Kamis, 22 November 2007

Indonesia-Malaysia: Jangan Ambil Angklung Kami, Pakcik...


KOMPAS

Rabu, 14 Nov 2007

Halaman: 1



Indonesia-Malaysia
JANGAN AMBIL ANGKLUNG KAMI, PAKCIK...


oleh Kenedi Nurhan


Diplomasi kebudayaan dalam arti yang sesungguhnya terjadi pada
Minggu (11/11) malam di Kuala Lumpur Convention Centre. Dan itu
dilakukan dengan cerdik oleh seorang wanita yang bukan diplomat, tapi
oleh seniman yang sehari- hari adalah instruktur (musik) angklung.


Lewat pergelaran angklung interaktif pada salah satu sesi "Malam
Budaya Indonesia" di ibu kota negeri jiran tersebut, Ika Widyaningsih
dari Saung Angklung Mang Udjo mengajari para undangan dari Malaysia
tentang bagaimana seharusnya bermain angklung. Padahal, di Malaysia,
seni tradisi ini sudah diklaim sebagai musik nasional kerajaan dengan
label music bamboo malay dan (konon) tengah diupayakan untuk mendapat
pengakuan UNESCO.

Di antara tamu kehormatan yang hadir adalah Menteri Kebudayaan
Kesenian dan Warisan Nasional Kerajaan Malaysia Dato' Sri Rais
Yatim. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik, Dirjen Nilai
Budaya Seni dan Film Mukhlis PaEni, serta Halim Kalla dari Kadin
Indonesia Komite Malaysia ikutduduk mendampingi Dato' Sri Rais Yatim
dalam satu meja.

Sebelum "permainan" dimulai, pemain-pemain angklung dari Saung
Angklung Mang Udjo membagikan suvenir berupa sebuah angklung kepada
setiap penonton. Dari atas panggung, Ika dengan fasih menuntun mereka
bagaimana cara memegang dan membunyikan angklung yang benar. Dato'
Sri Rais Yatim bersama istri juga mengikuti peragaan Ika, yang
kemudian disusul instruksi tentang bagaimana posisi dan cara
menggerakkan angklung agar menghasilkan nada-nada dasar musik yang
diinginkan.

Sebagian besar undangan terlihat hanyut mengikuti instruksi Ika.
Mereka seperti menikmati permainan baru dari alat musik bambu yang
sederhana, tetapi sungguh menakjubkan karena ternyata mampu
menghasilkan nada-nada musik yang inspiratif dan menawan.

Awalnya, beberapa lagu dimainkan dengan tertatih-tatih. Sekitar
200 undangan semula kikuk memegang dan menggoyang-goyangkan alat
musik bambu tersebut. Beberapa di antaranya bahkan tampak frustrasi,
lalu meletakkan angklungnya di meja, sebelum akhirnya ikut
kembali "bergabung" sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Di sinilah kepiawaian Ika Widyaningsih sebagai instruktur. Berkat
pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai instruktur, Ika mampu
membangkitkan minat para "pembelajar" angklung untuk mengikuti
setiap gerakan jari tangannya guna menemukan nada yang pas, sesuai
irama lagu yang dimainkan.

"We are the best. Semoga dengan angklung persahabatan Indonesia-
Malaysia tetap jaya," kata Ika memuji, setelah lagu Falling in Love
dalam iringan musik angklung yang dimainkan secara interaktif itu
mengumandang, dan diakhiri aplaus meriah.

Bermakna ganda
Misi kesenian yang diusung lewat program "Jembatan Budaya
Indonesia-Malaysia" pada Minggu malam lalu sesungguhnya memiliki
makna ganda. Di satu sisi, "Malam Budaya Indonesia" itu sebagai
ungkapan persahabatan di antara kedua negara sebagai bangsa serumpun.
Di sisi lain-diakui atau tidak-misi kesenian Indonesiakali ini juga
untuk mengingatkan Malaysia pada etika dan nilai persahabatan yang
hakiki.

Tindakan Malaysia dalam beberapa waktu terakhir terhadap bangsa
Indonesia sempat menyulut sentimen negatif di Tanah Air. Hal itu
terjadi lantaran sikap dan/atau langkah yang mereka tempuh dirasakan
telah menyinggung harga diri dan martabat bangsa Indonesia.

Khusus di bidang kebudayaan, kegalauan itu dipicu klaim sepihak
Malaysia atas produk-produk budaya Indonesia. Dalam kasus pematenan
batik oleh Malaysia, misalnya, meski hanya menyangkut motifnya, citra
yang kemudian mendunia akhirnya bisa memunculkan anggapan bahwa batik
secara keseluruhan adalah milik Malaysia.

Begitu pun klaim Malaysia terhadap angklung, yang mereka pasarkan
lewat dunia perpelancongannya sebagai music bamboo malay. Bukan tidak
mungkin klaim ini akan meminggirkan posisi angklung di pergaulan
antarbangsa lantaran Indonesia bisa dianggap sebagai pengekor.

"Padahal, dari sejarah dan penelitian yang kami lakukan,
angklung benar-benar musik tradisi asli Indonesia," kata Satria
Yanuar Akbar, Direktur Operasi Saung Angklung Mang Udjo.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat.

Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup
sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus
padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun
ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada1908 tercatat
sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain
ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun
sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Mang Udjo-tokoh angklung yang mengembangkan
teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan
madenda-mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak
orang dari berbagai komunitas. Termasuk mereka yang berasal dari
Malaysia.

Kini, setelah Malaysia menyatakan angklung sebagai musik nasional
kerajaan, keinginan dari pemerintah negeri jiran itu untuk
mendatangkan instruktur dari Saung Angklung Mang Udjo terus
berdatangan. Dengan iming-iming gaji besar, mereka ingin agar
dibentuk komunitas music bamboo malay di sana, lalu minta juga
diajarkan bagaimana cara bermain angklung.

"Ika sebagai murid senior Mang Udjo beberapa kali ditawari
pindah ke Malaysia. Namun, hingga sejauh ini kami hanya memberikan
jawaban diplomatis: belum ada waktu. Kami sebetulnya juga ingin
menyebarkan angklung ke seluruh dunia. Tapi, pada saat bersamaan apa
tindakan pemerintah untuk memagari agar angklung tetap jadi milik
kita?" kata Satria.

Atau, boleh jadi pandangan Mang Udjo (alm) terhadap masa depan
angklung beberapa tahun lampau benar-benar akan jadi kenyataan.
Bahwa, "Mungkin bangsa yang dihargai (dunia) adalah yang memelihara
budaya, bukan yang menciptakannya". Jika itu yang terjadi, masih
pantaskah kita bersikukuh untuk berkata kepada Malaysia: "Jangan
ambil angklung kami, Pakcik.."

Tidak ada komentar: