagi marah, mereka tiba-tiba saja bisa melompat dari atas pohon ke perahu."

Suara lembut May Sumarnae (29) kontan menyurutkan "niat petualangan" Andri dan Rustam untuk mengambil gambar dari jarak yang lebih dekat lagi. Perahu kelotok yang ditumpangi oleh masing-masing juru kamera stasiun televisi swasta dari Jakarta itu pun didorong agak menjauh.

Di atas pohon--bersamaan peringatan yang disampaikan May Sumarnae--seekor orangutan jantan tiba-tiba menunjukkan sikap tak bersahabat. Sorot matanya tajam memandang ke bawah seolah mengisyaratkan agar dua lelaki itu menjauhi betina-betinanya yang tengah menikmati "sarapan pagi" dari para teknisi Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng, Palangkaraya.

May memang bukan tokoh penting di antara sekitar 300 karyawan di pusat rehabilitasi orangutan yang dikelola Yayasan Penyelamatan Orangutan Kalimantan (The Borneo Orangutan Survival Foundation/BOS) Nyarumenteng. Sebelum bertugas di bagian komunikasi BOS-Nyarumenteng, May menjadi pengasuh bayi orangutan yang
membutuhkan perawatan khusus lantaran berbagai hal.

Bayi atau anak-anak orangutan yang ada di arboretum Nyarumenteng di Kecamatan Bukit Batu, Kalimantan Tengah, sangat membutuhkan perhatian. Umumnya, bayi dan anak-anak orangutan yang mendapat perawatan khusus ini lantaran kehilangan induk akibat ulah manusia. Entah itu orangutan hasil sitaan dari para pemelihara atau berasal dari kegiatan penyelamatan di hutan-hutan yang telah terkepung aktivitas pembukaan perkebunan besar.

Sejak tahun 2002 gadis Dayak Kapuas itu tinggal dan bermukim di Desa Sei Gohong. Dia "terdampar" sebagai pengasuh bayi orangutan dan sejak lima tahun terakhir benar-benar menceburkan diri di tengah-tengah kegiatan rehabilitasi orangutan di lingkungan BOS-
Nyarumenteng.


"Ini pekerjaan yang sangat menyenangkan," kata May yang lulus dari Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya, tahun 2001.



Berbagi Cerita



Terlahir dan bangga sebagai orang Dayak Kapuas, sejak kecil May terbiasa dengan hutan berikut alam dan kehidupan lingkungannya. Meski secara administratif Desa Sei Gohong adalah bagian dari wilayah Kota Palangkaraya, tetapi sesungguhnya relatif jauh dari pusat keramaian. Di sekitar desa tempat tinggal May bersama kedua orangtuanya, Herson (53) dan Beda (48), masih dipenuhi hutan rawa lebat.



"Jadi, sebetulnya saya tinggal di dekat hutan," tutur perempuan kelahiran 11 April 1978 dan sulung dari empat bersaudara ini.



Semasa kecil, suara-suara binatang hutan akrab di telinganya, tak terkecuali bunyi jeritan orangutan. Apalagi, sejak pusat rehabilitasi orangutan di Nyarumenteng hanya beberapa kilometer dari desanya. Karena itu, adanya kesempatan bergabung dengan BOS-Nyarumenteng membuat May senang.



Tugas sebagai pengasuh bayi dan anak orangutan menuntut ketelatenan dan kesabaran. Selama setahun bertugas, banyak suka duka yang dialami May. Pengalaman "luar biasa" yang ia rasakan adalah saat BOS-Nyarumenteng menerima bayi orangutan dari hasil penyitaan, yang belakangan mereka namakan Micky.



"Kondisi Micky menyedihkan. Ia dalam keadaan sakit berat," kata May mengenang peristiwa lima tahun silam itu.



Demi kesembuhan Micky, May sampai menginap di lokasi pusat rehabilitasi orangutan hingga 11 hari. Selama itu pula ia tak pulang ke rumah di Sei Gohong, mengingat Micky tak berhenti menceret. Bukan cuma itu, belakangan diketahui penyakit Micky sudah menyerang ke pusat saraf. Meski kondisi fisik Micky bisa dipulihkan, kemampuan motoriknya tak berkembang.



Melihat kenyataan yang menimpa "anak asuh"-nya itu, May mengaku sedih. Meski Micky sudah berusia dua tahun, keterampilannya kalah jauh dibandingkan dengan anak-anak orangutan seusianya. Itu berarti amat kecil kemungkinan bagi Micky untuk menikmati kehidupan normal di alam bebas, tempat asal habitat aslinya.



Kecintaan May pada orangutan, kedekatannya pada sejumlah "anak asuh"-nya di pusat rehabilitasi BOS-Nyarumenteng terlihat nyata ketika ia bermain-main dengan Suriyani (2), Julius (2,5), dan Kahim (3). Suriyani yang kolokan ingin selalu digendong May.



"Suriyani mulai kami rawat sejak usia enam bulan. Dia berasal dari hasil sitaan BKSDA IV di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan. Pertama kami jemput, Suriyani sedikit takut. Kondisinya tidak begitu bagus karena selalu dikurung di kandang," kata May.



Kini, memasuki usia dua tahun, Suriyani mulai pandai memanjat pohon. May senang kalau orangutan yang diasuhnya mulai menunjukkan kemajuan sebagaimana seharusnya seekor orangutan di alam bebas. Memanjat pohon, mencari makan sendiri, dan membuat sarang dari ranting serta dedaunan mutlak mereka perlukan agar bisa bertahan hidup di habitat aslinya.



Karena itu, kata May, setelah memiliki keterampilan dasar tersebut, orangutan pun siap memasuki pendidikan tahap akhir. Di Pulau Pallas, Kaja, Bangamat dan Hampakpak Matey, mereka menerima pelajaran lanjutan, yakni belajar bersosialisasi bagaimana hidup di alam bebas.



"Di sini mereka berangsur-angsur dibiarkan sendiri tanpa pendamping. Tahapan ini sangat penting," kata May. Sebagaimana digambarkan dalam narasi film dokumenter The Story of Rimba yang turut "dibintangi" May, dikatakan, "hutan tak punya maaf untuk penghuni pohon tinggi yang tidak terampil".


Ketika orangutan yang menjadi "anak asuh"-nya benar-benar dilepasliarkan, May sedih dan bangga. "Sedih karena harus berpisah, tetapi juga bangga. Kalau orangutan bisa hidup liar berarti masih ada hutan. Otomatis hutan pun akan terjaga," ungkap May. (cas)







KOMPAS

Kamis, 10 Mei 2007



MAY DAN "THE STORY OF RIMBA"



Dalam film dokumenter garapan sutradara Alain Compost, The Story of Rimba, May Sumarnae tampil memerankan tokoh Dyah yang mengasuh dan merawat si Rimba. Cerita tentang si Rimba ini adalah kisah sedih kehidupan bayi orangutan yang direnggut dari ibunya
secara paksa, tetapi berakhir bahagia.



Setelah melalui perjalanan panjang--sejak ibunya dibunuh sekelompok pemburu, lalu diperjualbelikan di pedalaman Kalimantan Tengah dan sempat mampir menjadi peliharaan orang kaya di kawasan Pondoh Indah, Jakarta Selatan (1997-2002)--Rimba akhirnya bertemu
May di Pusat Rehabilitasi Orangutan di BOS-Nyarumenteng.



May begitu telaten mengurus Rimba. Diajarinya Rimba cara memanjat pohon, mencari makan dan sumber air sendiri, membuat sarang di atas pohon, hingga bagaimana menghadapi bahaya yang mengancam. Sebuah film dokumenter yang sangat menyentuh. Ini menempatkan May Sumarnae, juga pekerja-pekerja lain di BOS-Nyarumenteng, yang sederhana sebagai sosok yang pantas mendapat apresiasi atas dedikasinya. (cas/ken)

Tidak ada komentar: