Kamis, 29 November 2007

Ziarah ke Keraton Majapahit

KOMPAS
Selasa, 19 Sep 2006

Ziarah ke Keraton Majapahit (1)
BULAN SEPOTONG
DI LANGIT TROWULAN

Malam baru saja turun saat bulan setengah purnama itu seperti
mengambang di langit Trowulan. Gapura Wringin Lawang pun berangsur
terlihat samar. Senja yang semula hadir dengan warna merah
keemasannya berganti bayangan hitam besar dari salah satu bangunan
sisa-sisa peradaban Kerajaan Majapahit itu.

Kamis malam di pengujung Agustus lalu adalah Jumat Legi atau
Jumat manis minggu pertama bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa.
Di langit, bulan yang baru memperlihatkan separuh bentuk bundarnya
bersinar lembut, sedikit tertutup awan tipis. Cahayanya bahkan
terkesan redup di antara terangnya lampu-lampu neon yang berasal dari
rumah warga Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur.

Ketika angin malam berkesiur mengusik kerimbunan daun-daun
beringin tua yang berdiri tegak di sisi barat laut gapura, atmosfer
masa silam seperti menyergap. Bayangan akan kearkaikan Wringin
Lawang dengan segala pernak-pernik kisah yang terpendam pada
sekitar 700 tahun lampau, saat Majapahit menapaki puncak
kejayaannya, seakan berpacu dengan kesibukan warga sekitar yang
tengah menyiapkan semacam tradisi berupa karnaval tahunan
menjelang bulan Pasa 1939 Saka atau Ramadhan 1429 Hijriah.

Di pelataran, lelaki tua berkaus singlet itu terus saja bercerita
tentang berbagai hal terkait keberadaan Wringin Lawang. Juga tentang
situs-situs lain di Trowulan yang masih berhubungan erat dengan
keberadaan Majapahit.

Hal-hal berbau mistik pun berhamburan. Mulai dari
kisah "petualangan"-nya dilompati macan loreng yang datang entah
dari mana saat menjaga situs Candi Gentong di Desa Jambumente,
Trowulan, hingga beragam perilaku orang-orang penting negeri ini
ketika 'sowan' ke sisa-sisa peninggalan Majapahit.

Supardi (64), sang juru pelihara situs purbakala bergaji hanya
Rp 175.000 per bulan, adalah sosok "perantara" untuk "berdialog"
dengan Wringin Lawang. Sebuah bangunan kuno berbentuk gapura,
yang oleh Muhammad Yamin disebut-sebutnya sebagai gerbang masuk
utama ke kediaman Gajah Mada sang Mahapatih Majapahit. Sebagai
pemegang kunci masuk ke pelataran gerbang, Supardi tahu persis siapa
saja yang datang berkunjung.

"Menjelang pemilihan presiden tempo hari, Bu Mega dan Pak Es Be
Ye
juga sempat ke sini," kata Supardi bertutur.




Kecuali orang-orang tertentu, pengunjung biasa ia haruskan
meninggalkan tanda pengenal sebelum memasuki kawasan Gerbang
Wringin Lawang. "Itu sudah aturan yang harus saya jalankan," katanya.
Memang terkesan kaku, tetapi sebagai bagian dari "laskar
pelestari budaya Majapahit", Supardi mengaku siap "mati"
mempertahankan aturan yang harus ia jalankan. "Jangan sampai kasus
peledakan Borobudur juga terjadi di sini," kata Supardi.

Memberi sugesti

Wringin Lawang adalah satu dari ribuan artefak dan puluhan sisa
bangunan bersejarah penanda kebesaran Majapahit. Masih ada sejumlah
sisa peradaban lain, baik yang sudah dipugar, dalam tahap ekskavasi,
maupun yang masih terpendam di ladang-ladang tebu, areal



persawahan, atau di pekarangan rumah penduduk Trowulan.

Pada malam-malam tertentu, khususnya Jumat Legi atau Jumat manis
menurut penanggalan Jawa, kawasan Trowulan ramai dikunjungi



peziarah. Mereka datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Tempat



paling ramai di- "ziarah"-i memang bukan Wringin Lawang ataupun



situs-situs lain berupa bangunan candi yang bertebaran di kawasan



seluas sekitar 10 kilometer persegi tersebut.

Kebanyakan peziarah berkhidmat ke kompleks makam kuno Troloyo di
Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo; sebuah kompleks pemakaman Islam
dari masa Majapahit. Pada Jumat Legi atau Kamis malam di pergantian
bulan Agustus ke September lalu, Kompleks Troloyo benar-benar
disesaki para peziarah. Sedikitnya 100 bus besar, 500 minibus, dan
3.000 sepeda motor yang mengangkut para peziarah dari berbagai
penjuru tanah Jawa memenuhi pelataran parkir yang khusus dibangun
untuk pengunjung.

Akan tetapi, Wringin Lawang dan sejumlah situs kepurbakalaan dari
masa Majapahit lainnya tetap memberi sugesti khusus, terutama untuk
kalangan tertentu dan dengan niat tertentu pula. Masing-masing tempat
memang dipercaya memiliki sugesti tersendiri, bergantung pada tujuan
si pe-ngalap berkah.

Taruhlah seperti sumur upas di Kompleks Candi Kedaton yang berada
di Dusun Kedaton, juga masih di wilayah Desa Sentonorejo, yang
disebut-sebut sebagai tempat murtajab untuk meminta berkah. Di sini
pun berkembang kisah-kisah mistik, yang diembus-embuskan entah oleh
siapa.

Misalnya, dikatakan bahwa sumur upas itu bersambungan dengan
terowongan-terowongan kuno yang menjalar hingga ke Pegunungan



Tengger dan Blitar. Malah tak sedikit yang percaya bahwa khasiat



air sumur itu bisa membuat orang awet muda.

"Percaya atau tidak, setiap tahun ada serombongan orang dari
Ciamis-lelaki dan perempuan-yang datang ke sini untuk bertirakat.
Pada tengah malam mereka mandi dengan air kembang. Setelah




selesai, pakaian lengkap yang telah basah oleh air sumur upas itu



mereka tinggalkan, termasuk pakaian dalamnya," kata Arifin, petugas
keamanan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan.

Magnet peradaban

Bagi sebagian orang, Trowulan memang bagai magnet. Tak sedikit
yang percaya bahwa di kawasan-yang oleh kalangan arkeolog diyakini
sebagai bekas ibu kota Kerajaan Majapahit-dengan sisa-sisa peradaban
masa lampau itu masih menyimpan aura magis. Suatu kekuatan
supranatural yang bisa "menular" lewat serangkaian
prosesi "peziarahan" (kolektif maupun individual) ke tapak-tapak
para tokoh Majapahit pernah ada di masa silam.

Siapa yang tak kenal Gajah Mada, tokoh legendaris dalam sejarah
Nusantara yang dikenal lewat sumpah "Amukti Palapa"-nya? Atau Raden
Wijaya, sang pendiri imperium Majapahit bergelar Kertarajasa
Jayawardhana yang mampu mengusir tentara Kubhilai Khan dari tanah
Jawa? Juga Hayam Wuruk, tokoh besar yang membawa Majapahit



ke puncak kegemilangannya?

Dalam perspektif para pen- ngalap berkah, nama-nama besar dengan
sisa-sisa peradaban yang mereka tinggalkan di kawasan Trowulan dan
sekitarnya itu diposisikan sebagai tempat mencari semacam wangsit.
Sementara dalam perspektif arkeologi ruang (spatial archaeology),
segala tinggalan masa lalu tersebut bukan saja memiliki nilai
kesejarahan yang berkonteks dan harus diselamatkan, tetapi juga
sebagai sumber penggalian makna dari sebuah peradaban.

"Dengan menyingkap sisa-sisa tinggalan kebesaran Majapahit,
paling tidak kita sebagai bangsadiingatkan bahwa negeri ini pernah
mencapai puncak kebesarannya. Bukan saja di wilayah Nusantara yang
kini bernama Indonesia, tetapi pengaruh Majapahit meluas hingga
Filipina di utara dan Madagaskar di barat," kata Soeroso MP,
arkeolog yang kini adalah Direktur Sejarah dan Purbakala di
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Boleh jadi, semangat inilah yang antara lain mendasari pameran besar
tentang Majapahit di Museum Nasional Jakarta, yang semula dijadwalkan
pertengahan November 2006, tetapi hanya karena menunggu sinyal dari
Istana Merdeka yang tak kunjung datang akhirnya pameran baru dibuka
pada 20 Juni 2007. Bahwa, peradaban sebuah bangsa yang
telah dirintis sejak masa silam harus merupakan satu kesatuan dengan
masa kini. Lewat serangkaian 'pembacaan' yang benar, bukan dalam
arti hanya untuk semacam romantisme sesaat, kearifan-kearifan masa
silam itu bisa dihadirkan dengan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan
konteks zaman yang terus berubah.

Sejatinya, Majapahit memang harus diletakkan sebagai sebuah ikon
kebudayaan. Namun, dalam konteks tertentu, Majapahit sesungguhnya
juga bisa menjadi semacam ikon kekuasaan. Tentu saja kekuasaan



yang dimaksudkan bukan pada model otoritarianisme dengan segala



intrik yang ada di dalam lingkup kekuasaan itu sendiri, sebagaimana
tercermin dari sejarah pemerintahan Majapahit. Sebagai ikon
kekuasaan, yang perlu ditoleh lebih pada semangat bahwa sebuah
imperium harus dibangun dengan kerja keras!

Dengan kata lain, Majapahit dengan sisa-sisa peradabannya
hendaknya tidak ditempatkan sebagai sumber mistisisme; apalagi
sebagai tempat peziarahan untuk dan demi kelanggengan sebuah
kekuasaan....



KOMPAS
Rabu, 20 Sep 2006


















Ziarah ke Keraton Majapahit (2)



MELIHAT TROWULAN,



MEMBACA PERADABAN







Osrifoel Oesman ingin tertawa, meski yang bisa ia lakukan



akhirnya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Itu terjadi saat arsitek yang mendalami bidang arkeologi ini mengunjungi kompleks makam kuno Troloyo; sebuah kompleks pemakaman Islam dari masa Majapahit di Desa Sentonorejo, Trowulan, Jawa Timur.

Peristiwa kecil itu berawal dari percakapan kami dengan



seorang pemandu salah satu rombongan peziarah. Sabtu di awal



September 2006 itu rombongan peziarah dengan bus besar bermuatan sekitar 80 orang tersebut mampir ke Troloyo, setelah sebelumnya men- "ziarah"-i sejumlah makam (kuno) Islam di tanah Jawa.

Saat berpapasan, sang pemandu baru saja usai memimpin kegiatan perdoaan di depan bangunan bercungkup tertutup kain, yang di dalamnya ada sebuah makam; dan oleh sementara orang diyakini sebagai makam Syekh Syaid



Jumadil Kubro.

Dengan bersemangat, ia bercerita tentang misi dan tempat-tempat
pe-"ziarah"-an yang telah mereka kunjungi. Meski makam-makam di
Troloyo tergolong tua (berangka tahun 1298- 1376 Masehi, dan menurut data arkeologis hanya tertandingi oleh makam Fatimah binti Maimum bin Hibatallah



di Leran, Gresik, yang berangka tahun 1082 Masehi), namun
menurut sang pemandu itu masih kalah jauh dibandingkan sebuah makam Islam di Sumenep, Madura.

"Di sana ada makam Islam dari abad ke-5 Masehi," katanya dengan
penuh percaya diri. Usai menyampaikan "informasi" tersebut, sang
pemandu segera bergabung dengan rombongan peziarah lainnya menuju
bus besar yang akan membawa mereka men-"ziarah"-i makam-makam



kuno lainnya di tanah Jawa.

Pernyataan terakhir inilah yang membuat Ifoel--sapaan akrab
Osrifoel Oesman--ingin tertawa. "Bagaimana mungkin ada makam



Islam di Nusantara pada abad ke-5, sementara Nabi Muhammad SAW



(570-632 M) saja baru lahir di akhir abad ke-6 Masehi?"



kata Ifoel berbisik.

Lain lagi sikap Soeroso MP ketika mendengar keyakinan anak muda
Sentonorejo, yang siang itu bertugas sebagai "penjaga (tiket) masuk"
ke kompleks Troloyo. Dengan amat bersemangat, sang anak muda
bercerita bahwa makam Syekh Syaid Jumadil Kubro adalah makam



Islam tertua di Indonesia. Tokoh ini pun disebut-sebutnya sebagai



'maha guru' tempat para Wali Songo banyak menimba ilmu



tentang keislaman.

Bahkan ia sempat berbantahan dengan Soeroso yang mencoba
meluruskan sejarah versi sang anak muda Sentonorejo tersebut.
Belakangan, sang anak muda hanya bisa terdiam setelah tahu lawan
bicaranya adalah seorang arkeolog dari Direktorat Sejarah Purbakala,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

"Bagaimana kamu yakin ini makam Islam tertua di Indonesia?
Padahal di Leran, Gresik, ada ditemukan makam Islam yang berasal dari
abad ke-11?" kata Soeroso, arkeolog yang pada akhir 1970-an pernah
berbulan-bulan melakukan penelitian tentang keberadaan Majapahit di
kawasan Trowulan.

Jejak keindonesiaan

Kekeliruan dalam membaca tinggalan sejarah purbakala, lalu
memberinya makna di luar konteks kesejarahannya, boleh jadi



merupakan fenomena umum di negeri ini. Belum lagi bila dikaitkan



dengan fungsi dan kearifan yang seharusnya diletakkan dalam konteks



ruang dan waktu, terutama terkait dengan kehidupan berbangsa.



Dalam kasus makam-makam kuno Troloyo misalnya, nama-nama



makam di kompleks itu saja sudah menjadi tanda tanya besar. Sejak



awasan ini dijadikan obyek penelitian secara mendalam, sejak L Ch



Damais hingga pakar arkeologi Islam seperti Uka Tjandrasasmita



dan Hasan Muarif Ambary (almarhum), tak satu pun dari laporan



yang mereka susun menyebut nama-nama tokoh seperti yang



sekarang tertera di sejumlah batu nisan Troloyo saat ini.

Meski nisan-nisan dari Troloyo sebagian memang menyertakan
tulisan Arab, tetapi kebanyakan ditandai dengan angka tahun Saka.
Tulisan yang berangka tahun Arab cuma satu, yaitu nisan kubur yang
memuat nama Zayn ud-Din pada tahun 874 Hijriah (1469 Masehi).

Bagi Soekmono (alm), 'bapak arkeologi Indonesia', keberadaan
nisan ini penting karena satu-satunya memuat nama orang yang wafat.
Selebihnya, nisan-nisan kubur di Troloyo hanya memuat tulisan dalam
bentuk kaligrafi Arab dan Jawa kuno, yang umumnya berisi puji-pujian
akan keesaan Allah SWT.

Dalam catatan MLWC den Berg (1887) yang dikutip Damais, terungkap
bahwa tulisan-tulisan Arab pada nisan-nisan kuno di Troloyo
disebutnya sangat jelek. Selain itu juga ditemukan banyak kesalahan.
Menyimak laporan den Berg tersebut, Ch Damais (1957) sampai pada
kesimpulan bahwa tulisan Arab pada nisan-nisan kuno yang ada di
Troloyo tersebut telah ditambahkan kemudian.

Jika pembacaan terhadap tinggalan sejarah saja sudah keliru,
apalagi bila ada kesengajaan untuk membelokkannya, bagaimana



mungkin kita sebagai bangsa bisa mewarisi kearifan-kearifan yang



tersimpan di dalamnya? Pemaknaan yang kurang pas terhadap



sisa-sisa peninggalan peradaban Majapahit bukan cuma terkait pada



keberadaan makam-makam kuno, tetapi juga terhadap bangunan



dan atau artefak budaya masa silam lainnya.

Di luar sisa-sisa peradaban dalam bentuk bangunan candi serta
artefaktual lainnya seperti makam atau kolam dan bekas kanal-kanal
kuno di Trowulan, Majapahit juga meninggalkan jejak-jejak peradaban
lain yang menunggu untuk "dibaca".

Di bidang pertanian misalnya, Majapahit sudah mengenal sistem dan
teknologi yang melipatgandakan hasil-hasil pertanian, terutama beras.
Kehadiran kolam dan kanal-kanal kuno yang hingga kini masih bisa
dilacak keberadaannya di Trowulan, menunjukkan adanya "sistem



irigasi" pada masa itu. Catatan-catatan yang tertuang dalam kitab-



kitab tua atau fragmen-fragmen bergambar (baca: relief) yang terpahat



di dinding-dinding candi memperlihatkan betapa para pendahulu



bangsa ini telah menggarap lahan pertanian dengan cara yang boleh



disebut lebih maju.

Tak cuma itu, pemerintahan Majapahit juga menempatkan pejabat-
pejabat khusus di bidang pertanian. Sebutlah seperti jabatan untuk
pengurus tambak (patih tambak; prasasti Karang Bogem, 1387 Masehi)
dan pengairan atau irigasi (hulair alias penghulu air; prasasti
Trailokyapuri, 1486 Hijriah).

"Hasil pertanian sawah ini tidak saja mampu memenuhi kebutuhan
setempat, bahkan menjadi komoditas ekspor," kata arkeolog Daud Aris
Tanudirjo mengutip laporan Setten van den Meer. Kenyataan masa lalu
tersebut sungguh berbanding terbalik dengan keadaan sekarang, di



mana pemerintahan saat ini justru berulang kali harus mengimpor



beras guna memenuhi stok pangan dalam negeri.

Pembacaan masih dilanjutkan pada sektor-sektor lain, seperti
perdagangan, sistem politik, agama dan kepercayaan, sistem
perpajakan, seni dan kesusastraan, dan-tentu saja yang tak boleh
dilupakan-kehidupan sehari-hari masyarakat Majapahit yang
multikultural dengan semangat pluralismenya. Dengan kata lain,
melihat Majapahit adalah membaca jejak-jejak keindonesiaan pada



tahap awal.

Pluralisme

Boleh jadi, tak banyak di antara anak-anak negeri ini yang mau
"membaca" bahwa pluralisme dan multikulturalisme sesungguhnya



sudah merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa ini. Ia sudah ada



sejak dulu, jauh sebelum negeri ini menjadi sebuah bangsa berdaulat.

Keberadaan makam-makam Islam di tengah-tengah pemerintahan
Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha adalah bukti sejarah bahwa



sejak dulu nenek moyang bangsa Indonesia menghargai perbedaan.



Bahwa, toleransi antarumat beragama sudah mendapat tempat



dalam tatanan kehidupan sehari-hari.

Bahkan, menurut catatan Harry Truman Simanjuntak, apa yang kini
dikenal sebagai pluralisme dan multikulturalisme itu sudah ada sejak
prasejarah. Kemajemukan yang paling menonjol pada masa prasejarah
terlihat di bidang peralatan dengan kekhasan masing-masing tempat
penggunaannya pada alat-alat serpih yang dihasilkan.

Begitupun dalam sistem matapencaharian. Kemunculan para penutur
Austronesia yang kemudian berinteraksi dan mengadaptasikan diri pada
peralatan teknologi penghuni asli Nusantara menyebabkan terjadi
percampuran budaya.

"Proses adaptasi dan interaksi itu lambat laun menciptakan
komunitas-komunitas lokal dengan kekhasan budaya masing-masing.
Komunitas inilah yang dalam perkembangan lebih lanjut membentuk
etnisitas dengan keragaman budaya seperti yang kita lihat sekarang,"
kata Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang
Arkeologi Nasional.

Bahwa dalam perkembangan keindonesiaan kita kini terjadi semacam
penyempitan makna terhadap kenyataan-kenyataan sejarah pluralisme



di masa lampau, bahkan ada kesan untuk menihilkannya lalu diganti



dengan semangat eksklusivitas kelompok atau golongan, sebuah tanda



tanya besar pun muncul ke permukaan. Ketidaktahuan atau



kesengajaan?

"Kemajemukan itu telah memperkaya kehidupan dan budaya bangsa
ini. Ia merupakan sebuah kearifan yang seharusnya terus dikembangkan.
Inilah hakikat penting dari belajar prasejarah dan sejarah," begitu
kata Truman Simanjuntak, guru besar riset yang mengabdikan diri pada
bidang penelitian yang sepi dari "tepuk tangan". Dan, melihat Majapahit
adalah membaca jejak-jejak keindonesiaan pada tahap awal...




KOMPAS
Kamis, 21 Sep 2006







Ziarah ke Keraton Majapahit (3-Habis)
"SIRNA ILANG KERTANING BUMI"

Arkeolog Daud Aris Tanudirjo punya hipotesis menarik tentang masa-masa akhir kejayaan Majapahit sebagai sebuah imperium yang menguasai Nusantara. Bahwa, ketika kekalutan politik serta kehidupan
sosial Majapahit menunjukkan gejala ke kemerosotan, muncul apa yang
ia namakan gejala millenarisme; suatu gerakan keagamaan yang merindukan kembalinya "Zaman Bahagia".

Gerakan itu menjadi suatu gejala yang menarik karena ia bukan menjalar di Trowulan sebagai pusat kekuasaan Majapahit. Juga bukan di kampung
dan pedukuhan, tempat para kawula hidup dan bermukim. Gerakan menuju "Zaman Bahagia" itu justru menemukan tempat persemaiannya di Gunung Penanggungan dan Arjuno, di selatan Trowulan.



Lha, kok bisa? Keberadaan tinggalan sisa-sisa "bangunan suci
kaum resi"--yang banyak bertebaran pada lereng-lereng Gunung
Penanggungan dan Arjuno--lah yang ia jadikan dasar kajian untuk
membuktikan hipotesis tadi. Gerakan kaum mesianik itu kian menguat
terutama ketika rakyat kehilangan panutan pascapemerintahan Hayam
Wuruk dengan Gajah Mada sebagai mahapatihnya.

Rakyat dihadapkan pada kenyataan bahwa para pembesar negerinya
selalu bertikai memperebutkan pengaruh untuk meraih kekuasaan.
Tentunya masing-masing memiliki kelompok dan golongan pendukung.
Dalam tatanan 'negara' semacam itu rakyat tak ubahnya cuma



pelengkap penderita. Tidak dihitung, apalagi diperhitungkan.

Kenyataan inilah yang membuat kaum mesianik pergi ke tempat-
tempar terpencil di lereng-lereng Penanggungan dan Arjuno. Mereka
mendirikan "bangunan-bangunan suci" berupa candi dan atau punden
berundak. Di sana mereka bersemedi bersama kaum resi yang telah



lebih dahulu ada di sana, menjauhi hiruk-pikuk kehidupan negerinya



yang mulai kembali gonjang-ganjing, sambil menunggu datangnya



"Zaman Bahagia".

Bagi Daud Aris Tanudirjo, arkeolog dari Universitas Gajah Mada,
tinggalan arkeologis di Penanggungan dan Arjuno di Jawa Timur
tersebut bukan saja menarik, tetapi juga unik. Baik dari bentuk
bangunan, tata letak, gaya arca, maupun lokasi tinggalan
arkeologisnya yang berada di tempat-tempat terpencil dan sulit
dijangkau.

Ihwal keterpencilan sisa-sisa "bangunan suci kaum resi" di
Gunung Penanggungan telah dilaporkan dalam beberapa kesempatan. Di
harian ini saja, Norman Edwin (alm) dan Mindra Faizaliskandiar (alm)
menggambarkan dengan gamblang betapa sulit menapaki satu per satu



i antara ratusan tinggalan berupa candi atau punden berundak di
Penanggungan.

"Kalau dipikir-pikir, memang agak aneh juga ada orang mau
bersusah-payah mendaki gunung hanya untuk melihat seonggok



tumpukan batu yang disebut candi. Padahal, semua orang tahu 'tidak



enaknya' jalan di punggung gunung. Selain bikin napas ngos-ngos-an,



melipir di jalan setapak yang bersebelahan dengan jurang dalam jelas



bisa bikin 'sport' jantung juga," begitu isi laporan mereka (Kompas, 2
September 1990).

Apalagi ini di Gunung Penanggungan. Selain bentuk candinya tidak
umum, keletakannya pun aneh-aneh. Ada yang berdiri persis di bibir
jurang, di rekahan batu, atau di puncak gunung.

Semua itu meninggalkan misteri, yang terus-menerus coba dikuak
oleh para peneliti, utamanya bagi kalangan arkeolog. Kalau untuk
menuju ke lokasi candi atau bangunan punden berundak sebagai tempat
suci kaum resi itu berada saja begitu sulitnya, lalu keberadaannya
untuk apa dan bagi siapa?

Mahameru di bumi Jawa

Konon, sebelum manusia pertama diturunkan ke Bumi, alam semesta
didiami oleh dewa-dewa yang tinggal di atas kahyangan. Sementara
dayta-dayta yang mewakili sisi buruk kehidupan tinggal di bawah perut
Bumi.

Pada satu masa Bumi gonjang-ganjing. Jawadwipa alias Pulau Jawa
masih terombang- ambing di samudra luas. Karena Pulau Jawa akan
dijadikan tempat kehidupan bagi manusia, para dewa pun merasa perlu
turun tangan 'menenangkan' pulau yang tak pernah bisa diam tersebut.
Gunung Mahameru yang ada di Jambudwipa alias di India mereka



bopong, dipindahkan ke selatan untuk dijadikan semacam pemberat



agar Jawadwipa tak lagi oleng-kemoleng.

Dalam proses pemindahan tersebut, beberapa bagian dari Mahameru
berguguran dan menjadi sejumlah gunung di Nusa Jawa. Adapun bagian
puncak Mahameru terus diboponghingga ke timur dan dipancakkan di
wilayah selatan Trowulan saat ini. Tak begitu jauh dari Kali Brantas.
Sejak itu, Pulau Jawa pun akhirnya tenang di tempatnya seperti
sekarang.

Potongan puncak Mahameru itulah yang dalam naskah Tantu
Pengelaran disebut sebagai Pawitra atau Gunung Penanggungan. Naskah
Tantu Pangelaran juga menyebutkan bahwa Gunung Penanggungan sebagai
tepat Trisandhyawrata; suatu upacara mandi keagamaan Dewa Siwa.
Begitulah kisah lama yang ditulis oleh sastrawan tak dikenal pada
sekitar abad ke-16 untuk menunjukkan keistimewaan dan 'kesucian'
gunung yang tingginya cuma 1.659 meter tersebut.

Dalam Negarakertagama pun, keistimewaan Gunung Penanggungan juga
sempat disinggung. Dalam kitab gubahan Mpu Prapanca pada abad



ke-14 tersebut, disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk yang dalam



perjalanannya keliling ke berbagai daerah sempat singgah di sebuah



asrama di lereng Gunung Pawitra.

Jika tak istimewa, untuk apa seorang raja besar seperti Hayam
Wuruk bersusah payah naik ke lereng gunung yang terjal hanya untuk
mampir dan bertemu para resi di sana? Sebagai kawasan suci,
pemerintahan Majapahit bahkan membebaskan para penghuninya



dari beban pajak yang harus dibayar ke kas kerajaan.

Batas pendakian

Ihwal keberadaan tinggalan bersejarah yang "berserakan" hingga
ratusan situs di Gunung Penanggungan itu sendiri baru diketahui pada
awal abad ke-20. Catatan para ahli menyebutkan, pada sekitar tahun
1920-an dikabarkan terjadi kebakaran hebat di lereng barat Gunung
Penanggungan. 'Hikmah' dari bencana tersebut adalah terkuaknya
puluhan situs arkeologi di kawasan itu.

Sedikitnya tercatat 81 candi yang bangunannya tergolong kecil-
kecil di lereng-lereng atas Gunung Penanggungan. Namun, dari jumlah
itu, sekarang tinggal 54 candi saja yang bisa dikenali. Dan dari
keseluruhan candi yang bisa dikenali tersebut dapat ditelusuri tidak
kurang dari 37 angka tahun, di mana 32 di antaranya berasal dari
angka tahun masa Majapahit.

Adalah WF Stutterheim(1925) yang pertama kali tercatat melakukan
eksplorasi kearkeologian di kawasan ini. Dia pula yang pertama kali
menjelaskan makna dari keberadaan Gunung Penanggungan dengan



sejumlah tinggalan purbakalanya bagi masyarakat Jawa kuno.

Akan tetapi, baru Daud Aris Tanudirjo yang mencoba mengaitkan
keberadaan situs Gunung Penanggungan dengan apa yang disebutnya
sebagai perwujudan dari gejala millenarisme. Munculnya gerakan-
gerakan keagamaan yang merindukan kembalinya "Zaman Bahagia"



pada masa itu cukup beralasan.

Kajian terhadap gerakan-gerakan keagamaan menunjukkan, gerakan
menuju "Zaman Bahagia" biasanya dipicu oleh adanya kondisi tertentu,
yang secara potensial mendorongnya muncul ke permukaan. Kondisi
dimaksud antara lain terjadinya peristiwa yang menggoyahkan sendi-
sendi kehidupan yang mapan.

"Suasana semacam ini memang terjadi pada masa Majapahit,
terutama setelah zaman keemasan di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-
1389)," kata Daud.

Dan memang, sepeninggal Hayam Wuruk, kemaharajaan Majapahit
terbelah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa
keluarga yang berebut kekuasaan. Percekcokan terus terjadi. Masing-
masing pihak dengan kelompok-kelompok pendukungnya saling meng-



galang kekuatan untuk merebut posisi-posisi kunci di kekuasaan. Rasa



permusuhan ditebar dan meluas, sehingga negeri pun kian tak terurus.

Perang antarketurunan Hayam Wuruk tak terhindarkan. Perseteruan
antara Wikramawardhana (suami Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk)
dengan Wirabbhumi (putra Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya)
memuncak dalam Perang Paregreg (1401-1406 Masehi).

Hasilnya? Majapahit kian lemah. Negeri kian tak terurus. Para
pejabat di lingkar kekuasaan "menernakkan" sifat aji mumpung. Konon,
korupsi pun merajalela, ikut merusak sendi- sendi kehidupan.
Majapahit benar-benar dalam kondisi krisis multidimensi.

Bertahun-tahun kondisi semacam itu dibiarkan terjadi, sampai
akhirnya negeri besar yang telah mempersatukan Nusantara itu runtuh
beberapa dekade menjelang abad ke-15 berakhir. Babad Tanah Jawi
mencatat, peristiwa memilukan dalam sejarah Majapahit itu ditandai
dengan sengkalan berbunyi sirna ilang kertaning bumi atau 1400 Saka
alias 1478 Masehi.

Sebuah petilan sejarah masa lalu sudah dibuka untuk di-"baca"
kembali. Ketika elite politik sibuk menumpuk kekuasaan dan korupsi
pun dibiarkan merajalela, millenarisme sebagai konsep dari gerakan
keagamaan sekalipun ternyata tak mampu mengangkat kembali "batang
yang terendam". Dan kita yang hidup di masa sekarang tentu tak ingin
Indonesia-yang boleh dibilang semacam "reinkarnasi" Majapahit di
masa silam-pada satu titik berhenti di batas pendakiannya!

Tidak ada komentar: