Kompas
Selasa, 18 Desember 2007
Manusia Indonesia
di Tengah Globalisasi
dan Gombalilasi
Oleh Kenedi Nurhan
Di saat dunia memasuki fase baru, di mana masing-masing orang harus memikul tanggung jawab atas hidupnya sendiri, masih relevankah wacana tentang kebersamaan dijadikan titik berangkat? Dan ketika tatanan sosial lebih dilandaskan pada takaran kompetensi, pada intelegensia yang mengarah ke semangat individualistis, masihkah semangat komunal akan tetap mendapat tempat berpijak di tengah dunia yang sedang berubah?
Tentu saja ini bukanlah pertanyaan yang gampang dijawab. Di tengah arus globalisasi dunia yang mengagungkan semangat kapitalisme dan neoliberalisme, di mana ukuran-ukuran keberhasilan lebih banyak ditakar dari aspek ekonomi, manusia sebagai makhluk sosial harus diakui kian termarjinalisasi. Pada tataran praksis terjadilah apa yang disebut Pierre Bourdieu, pemikir ternama dari Perancis itu, sebagai pemaksaan moral darwinisme yang menghamba pada kultus “pemenang”.
Moral darwinisme itu, menurut pandangan Bourdieu, diterapkan dengan cara menciptakan sistem perjuangan semua melawan semua dan sinisme dalam bentuk norma-norma bagi semua praktik sosial. Tatanan moral baru yang didasarkan pada pembalikkan nilai-nilai ini terungkap dalam pertunjukan para pemimpin negara yang merendahkan martabat status mereka dengan selalu menunduk di depan para bos multinasional.
“Semua pertunjukan itu dipertontonkan dan disebarluaskan oleh media massa,” tulis Bourdieu.
Bahkan satu skenario neoliberalisme yang dilansir The Lugano Report-nya Susan George menyebutkan, dalam perspektif neoliberalisme sebetulnya banyak orang yang secara fisik, bilogis, dan intelektual tidak mampu menyesuaikan diri memasuki fase baru dunia. Dalam tatanan dunia baru versi penganut paham neoliberalisme, mereka yang tak sanggup menyesuaikan diri ini adalah orang-orang yang sebetulnya tidak dibutuhkan.
Bagaimanapun, ketika konflik kelas “antara si cepat dan si lambat” terjadi, maka mereka yang secara fisik, biologis dan intelektual tidak mampu menyesuaikan diri tersebut akan kalah dan tersingkir. Itulah hukum di dunia kapitalisme.
Meminjam ungkapan B Herry Priyono, ahli ekonomi-politik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, “Bila Anda tidak punya, Anda tidak berhak atas air atau obat! Bila Anda tidak bisa membeli, Anda tidak berhak mendapatkan kebutuhan yang bahkan paling mendasar untuk hidup!”
Lantas, di mana dan bagaimana posisi Indonesia?
Bukan segala-galanya
Bila menengok peringkat terbaru (2006) indek pembangunan manusia (human development index/HDI) versi UNDP, boleh jadi sebagian besar di antara penduduk negeri ini termasuk “orang-orang yang sebetulnya tidak dibutuhkan” dari kacamata neoliberalisme. Menempati urutan ke-107 di antara sekitar 170 negara anggota PBB, posisi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara tetangganya seperti Singapura (25), Malaysia (63), dan Thailand (78).
Capaian yang tergambar melalui peringkat HDI tersebut berkorelasi langsung dengan empat indikator pokok: angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Bila indikator angka harapan hidup mempresentasikan dimensi umur panjang dan sehat, maka indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mempresentasikan keluaran dari dimensi pengetahuan. Adapun indikator kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak.
Dengan kata lain, masih rendahnya peringkat HDI Indonesia menunjukkan bahwa untuk hal-hal yang sangat mendasar saja tingkat capaian pembangunan manusia di negeri ini masih di garis bawah. Dengan bekal amunisi semacam itulah bangsa ini dipaksa masuk kancah globalisasi, lengkap dengan tatanan dunia barunya yang dikuasai kaum kapitalis dengan semangat neoliberalisme.
Di sisi lain, kita pun masih dihadapkan kenyataan bahwa kemampuan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia secara umum juga berada di peringkat bawah. Jika sebelum krisis multidimensi (1977) World Competitiveness Yearbook menempatkan Indonesia di urutan ke-39, di awal abad ke-21 posisi Indonesia melorot pada urutan ke-46 dari 47 negara yang disurvei. Setelah hampir 10 tahun reformasi berjalan, tingkat daya saing SDM Indonesia di level dunia tak juga beranjak.
Belum lagi dalam hal penyediaan tenaga insinyur yang cakap. Survei yang dilakukan Institute for Management Development menempatkan Indonesia di posisi ke 44 di antara 46 negara yang dijadikan sampel.
Sementara laporan tahunan Asiaweek terkait peringkat universitas/institut bermutu di Asia, Australia, dan Selandia Baru, universitas/institut terkemuka di Indonesia tak pernah masuk di peringkat papan atas. Hanya Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sempat menerobos papan tengah, yakni ketika pernah menduduki peringkat ke-21 dari 39 perguruan tinggi sains dan teknologi yang masuk kategori bermutu.
Beberapa universitas di Indonesia sudah mencanangkan sebagai universitas riset. Akan tetapi, keluhan minimnya alokasi dana untuk penelitian masih jadi persoalan klasik. Meski dalam satu acara di Universitas Indonesia (UI) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan menaikkan alokasi dana penelitian, tapi beberapa bulan kemudian ketika ia menyampaikan nota keuangan untuk mengantarkan Rancangan APBN 2008, ternyata tak ada indikasi bahwa janjinya itu dituangkan dalam APBN.
Belum lagi kenyataan sebagian besar perguruan tinggi kita kekurangan tenaga doktor dan profesor. UI sebagai contoh kasus, dengan jumlah mahasiswa hampir 25.000 orang tetapi hingga hari ini baru memiliki 274 guru besar. Bahkan, akibat kelangkaan guru besar, status akreditasi pada sejumlah program studi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terancam. Bandingkan dengan perguruan tinggi di China yang bahkan ada yang memiliki 1.000 guru besar.
Kenyataan ini sempat membuat Menteri Pendidikan Nasional (ketika itu) Abdul Malik Fadjar risau. Beberapa perguruan tinggi, seperti UI dan Institut Teknologi 10 Nopember (ITS), bahkan menerapkan semacam program percepatan pengangkatan guru besar. Langkah serupa juga diikuti sejumlah perguruan tinggi negeri lainnya di Tanah Air, meski dalam praktiknya tetap saja tak cukup banyak tenaga akademik yang bisa memenuhinya.
Lagi pula, jumlah guru besar tak selalu berbanding lurus dengan hasil-hasil penelitian yang mereka kerjakan. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, diberitakan (Kompas edisi Jogja, 2 Februari 2007) bahwa lebih dari 300 guru besar yang mereka miliki hanya 30 persen saja yang melakukan penelitian.
Tentu saja ini fenomena menarik, tetapi sekaligus ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bangsa ini masih membutuhkan lahirnya tenaga-tenaga profesional dalam arti yang sesungguhnya, di sisi lain tenaga-tenaga yang dilabelkan sebagai tenaga profesional itu pada kenyataannya dalam banyak kasus justru sekadar menyandang nama.
Sinyalemen bahwa kebanyakan doktor di Indonesia ibarat pohon pisang sesungguhnya tak terlalu meleset; hanya berbuat sekali, yakni ketika menyusun disertasi, setelah itu tamat dan tutup buku! Mirip larik puisi Chairil Anwar yang terkenal itu: sekali berarti sesudah itu mati.
Boleh jadi inilah ironi sebuah negeri bernama Indonesia. Dunia kata-kata, meminjam ungkapan seorang sastrawan, lebih mendominasi keseharian kehidupan berbangsa di negeri ini. Para cerdik cendekia terkesan lebih mengutamakam bagaimana merebut wacana di masyarakat melalui berbagai saluran—utamanya melalui media massa—ketimbang memperlihatkan hasil kerja mereka yang bisa dinikmati buahnya oleh orang banyak. Tak usah heran bila sebutan sebagai ‘intelektual tukang’ atau ‘intelektual selebritas’ pun dilekatkan pada mereka.
Lihatlah kencenderungan yang berkembang di media massa kita, kata seorang rekan wartawan dalam satu kesempatan menyampaikan otokritiknya. Sumber-sumber berita secara rutin dimasukkan oleh jurnalis ke dalam apa yang disebutnya hierarki kredibilitas. Sumber-sumber berita ini dianggap ‘ahli’ dalam berbagai isu. Ironisnya, mereka ini cenderung memberikan klaim-klaim kebenaran atas nama ilmu pengetahuan, “mengalahkan” realitas sosial di masyarakat.
“Mereka ini juga kerap merampas suara orang-orang yang sebenarnya lebih berhak berbicara,” ujarnya.
Pupuk optimisme
Di tengah arus globalisasi yang menafikan solidaritas, dan meminggirkan apa yang disebut Bourdieu sebagai ‘modal kultural’, profesionalisme memang harus dikembalikan ke makna intinya. Pasar bebas yang merupakan buah dari globalisasi, di mana kemenangan dalam persaingan lebih banyak ditentukan oleh seberapa kuat orang atau kelompok yang bermain di dalamnya, hanya menyisakan tempat bagi mereka yang benar-benar siap ber-“perang” dengan amunisi yang memadai.
Pasar bebas memang bukan institusi yang ramah. Ia siap menerkam siapa pun yang lemah. Memunculkan sedikit orang atau negara yang menang dalam persaingan, dan melindas jauh lebih banyak mereka yang kalah. Prinsip usaha-usaha ekonomi di pasar global yang kapitalistik, kata Bernhard Kieser, dosen teologi moral pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, “Mereka yang datang terlambat dihukum oleh sejarah.”
Dengan modal HDI yang rendah, dengan tingkat daya saing SDM yang menyedihkan, apa yang masih bisa diperbuat oleh negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia? Globalisai memang tak bisa dibendung, pasar bebas pun tentu tidak mungkin ditutup, tetapi kehidupan juga tak mungkin dibiarkan berjalan sendiri. Di sinilah pentingnya memupuk optimisme.
Taruhlah, untuk sekadar menghibur diri, dalam survei tiga tahunan Programme for International Student Assessement (PISA) tahun 2006 Indonesia berada di peringkat 52 dari 57 negara yang disurvei untuk mata pelajaran Matematika. Sementara untuk IPA berada di posisi ke-54 di antara 57 negara, sedangkan kemampuan membaca di urutan ke-51 dari 56 negara. Memang ini posisi yang buruk. Akan tetapi, di bawah Indonesia masih ada negara yang tak alang kepalang makmurnya: Qatar!
Tanpa menafikan kenyataan bahwa bangsa ini masih lemah dalam capaian sains dan teknologi, meski satu dua anak Indonesia ada yang berprestasi dunia pada forum olimpiade sains, tetapi dalam kasus Qatar terlihat bahwa prestasi akademik tak selalu berkorelasi dengan tingkat kemakmuran (baca: kesejahteraan) suatu bangsa. Pertumbuhan ekonomi di era pasar bebas diyakini juga ikut ditentukan oleh kemampuan teknis operasional. Dengan kata lain, masih ada peluang bagi bangsa Indonesia untuk menjadi pemain di era global, walaupun indeks pembangunan manusia-nya masih level bawah.
Kuncinya, tentu saja, keseriusan pemerintah untuk bekerja semata demi bangsa dan negara dan bukan untuk kepentingan sesaat bagi keluarga dan kelompoknya. Juga bukan untuk sekadar menjaga citra, lalu menipu diri sendiri dengan komitmen berbasis seolah-olah…
Jumat, 21 Desember 2007
Indek Pembangunan Manusia
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 12/21/2007 12:42:00 PM
Label: Pembangunan Manusia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar