KOMPAS
Selasa, 03 Jul 2007
SUNGAI PUN
Selasa, 03 Jul 2007
SUNGAI PUN
TAK LAGI
JADI BERKAH
Kamil (51) tiba-tiba teringat masa kecilnya. Petani sawah tadah hujan yang tak memiliki sepetak pun lahan persawahan di kampungnya itu memandang lepas ke seberang Sungai Lematang. Sesekali ia menggelengkan kepala, sembari duduk mencangklong di tepian sungai yang kini tak lagi memberinya banyak harapan.
Hingga tahun 1970-an, Sungai Lematang--yang berawal dan mengalir dari celah-celah batu di kawasan Bukit Barisan di pedalaman Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan--masih menjadi urat nadi kehidupan penduduk yang tinggal di sepanjang daerah aliran sungai (DAS)
tersebut.
Hasil bumi diangkut dengan kapal motor, menghilir melewati Sungai Musi hingga ke Palembang. Sesekali terlihat perahu jukung ataupun rakit-rakit bambu penuh muatan tandan-tandan pisang didayung menghilir. Sebaliknya, dari Palembang dibawa mudik berbagai barang kebutuhan pokok, seperti gula, terigu, dan bahan sandang, ataupun minyak tanah untuk bahan penerangan di waktu malam.
Hampir sepanjang tahun sungai terlihat jernih. Terlebih saat "pasang tombok" (begitu istilah masyarakat di sana untuk menyebut air pasang yang datang pada tengah hari dan pada saat itu bayangan badan persis jatuh di kaki). Pada saat-saat seperti itu, Kamil ingat betul--saking jernihnya air sungai--ia bahkan bisa menyaksikan ikan-ikan seluang terlihat jelas hilir mudik di sela-sela gelagah (Sacharum spontaneum), yang pada tahun 1970-an masih banyak tumbuh di tepian Sungai Lematang.
"Sendok yang jatuh ke sungai pun bisa terlihat hingga kedalaman dua meter lebih, seperti melayang-layang di dalam air," kata Kamil, salah satu warga Desa Muara Lematang di Kabupaten Muara Enim, Sumsel.
Seingat Kamil, air sungai baru terlihat keruh saat menjelang banjir tahunan tiba. Biasanya, selama berhari-hari, di bagian hulu sungai--di daerah Lahat dan Muara Enim--hujan terus turun hingga air sungai meluap.
Air yang menggelontor di kedua sisi DAS Lematang menimbulkan erosi, membawa partikel-partikel tanah ke badan sungai. Bersamaan dengan itu, sungai pun dipenuhi batang dan ranting-ranting pohon, yang oleh penduduk di sana dinamakan rempan kayu. Eceng gondok yang ikut "hanyut mengalir" dari sawah lebak pun tak jarang memenuhi badan sungai.
Di musim hujan seperti itulah Sungai Lematang menjadi berwarna cokelat kekuningan. Bahkan, tak jarang air meluap hingga membanjiri permukiman penduduk yang berada di daerah hilir, termasuk Desa Muara Lematang, tempat aliran Sungai Lematang berakhir dan airnya menyatu dengan Sungai Musi yang mengalir hingga ke laut di Selat Bangka.
Akan tetapi, bagi penduduk yang bermukim di sana, peristiwa alam berupa banjir tahunan semacam itu adalah hal biasa. Tak ada petaka. Kerugian akibat banjir pun tak begitu berarti meski terkadang air merendam desa dan lahan-lahan persawahan hingga lebih dari satu bulan. Hanya aktivitas sehari-hari sedikit terganggu lantaran untuk bisa bepergian ke mana-mana harus menggunakan perahu.
"Penduduk di sini tidak menganggapnya sebagai musibah, tetapi justru suatu berkah," kata Kamil.
Berkah? Begitulah! Sebab, kata Kamil, ketika banjir datang dan sungai jadi keruh, musim panen udang galah (warga lebih akrab menyebutnya udang satang) pun tiba. Warga tinggal membawa lenggian (serok ukuran besar bertangkai sepasang batang bambu melengkung, tempat jaring ditangkupkan) ke tengah sungai. Dari atas perahu, lenggian dicedokkan pada bagian bawah ranting-ranting kayu dan eceng gondok yang hanyut.
"Biasanya udang satang itu bergantungan di rempan kayu atau di bawah kelipuk (eceng gondok). Besarnya bisa seukuran lengan orang dewasa," kata Kamil menambahkan.
Tinggal cerita
Akan tetapi, semua itu sudah cerita masa lalu. Dalam tiga dekade terakhir, Sungai Lematang sudah kehilangan fungsinya sebagai urat nadi pertumbuhan.
Perahu jukung dan rakit-rakit bambu sudah lama menghilang. Tandan-
tandan pisang dan hasil bumi yang biasanya kerap dihilirkan kini sudah jadi pemandangan langka. Semua aktivitas perekonomian rakyat itu seperti lenyap begitu saja, bagai tenggelam ke dasar Sungai Lematang yang kian mendangkal.
"Udang satang? Kalau sekarang ini cuma bisa didapat di dalam mimpi. Jangankan udang satang, udang kecil-kecil yang biasanya bersembunyi di sela-sela batang saja sudah jarang ditemui. Ikan seluang pun hampir tak ada lagi," kata Yunedi (44), guru SD di Desa Tanding Marga, yang kerap memancing di Sungai Lematang, bahkan tak jarang hingga ke Sungai Musi. Batang yang ia maksudkan adalah semacam rakit tempat penduduk mandi di tepi sungai.
Kamil dan Yunedi adalah saksi hidup proses degradasi lingkungan DAS Lematang. Mereka juga bisa bercerita panjang lebar proses degradasi di bidang sosial-ekonomi, yang ditandai semakin terpuruknya kualitas hidup masyarakat di daerah ini. Bahkan, kini hampir sepertiga penduduk Desa Muara Lematang "mengungsi" ke Jawa, menjadi buruh di pabrik-pabrik di pinggiran Jakarta atau sekadar jadi pedagang keliling.
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan situasi masa lampau. Kecuali dalam catatan sejarah, tak banyak warga yang tahu bahwa pada pertengahan abad ke-19 di sepanjang DAS Lematang--antara daerah Curup dan Sungai Rotan--banyak ditemukan tanaman kapas. Pada saat itu, kawasan Lematang Ilir ini sangat dikenal sebagai pusat budidaya kapas di Keresidenan Palembang, yang kala itu mencakup Sumsel, Jambi, Bengkulu, serta sebagian Lampung dan Bangka Belitung.
Menurut catatan HP Kuyper (1906), setengah dari produksi kapas Keresidenan Palembang dihasilkan dari daerah ini. Dalam catatannya, Katoencultuur in Palembang, Kuyper antara lain menggambarkan, "Berkat besarnya luas penanaman kapas, rute pelayaran melalui (Sungai) Lematang dari Palembang ke Muara Enim juga menjadi jalan perdagangan terpenting dari hilir ke hulu."
Akan tetapi, catatan sejarah tentang perkebunan kapas di daerah ini benar-benar hanya tinggal cerita. Jangankan melihat hamparan perkebunan kapas yang luas, sebagian besar warga yang tinggal dan bermukim di wilayah ini pun bahkan tidak tahu kalau nenek moyang mereka dulu adalah petani kapas. Yang kini tersisa adalah semak belukar, atau sekadar kebun dengan aneka jenis tanaman semusim yang digarap seadanya.
Bagi Kamil, awal dari kemerosotan sosial-ekonomi itu tak lain sejak tercabik-cabiknya hutan di kawasan ini oleh aktivitas pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) pada paruh kedua 1970-an. Diawali hilir-mudik kapal-kapal motor berwarna kuning menyala milik PT Swoody, yang tiap kali beroperasi menghilirkan ratusan kubik kayu gelondongan di Sungai Lematang, perlahan-lahan kehidupan kian jadi sulit. Banjir merusak padi di sawah tadah hujan penduduk, ikan-ikan makin susah didapat, dan panen tak lagi sebagus dulu.
Kini, proses menuju degradasi itu masih berlanjut....
Kamil (51) tiba-tiba teringat masa kecilnya. Petani sawah tadah hujan yang tak memiliki sepetak pun lahan persawahan di kampungnya itu memandang lepas ke seberang Sungai Lematang. Sesekali ia menggelengkan kepala, sembari duduk mencangklong di tepian sungai yang kini tak lagi memberinya banyak harapan.
Hingga tahun 1970-an, Sungai Lematang--yang berawal dan mengalir dari celah-celah batu di kawasan Bukit Barisan di pedalaman Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan--masih menjadi urat nadi kehidupan penduduk yang tinggal di sepanjang daerah aliran sungai (DAS)
tersebut.
Hasil bumi diangkut dengan kapal motor, menghilir melewati Sungai Musi hingga ke Palembang. Sesekali terlihat perahu jukung ataupun rakit-rakit bambu penuh muatan tandan-tandan pisang didayung menghilir. Sebaliknya, dari Palembang dibawa mudik berbagai barang kebutuhan pokok, seperti gula, terigu, dan bahan sandang, ataupun minyak tanah untuk bahan penerangan di waktu malam.
Hampir sepanjang tahun sungai terlihat jernih. Terlebih saat "pasang tombok" (begitu istilah masyarakat di sana untuk menyebut air pasang yang datang pada tengah hari dan pada saat itu bayangan badan persis jatuh di kaki). Pada saat-saat seperti itu, Kamil ingat betul--saking jernihnya air sungai--ia bahkan bisa menyaksikan ikan-ikan seluang terlihat jelas hilir mudik di sela-sela gelagah (Sacharum spontaneum), yang pada tahun 1970-an masih banyak tumbuh di tepian Sungai Lematang.
"Sendok yang jatuh ke sungai pun bisa terlihat hingga kedalaman dua meter lebih, seperti melayang-layang di dalam air," kata Kamil, salah satu warga Desa Muara Lematang di Kabupaten Muara Enim, Sumsel.
Seingat Kamil, air sungai baru terlihat keruh saat menjelang banjir tahunan tiba. Biasanya, selama berhari-hari, di bagian hulu sungai--di daerah Lahat dan Muara Enim--hujan terus turun hingga air sungai meluap.
Air yang menggelontor di kedua sisi DAS Lematang menimbulkan erosi, membawa partikel-partikel tanah ke badan sungai. Bersamaan dengan itu, sungai pun dipenuhi batang dan ranting-ranting pohon, yang oleh penduduk di sana dinamakan rempan kayu. Eceng gondok yang ikut "hanyut mengalir" dari sawah lebak pun tak jarang memenuhi badan sungai.
Di musim hujan seperti itulah Sungai Lematang menjadi berwarna cokelat kekuningan. Bahkan, tak jarang air meluap hingga membanjiri permukiman penduduk yang berada di daerah hilir, termasuk Desa Muara Lematang, tempat aliran Sungai Lematang berakhir dan airnya menyatu dengan Sungai Musi yang mengalir hingga ke laut di Selat Bangka.
Akan tetapi, bagi penduduk yang bermukim di sana, peristiwa alam berupa banjir tahunan semacam itu adalah hal biasa. Tak ada petaka. Kerugian akibat banjir pun tak begitu berarti meski terkadang air merendam desa dan lahan-lahan persawahan hingga lebih dari satu bulan. Hanya aktivitas sehari-hari sedikit terganggu lantaran untuk bisa bepergian ke mana-mana harus menggunakan perahu.
"Penduduk di sini tidak menganggapnya sebagai musibah, tetapi justru suatu berkah," kata Kamil.
Berkah? Begitulah! Sebab, kata Kamil, ketika banjir datang dan sungai jadi keruh, musim panen udang galah (warga lebih akrab menyebutnya udang satang) pun tiba. Warga tinggal membawa lenggian (serok ukuran besar bertangkai sepasang batang bambu melengkung, tempat jaring ditangkupkan) ke tengah sungai. Dari atas perahu, lenggian dicedokkan pada bagian bawah ranting-ranting kayu dan eceng gondok yang hanyut.
"Biasanya udang satang itu bergantungan di rempan kayu atau di bawah kelipuk (eceng gondok). Besarnya bisa seukuran lengan orang dewasa," kata Kamil menambahkan.
Tinggal cerita
Akan tetapi, semua itu sudah cerita masa lalu. Dalam tiga dekade terakhir, Sungai Lematang sudah kehilangan fungsinya sebagai urat nadi pertumbuhan.
Perahu jukung dan rakit-rakit bambu sudah lama menghilang. Tandan-
tandan pisang dan hasil bumi yang biasanya kerap dihilirkan kini sudah jadi pemandangan langka. Semua aktivitas perekonomian rakyat itu seperti lenyap begitu saja, bagai tenggelam ke dasar Sungai Lematang yang kian mendangkal.
"Udang satang? Kalau sekarang ini cuma bisa didapat di dalam mimpi. Jangankan udang satang, udang kecil-kecil yang biasanya bersembunyi di sela-sela batang saja sudah jarang ditemui. Ikan seluang pun hampir tak ada lagi," kata Yunedi (44), guru SD di Desa Tanding Marga, yang kerap memancing di Sungai Lematang, bahkan tak jarang hingga ke Sungai Musi. Batang yang ia maksudkan adalah semacam rakit tempat penduduk mandi di tepi sungai.
Kamil dan Yunedi adalah saksi hidup proses degradasi lingkungan DAS Lematang. Mereka juga bisa bercerita panjang lebar proses degradasi di bidang sosial-ekonomi, yang ditandai semakin terpuruknya kualitas hidup masyarakat di daerah ini. Bahkan, kini hampir sepertiga penduduk Desa Muara Lematang "mengungsi" ke Jawa, menjadi buruh di pabrik-pabrik di pinggiran Jakarta atau sekadar jadi pedagang keliling.
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan situasi masa lampau. Kecuali dalam catatan sejarah, tak banyak warga yang tahu bahwa pada pertengahan abad ke-19 di sepanjang DAS Lematang--antara daerah Curup dan Sungai Rotan--banyak ditemukan tanaman kapas. Pada saat itu, kawasan Lematang Ilir ini sangat dikenal sebagai pusat budidaya kapas di Keresidenan Palembang, yang kala itu mencakup Sumsel, Jambi, Bengkulu, serta sebagian Lampung dan Bangka Belitung.
Menurut catatan HP Kuyper (1906), setengah dari produksi kapas Keresidenan Palembang dihasilkan dari daerah ini. Dalam catatannya, Katoencultuur in Palembang, Kuyper antara lain menggambarkan, "Berkat besarnya luas penanaman kapas, rute pelayaran melalui (Sungai) Lematang dari Palembang ke Muara Enim juga menjadi jalan perdagangan terpenting dari hilir ke hulu."
Akan tetapi, catatan sejarah tentang perkebunan kapas di daerah ini benar-benar hanya tinggal cerita. Jangankan melihat hamparan perkebunan kapas yang luas, sebagian besar warga yang tinggal dan bermukim di wilayah ini pun bahkan tidak tahu kalau nenek moyang mereka dulu adalah petani kapas. Yang kini tersisa adalah semak belukar, atau sekadar kebun dengan aneka jenis tanaman semusim yang digarap seadanya.
Bagi Kamil, awal dari kemerosotan sosial-ekonomi itu tak lain sejak tercabik-cabiknya hutan di kawasan ini oleh aktivitas pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) pada paruh kedua 1970-an. Diawali hilir-mudik kapal-kapal motor berwarna kuning menyala milik PT Swoody, yang tiap kali beroperasi menghilirkan ratusan kubik kayu gelondongan di Sungai Lematang, perlahan-lahan kehidupan kian jadi sulit. Banjir merusak padi di sawah tadah hujan penduduk, ikan-ikan makin susah didapat, dan panen tak lagi sebagus dulu.
Kini, proses menuju degradasi itu masih berlanjut....
KOMPAS
Rabu, 04 Jul 2007
Catatan dari Pedalaman (2)
SETELAH LAMPU NEON MENYALA
Mimpi Ian (13) untuk bisa belajar di bawah penerangan lampu neon memang belum sepenuhnya terwujud. Meski sejak setahun terakhir jaringan listrik sudah masuk ke desanya, bagi sebagian besar warga di sana--termasuk orangtua Ian--biaya pemasangan listrik PLN dirasa masih terlalu mahal.
Akan tetapi, Ian tak kehilangan akal. Sesekali, sehabis magrib, ia pergi ke rumah nenek-buyutnya sambil menenteng buku bacaan. Di rumah induk 'asal-usul' keluarga dari pihak ibunya itu--yang kini ditempati salah seorang adik lelaki kakeknya--Ian bisa membolak-balik buku di bawah sinar lampu neon.
"Sekalian sambil nonton tivi. Di rumah keleman, cuma ade lampu minyak," kata Ian tentang situasi di rumah mereka yang agak gelap dan hanya diterangi sejenis lampu teplok.
Walau hanya tercatat sebagai siswa SMP terbuka yang ada di Desa Muara Lematang, Kecamatan Sungai Rotan, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, ia ingin suatu saat kelak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah formal. Sayangnya, SMP negeri terdekat hanya
ada di Desa Sungai Rotan, bekas pusat pemerintahan marga yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Muara Lematang.
Kian sulit
Seperti halnya para petani sawah tadah hujan di daerah ini pada umumnya, kedua orangtua Ian (pasangan Rusdi dan Eka, yang menikah pada usia sangat muda) hanya bisa menggarap lahan pertanian mereka sekali dalam setahun. Di luar itu, pada musim kemarau sawah mereka
kering kerontang dan bila banjir datang, sawah tergenang air hingga tiga meter.
Kondisi lahan pertanian di kawasan ini memang jauh dari ideal. Tak ada irigasi, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Di luar musim tanam padi sekali setahun, yang ironisnya sejak beberapa tahun terakhir lebih kerap gagal panen karena berbagai sebab, saat ini hampir tak ada mata pencaharian yang bisa diandalkan agar bisa menambah penghasilan keluarga.
Pasangan Rusdi-Eka, misalnya, hanya berjualan sate pada hari pekan desa (masyarakat setempat menyebutnya hari kalangan) yang jatuh pada hari Minggu atau saat ada penduduk yang hajatan. Hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena itu, biaya pemasangan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dipatok pada kisaran Rp 2 juta, bagi pasangan ini sungguh merupakan angka yang luar biasa besar. Belum lagi bila listrik sudah tersambung, biaya beban dan biaya pemakaian bisa mencapai Rp 100.000 per bulan. Itu angka tidak kecil bagi kebanyakan warga di sana.
"Hidup makin sulit. Entah bagaimana masa depan Ian. Dia ingin sekolah, tapi kami tak mampu membiayainya," kata Eka. Beruntung, anak perempuan tertuanya, Ervy, saat ini bisa duduk di bangku SMA di Palembang. Itu pun berkat bantuan keluarganya yang lain.
Kebanyakan warga yang lain bahkan cuma mengandalkan hasil kerja serabutan, atau sekadar menghabiskan hasil panen padi mereka untuk membeli berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Tak aneh bila sehabis musim panen yang hasilnya tak cukup untuk kebutuhan setahun,
banyak penduduk yang pergi merantau, mencari kerja ke kota atau daerah- daerah lain.
Fenomena ini mulai terlihat sejak dua dekade terakhir, yakni ketika proses pemiskinan mulai menggejala. Selain ke Palembang, Jambi dan Pulau Bangka pun dijadikan tempat tumpuan harapan mereka. Sejak 10 tahun terakhir, sebagian anak muda dari daerah ini bahkan mulai jadi buruh-buruh pabrik atau pedagang keliling di daerah pinggiran Jakarta, sebutlah seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
Kemajuan semu
Masuknya jaringan listrik milik PLN ke daerah ini sejak setahun terakhir tidak serta-merta berdampak pada munculnya kegiatan ekonomi skala kecil sekalipun. Aktivitas di rumah-rumah penduduk yang sudah tersambung jaringan listrik pun tidak mengalami perubahan, kecuali bergantinya penerangan dari lampu teplok ke lampu neon serta munculnya pesawat-pesawat televisi.
Begitu pun terbukanya akses jalan desa menuju pusat kecamatan di Sukarami, atau bahkan ke ibu kota Provinsi Sumatera Selatan di Palembang. Sejauh ini, yang terlihat baru berfungsi mempermudah arus pergi-pulang dari dan ke kampung mereka. Mobilitas ekonomi nyaris tak
bergerak, apalagi tumbuh. Itu pun untuk tidak menyebutnya terjadi penurunan.
Fragmentasi lahan sudah menjadi cerita usang. Jika pada generasi sebelumnya masing-masing keluarga memiliki satu hektar lahan sawah, pada generasi kedua atau ketiga sawah tersebut dipecah-pecah sebagai harta warisan sehingga masing-masing anak hanya menerima bagian-
bagian kecil.
Fenomena semacam ini hampir terjadi di semua keluarga di daerah ini. Padahal, pada saat bersamaan berbagai jenis mata pencaharian lain bukannya bertumbuh, tetapi justru satu per satu menghilang.
Jika hingga tiga dekade lalu mereka bisa mengandalkan pendapatan dari menangkap ikan air tawar di lahan persawahan saat banjir tahunan datang, kini bisa mendapatkan ikan sekadar terpenuhinya kebutuhan lauk makan sehari-hari saja sudah beruntung. Jika dulu hutan di
sekitar desa mereka masih bisa diharapkan untuk mendapatkan rotan dan damar, tetapi sejak hancurnya kawasan hutan di daerah ini oleh ulah para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang kemaruk, mata pencaharian sampingan warga itu pun hanya tinggal kenangan.
Beberapa warga memang bisa membeli mobil niaga dengan sistem kredit. Mobil berpelat hitam itu kemudian mereka gunakan menjadi semacam kendaraan angkutan desa, melayani rute ke Palembang atau Prabumulih. Sejumlah penduduk juga kini mulai terbiasa dengan telepon
genggam alias HP (handphone) murahan dengan kartu prabayar "isi ulang".
Tanda-tanda kemajuan? Tidak juga! Sebab, semua itu sesungguhnya hanya kemajuan semu. Kenyataannya, kehidupan sehari-hari mereka selalu dililit persoalan klasik: apa yang didapat hari itu hanya cukup untuk bertahan hidup hari itu juga.
Tabungan untuk hari tua, atau untuk bekal anak sekolah, menjadi pembicaraan aneh di telinga mereka. Bila ada anggota keluarga yang sakit berat sehingga harus dibawa ke rumah sakit di kota kabupaten, harta benda yang ada terpaksa dijual.
Anak-anak yang putus sekolah, atau mereka yang tak mampu melanjutkan hingga perguruan tinggi, sebagian kini mulai menjadi beban keluarga. Mobil yang dibeli dengan sistem kredit ternyata juga tak memberi keuntungan yang setimpal.
"Apalagi setelah setahun jalan, kadang-kadang untuk cicilannya saja nombok. Belum lagi mesinnya mulai rewel, dan itu perlu biaya tambahan. Padahal, tidak setiap hari penumpang penuh karena tak jarang kosong," kata Sahariah, salah satu pemilik kendaraan pribadi
yang ia "taksi"-kan dengan rute Muara Lematang-Palembang.
Sahariah memang sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan penduduk lainnya. Itu pun karena ia dan istrinya berstatus sebagai pegawai negeri sipil alias PNS, yang berpenghasilan rutin sebagai guru SD.
Sementara bagi warga kebanyakan, persoalan yang dihadapi lebih berkutat pada bagaimana melewati hari-hari yang terasa panjang dan melelahkan itu dengan tetap tersenyum. Lebih-lebih di saat panen gagal, daerah perantau lalu jadi tumpuan. Akan tetapi, ironisnya, mereka yang merantau ke luar daerah pun, ketika kembali ke kampung halaman pada saat-saat menjelang lebaran, lebih banyak memberi harapan kosong...
KOMPAS
Kamis, 05 Jul 2007
Catatan dari Pedalaman (3-Habis)
DI BALIK LINTASAN PIPA GAS ITU...
Hari itu, di pengujung Desember 2006, menjadi peristiwa luar biasa bagi warga Desa Muara Lematang dan sekitarnya. Sejak pagi, ribuan orang berduyun-duyun bergerak ke hilir kampung. Sebuah "atraksi spektakuler" tengah dipertontonkan.
Pagi hingga sore itu mereka bisa menyaksikan bagaimana aplikasi teknologi canggih dapat dilihat langsung dengan mata telanjang. Perdebatan kecil di antara mereka selama beberapa bulan sebelumnya, tentang bagaimana membenamkan dan menyeberangkan pipa-pipa berukuran besar itu di bawah dasar Sungai Musi, segera akan menemukan jawabannya.
Sejumlah teknisi dari kontraktor yang mengerjakan proyek milik PN Gas itu telah bersiap sejak pagi di kedua sisi sungai selebar lebih dari 300 meter tersebut. Sebuah 'kepala pipa' berbentuk seperti moncong peluru kendali alias rudal pun sudah siap di-"tembak"-kan.
Moncong 'kepala pipa' terarah ke tanah pada jarak sekitar 200 meter dari tepi sungai berkedalaman 5-8 meter tersebut. Disertai semacam tali baja di belakangnya, 'kepala pipa' itu harus bisa melesak ke dalam tanah, menembus permukaan bawah sungai yang melengkung, kemudian muncul di sisi lain sungai. Juga pada posisi sekitar 200 meter dari tepi sungai.
Setelah 'terowongan' bawah sungai itu terbentuk, rangkaian pipa yang sudah disiapkan sejak berbulan-bulan sebelumnya ditarik oleh moncong 'kepala pipa'. Pekerjaan yang dituntun peralatan komputer lewat perhitungan sangat cermat itu pun usai pada sore hari, menyisakan decak kagum warga yang sebagian menyaksikan hingga selesai.
"Ada yang membuat kami tidak habis pikir. Selain tempat munculnya 'kepala pipa' tepat seperti yang mereka tandai di seberang sungai, rangkaian pipa ukuran besar dan tebal itu pun bisa dibuat melengkung mengikuti alur yang dilewati kepala pipa. Kalau dipikir dengan akal sehat, kayaknya tidak mungkin," kata Zulkipli, warga yang sehari-hari dipercaya sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Muara Lematang.
Bagi warga di sana, peristiwa yang dianggap terasa muskil itu jauh lebih melekat di benak mereka daripada kehilangan lahan sawah di sepanjang jalur pipa yang telah dibebaskan PN Gas. Boleh jadi hal itu karena nilai ganti rugi antara Rp 3.000 dan Rp 5.000 per meter terhadap lahan sawah mereka yang terkena lintasan proyek pipa gas tersebut sudah telanjur diterima.
Atau, boleh jadi juga karena beberapa di antara warga sudah dicekoki pandangan bahwa semua itu demi pembangunan, yang kelak akan ikut mengimbas pada kehidupan mereka. Apalagi selama pengerjaan--mulai dari proses perintisan hingga 'penanaman' pipa-pipa itu pada kedalaman dua meter dari permukaan tanah--banyak warga yang dilibatkan sebagai buruh harian.
Hingga minggu pertama Juli 2007, sebagian besar pipa yang kelak akan dialiri gas menuju Pulau Jawa tersebut sudah ditanam.
"Kecuali di daerah Sungai Guntung dan Saba Libar, pipa gas itu belum terpasang," kata Cik Ani, salah seorang warga yang dihubungi hari Rabu (4/7). "Terkendala air, sisa banjir, yang masih cukup dalam merendam sawah penduduk," kata Kaharuddin, warga asal Muara Lematang yang kini bermukim di Palembang, menambahkan.
Pandangan bahwa kehadiran jalur pipa gas Sumatera Selatan-Jawa yang melintasi kawasan ini akan mengimbas pada kehidupan warga tentu saja suatu harapan kosong. Seperti halnya pipa-pipa minyak yang malang melintang di banyak tempat di provinsi ini, kehadiran pipa gas itu pun sesungguhnya hanya 'numpang lewat'. Tak lebih!
Bahkan, bukan tidak mungkin masyarakat di sekitarnya justru pada satu ketika kelak harus menanggung beban bila terjadi kebocoran, atau bahkan ledakan. Semua kemungkinan terburuk semacam ini tak sempat muncul di benak warga.
Ironisnya, yang sempat muncul justru harapan akan adanya peluang perubahan yang mengarah pada perbaikan nasib begitu jalur pipa gas ini beroperasi kelak. Desa akan menjadi lebih ramai, menjadi semacam pusat pertumbuhan baru.
Bahkan, tak sedikit warga yang mengait-ngaitkan pembangunan jalur pipa gas tersebut dengan kedatangan sejumlah insinyur perminyakan ke desa mereka pada awal 1970-an, yang ketika itu melakukan berbagai survei dan penelitian akan potensi minyak di daerah ini.
Menyemai mimpi
Begitulah, di tengah ketidakpastian menapaki kehidupan akibat kian surutnya peluang berusaha lantaran daya dukung lingkungan sekitar tempat tinggal mereka semakin terdegradasi, mimpi-mimpi bisa disemaikan lewat berbagai saluran.
Hilir mudik mobil-mobil 'proyek' yang melintasi desa mereka sedikit banyak juga ikut memberi atmosfer baru pada sebagian warga. Paling tidak sebagai sebuah tontonan di tengah suasana kehidupan sehari-hari mereka yang monoton. Akan tetapi, tak banyak yang sadar, tontonan itu akan segera berakhir begitu proyek ini rampung. Dan, mereka pun dipaksa melihat kembali pada kenyataan hidup sehari-hari yang kian sulit.
Kesulitan hidup akibat alam lingkungan di sekitar mereka tak lagi menyediakan banyak pilihan mata pencaharian, menyusul rusaknya ekosistem sungai dan hutan akibat ulah para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang bermula pada tahun 1970-an, sesungguhnya hanya bisa diatasi lewat kesungguhan mereka sendiri berusaha untuk mengubah nasib.
Kini peluang itu sedikit terbuka. Ribuan hektar lahan rawa gambut bekas kawasan HPH yang sudah ditinggalkan bisa digarap untuk dijadikan areal perkebunan tanaman keras. Meski letaknya relatif jauh dari perkampungan penduduk, langkah ke arah itu sudah mulai dirintis
oleh beberapa warga. Dalam kelompok-kelompok kecil, mereka membuka lahan untuk ditanami karet.
"Kami sedang membuat bibit," kata salah seorang warga.
Jika pemerintah daerah mau peduli akan peningkatan taraf hidup masyarakatnya, langkah kecil yang telah dirintis oleh sejumlah warga ini selayaknya difasilitasi. Pemberian kredit lunak berbunga rendah, bahkan jika mungkin berupa bantuan tanpa bunga, niscaya akan bisa menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat akan peran pemerintah.
Apalagi modal usaha yang mereka butuhkan relatif kecil. Biaya pembukaan lahan praktis tak diperlukan karena bisa dilakukan sendiri oleh warga. Mereka paling hanya memerlukan modal untuk membeli bibit karet unggul, serta proses pemupukan jika diperlukan. Ini pun mengingat bekas lahan gambut tersebut konon (karena belum diteliti) memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi.
Namun, terlepas dari itu semua, ternyata tak semua warga tertarik untuk mencoba mengubah masa depan mereka lewat usaha baru ini. Jangan- jangan, mereka memang termasuk golongan yang lebih suka menanam mimpi...
Fenomena ini mulai terlihat sejak dua dekade terakhir, yakni ketika proses pemiskinan mulai menggejala. Selain ke Palembang, Jambi dan Pulau Bangka pun dijadikan tempat tumpuan harapan mereka. Sejak 10 tahun terakhir, sebagian anak muda dari daerah ini bahkan mulai jadi buruh-buruh pabrik atau pedagang keliling di daerah pinggiran Jakarta, sebutlah seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
Kemajuan semu
Masuknya jaringan listrik milik PLN ke daerah ini sejak setahun terakhir tidak serta-merta berdampak pada munculnya kegiatan ekonomi skala kecil sekalipun. Aktivitas di rumah-rumah penduduk yang sudah tersambung jaringan listrik pun tidak mengalami perubahan, kecuali bergantinya penerangan dari lampu teplok ke lampu neon serta munculnya pesawat-pesawat televisi.
Begitu pun terbukanya akses jalan desa menuju pusat kecamatan di Sukarami, atau bahkan ke ibu kota Provinsi Sumatera Selatan di Palembang. Sejauh ini, yang terlihat baru berfungsi mempermudah arus pergi-pulang dari dan ke kampung mereka. Mobilitas ekonomi nyaris tak
bergerak, apalagi tumbuh. Itu pun untuk tidak menyebutnya terjadi penurunan.
Fragmentasi lahan sudah menjadi cerita usang. Jika pada generasi sebelumnya masing-masing keluarga memiliki satu hektar lahan sawah, pada generasi kedua atau ketiga sawah tersebut dipecah-pecah sebagai harta warisan sehingga masing-masing anak hanya menerima bagian-
bagian kecil.
Fenomena semacam ini hampir terjadi di semua keluarga di daerah ini. Padahal, pada saat bersamaan berbagai jenis mata pencaharian lain bukannya bertumbuh, tetapi justru satu per satu menghilang.
Jika hingga tiga dekade lalu mereka bisa mengandalkan pendapatan dari menangkap ikan air tawar di lahan persawahan saat banjir tahunan datang, kini bisa mendapatkan ikan sekadar terpenuhinya kebutuhan lauk makan sehari-hari saja sudah beruntung. Jika dulu hutan di
sekitar desa mereka masih bisa diharapkan untuk mendapatkan rotan dan damar, tetapi sejak hancurnya kawasan hutan di daerah ini oleh ulah para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang kemaruk, mata pencaharian sampingan warga itu pun hanya tinggal kenangan.
Beberapa warga memang bisa membeli mobil niaga dengan sistem kredit. Mobil berpelat hitam itu kemudian mereka gunakan menjadi semacam kendaraan angkutan desa, melayani rute ke Palembang atau Prabumulih. Sejumlah penduduk juga kini mulai terbiasa dengan telepon
genggam alias HP (handphone) murahan dengan kartu prabayar "isi ulang".
Tanda-tanda kemajuan? Tidak juga! Sebab, semua itu sesungguhnya hanya kemajuan semu. Kenyataannya, kehidupan sehari-hari mereka selalu dililit persoalan klasik: apa yang didapat hari itu hanya cukup untuk bertahan hidup hari itu juga.
Tabungan untuk hari tua, atau untuk bekal anak sekolah, menjadi pembicaraan aneh di telinga mereka. Bila ada anggota keluarga yang sakit berat sehingga harus dibawa ke rumah sakit di kota kabupaten, harta benda yang ada terpaksa dijual.
Anak-anak yang putus sekolah, atau mereka yang tak mampu melanjutkan hingga perguruan tinggi, sebagian kini mulai menjadi beban keluarga. Mobil yang dibeli dengan sistem kredit ternyata juga tak memberi keuntungan yang setimpal.
"Apalagi setelah setahun jalan, kadang-kadang untuk cicilannya saja nombok. Belum lagi mesinnya mulai rewel, dan itu perlu biaya tambahan. Padahal, tidak setiap hari penumpang penuh karena tak jarang kosong," kata Sahariah, salah satu pemilik kendaraan pribadi
yang ia "taksi"-kan dengan rute Muara Lematang-Palembang.
Sahariah memang sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan penduduk lainnya. Itu pun karena ia dan istrinya berstatus sebagai pegawai negeri sipil alias PNS, yang berpenghasilan rutin sebagai guru SD.
Sementara bagi warga kebanyakan, persoalan yang dihadapi lebih berkutat pada bagaimana melewati hari-hari yang terasa panjang dan melelahkan itu dengan tetap tersenyum. Lebih-lebih di saat panen gagal, daerah perantau lalu jadi tumpuan. Akan tetapi, ironisnya, mereka yang merantau ke luar daerah pun, ketika kembali ke kampung halaman pada saat-saat menjelang lebaran, lebih banyak memberi harapan kosong...
KOMPAS
Kamis, 05 Jul 2007
Catatan dari Pedalaman (3-Habis)
DI BALIK LINTASAN PIPA GAS ITU...
Hari itu, di pengujung Desember 2006, menjadi peristiwa luar biasa bagi warga Desa Muara Lematang dan sekitarnya. Sejak pagi, ribuan orang berduyun-duyun bergerak ke hilir kampung. Sebuah "atraksi spektakuler" tengah dipertontonkan.
Pagi hingga sore itu mereka bisa menyaksikan bagaimana aplikasi teknologi canggih dapat dilihat langsung dengan mata telanjang. Perdebatan kecil di antara mereka selama beberapa bulan sebelumnya, tentang bagaimana membenamkan dan menyeberangkan pipa-pipa berukuran besar itu di bawah dasar Sungai Musi, segera akan menemukan jawabannya.
Sejumlah teknisi dari kontraktor yang mengerjakan proyek milik PN Gas itu telah bersiap sejak pagi di kedua sisi sungai selebar lebih dari 300 meter tersebut. Sebuah 'kepala pipa' berbentuk seperti moncong peluru kendali alias rudal pun sudah siap di-"tembak"-kan.
Moncong 'kepala pipa' terarah ke tanah pada jarak sekitar 200 meter dari tepi sungai berkedalaman 5-8 meter tersebut. Disertai semacam tali baja di belakangnya, 'kepala pipa' itu harus bisa melesak ke dalam tanah, menembus permukaan bawah sungai yang melengkung, kemudian muncul di sisi lain sungai. Juga pada posisi sekitar 200 meter dari tepi sungai.
Setelah 'terowongan' bawah sungai itu terbentuk, rangkaian pipa yang sudah disiapkan sejak berbulan-bulan sebelumnya ditarik oleh moncong 'kepala pipa'. Pekerjaan yang dituntun peralatan komputer lewat perhitungan sangat cermat itu pun usai pada sore hari, menyisakan decak kagum warga yang sebagian menyaksikan hingga selesai.
"Ada yang membuat kami tidak habis pikir. Selain tempat munculnya 'kepala pipa' tepat seperti yang mereka tandai di seberang sungai, rangkaian pipa ukuran besar dan tebal itu pun bisa dibuat melengkung mengikuti alur yang dilewati kepala pipa. Kalau dipikir dengan akal sehat, kayaknya tidak mungkin," kata Zulkipli, warga yang sehari-hari dipercaya sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Muara Lematang.
Bagi warga di sana, peristiwa yang dianggap terasa muskil itu jauh lebih melekat di benak mereka daripada kehilangan lahan sawah di sepanjang jalur pipa yang telah dibebaskan PN Gas. Boleh jadi hal itu karena nilai ganti rugi antara Rp 3.000 dan Rp 5.000 per meter terhadap lahan sawah mereka yang terkena lintasan proyek pipa gas tersebut sudah telanjur diterima.
Atau, boleh jadi juga karena beberapa di antara warga sudah dicekoki pandangan bahwa semua itu demi pembangunan, yang kelak akan ikut mengimbas pada kehidupan mereka. Apalagi selama pengerjaan--mulai dari proses perintisan hingga 'penanaman' pipa-pipa itu pada kedalaman dua meter dari permukaan tanah--banyak warga yang dilibatkan sebagai buruh harian.
Hingga minggu pertama Juli 2007, sebagian besar pipa yang kelak akan dialiri gas menuju Pulau Jawa tersebut sudah ditanam.
"Kecuali di daerah Sungai Guntung dan Saba Libar, pipa gas itu belum terpasang," kata Cik Ani, salah seorang warga yang dihubungi hari Rabu (4/7). "Terkendala air, sisa banjir, yang masih cukup dalam merendam sawah penduduk," kata Kaharuddin, warga asal Muara Lematang yang kini bermukim di Palembang, menambahkan.
Pandangan bahwa kehadiran jalur pipa gas Sumatera Selatan-Jawa yang melintasi kawasan ini akan mengimbas pada kehidupan warga tentu saja suatu harapan kosong. Seperti halnya pipa-pipa minyak yang malang melintang di banyak tempat di provinsi ini, kehadiran pipa gas itu pun sesungguhnya hanya 'numpang lewat'. Tak lebih!
Bahkan, bukan tidak mungkin masyarakat di sekitarnya justru pada satu ketika kelak harus menanggung beban bila terjadi kebocoran, atau bahkan ledakan. Semua kemungkinan terburuk semacam ini tak sempat muncul di benak warga.
Ironisnya, yang sempat muncul justru harapan akan adanya peluang perubahan yang mengarah pada perbaikan nasib begitu jalur pipa gas ini beroperasi kelak. Desa akan menjadi lebih ramai, menjadi semacam pusat pertumbuhan baru.
Bahkan, tak sedikit warga yang mengait-ngaitkan pembangunan jalur pipa gas tersebut dengan kedatangan sejumlah insinyur perminyakan ke desa mereka pada awal 1970-an, yang ketika itu melakukan berbagai survei dan penelitian akan potensi minyak di daerah ini.
Menyemai mimpi
Begitulah, di tengah ketidakpastian menapaki kehidupan akibat kian surutnya peluang berusaha lantaran daya dukung lingkungan sekitar tempat tinggal mereka semakin terdegradasi, mimpi-mimpi bisa disemaikan lewat berbagai saluran.
Hilir mudik mobil-mobil 'proyek' yang melintasi desa mereka sedikit banyak juga ikut memberi atmosfer baru pada sebagian warga. Paling tidak sebagai sebuah tontonan di tengah suasana kehidupan sehari-hari mereka yang monoton. Akan tetapi, tak banyak yang sadar, tontonan itu akan segera berakhir begitu proyek ini rampung. Dan, mereka pun dipaksa melihat kembali pada kenyataan hidup sehari-hari yang kian sulit.
Kesulitan hidup akibat alam lingkungan di sekitar mereka tak lagi menyediakan banyak pilihan mata pencaharian, menyusul rusaknya ekosistem sungai dan hutan akibat ulah para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang bermula pada tahun 1970-an, sesungguhnya hanya bisa diatasi lewat kesungguhan mereka sendiri berusaha untuk mengubah nasib.
Kini peluang itu sedikit terbuka. Ribuan hektar lahan rawa gambut bekas kawasan HPH yang sudah ditinggalkan bisa digarap untuk dijadikan areal perkebunan tanaman keras. Meski letaknya relatif jauh dari perkampungan penduduk, langkah ke arah itu sudah mulai dirintis
oleh beberapa warga. Dalam kelompok-kelompok kecil, mereka membuka lahan untuk ditanami karet.
"Kami sedang membuat bibit," kata salah seorang warga.
Jika pemerintah daerah mau peduli akan peningkatan taraf hidup masyarakatnya, langkah kecil yang telah dirintis oleh sejumlah warga ini selayaknya difasilitasi. Pemberian kredit lunak berbunga rendah, bahkan jika mungkin berupa bantuan tanpa bunga, niscaya akan bisa menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat akan peran pemerintah.
Apalagi modal usaha yang mereka butuhkan relatif kecil. Biaya pembukaan lahan praktis tak diperlukan karena bisa dilakukan sendiri oleh warga. Mereka paling hanya memerlukan modal untuk membeli bibit karet unggul, serta proses pemupukan jika diperlukan. Ini pun mengingat bekas lahan gambut tersebut konon (karena belum diteliti) memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi.
Namun, terlepas dari itu semua, ternyata tak semua warga tertarik untuk mencoba mengubah masa depan mereka lewat usaha baru ini. Jangan- jangan, mereka memang termasuk golongan yang lebih suka menanam mimpi...
1 komentar:
Tulisan yang sangat menyentuh. Saya membacanya sebagai bagian buku 'Jelajah Musi 2010'. Sumsel dan Musinya, masihkah ada harapan?
Posting Komentar