Rabu, 18 Juni 2008

Arkeologi

KOMPAS
Jumat, 13 Juni 2008

Jejak Peradaban (2)
SITUS SANGIRAN DI TENGAH
KONFLIK KEPENTINGAN

Oleh Kenedi Nurhan dan Bambang Sulistyanto

KOENIGSWALD bukan sekadar ilmuwan pertama yang mencuatkan Sangiran sebagai situs manusia purba ke ranah perbincangan arekologi dunia. Bagi sebagian masyarakat Sangiran, GHR von Koenigswald tak ubahnya legenda hidup, yang meninggalkan ‘jejak’-nya hingga kini.

Ilmuwan asal Jerman itu memberi semacam pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil dan artefak purba. Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-tulang raksasa.

Bukan sekadar tulang, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkelindan dengan sistem kepercayaan yang dibungkus mitos mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto.

Para tetua kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.

Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis. Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung buto yang banyak banyak bermunculan di berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan—jarang diganggu oleh penduduk setempat.

Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah sirus Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan bebukit-bukit, memang tidak memungkinkan peneliti asing itu bekerja sendiri. Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald minta bantuan penduduk.

Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada penduduk yang menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan kelangkaannya. Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.

Begitulah! Bukan saja istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula, masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto, yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.

Awal konflik

Pergeseran makna magis ke ekonomis tersebut secara faktual adalah awal dari munculnya konflik kepentingan terkait keberadaan fosil-fosil di Sangiran. Koenigswald-lah yang memicunya. Boleh dibilang, dia adalah peletak dasar bagi perubahan sikap dan perilaku penduduk dalam memaknai keberadaan warisan budaya di Sangiran.

Hadirnya rombongan peneliti asing, yang diawali kemunculan Koenigswald, memunculkan perilaku baru di kalangan penduduk Sangiran, yakni berburu fosil untuk mendapatkan upah. Penduduk juga menginternasilasi pengetahuan tentang fosil: mana yang asli mana yang bukan, mana yang penting dan mana yang kurang berarti.

Tidak usah heran bila kebiasaan berburu fosil pada generasi masyarakat Sangiran menular secara turun-temurun. Generasi masyarakat Sangiran yang lahir di atas tahun 1930-an pun, yang sejak anak-anak telah menginternalisasi realitas obyektif melalui semacam proses sosialisasi dari lingkungan mereka, dan pada gilirannya ikut mewarisi perilaku baru tersebut.

Selama puluhan tahun, aktivitas pencarian fosil—baik untuk “membantu” kalangan ilmuwan maupun diperjualbelikan—terus berlangsung. Sepeninggal von Koenigswald, menyusul masuknya Jepang ke Indonesia pada Perang Dunia II, aktivitas pencarian fosil memang sempat terhenti.

Mas vakum ini tidak berlangsung lama, sebab di tahun 1950-an aktivitas pencarian fosil oleh Koenigswald dilanjutkan oleh lelaki bernama Toto Marsono. Kepala Desa Krikilan yang tak lain adalah tangan kanan von Koenigswald ini mengambil prakarsa pengumpulan fosil dengan cara membelinya dari penduduk. Saat ini Toto Marsono memang sudah meninggal, tetapi aktivitas pencarian fosil yang ia ”warisi” dari von Koenigswald masih terus berlanjut hingga hari ini.

Di sinilah muncul semacam ketegangan (baca: konflik), terutama antara nilai pelestarian warisan budaya dengan nilai ekonomis yang melekat pada fosil hasil temuan penduduk. Belum lagi terkait nilai kawasan ini dalam konteks ilmu pengetahuan untuk menguak sejarah panjang dari awal peradaban manusia.

Mulai dipermasalahkan

Meski secara faktual konflik kepentingan itu sudah muncul sejak kedatangan para peneliti asing ke Sangiran, ditandai upaya perburuan fosil sebanyak-banyak untuk ditukar dengan uang, namun secara sosial konflik tersebut baru muncul pada awal tahun 1970-an.

Ketegangan itu muncul dalam wujud tindakan pereventif pemerintah, pada sekitar tahun 1974, yang mulai aktif melaksanakan penyuluhan tentang pentingnya memelihara warisan budaya bangsa. Pada saat bersamaan, pemerintah pun mulai mempermasalahkan kegiatan eksploitasi fosil oleh penduduk.

Mereka yang menemukan fosil diimbau agar diserahkan kepada pemerintah melalui Balai Penyelamat Fosil yang dibangun di Desa Krikilan. Dalam perkembangan berikutnya, balai ini menjadi Museum Prasejarah Sangiran (1988), dan belakangan (2007) ditingkatkan lagi statusnya menjadi Balai Pelestarian Manusia Purba Sangiran.

Meski pemerintah menyediakan ganti rugi atas temuan fosil yang dinilai layak, dalam praktiknya tak semua fosil yang ditemukan penduduk diserahkan ke pemerintah melalui Museum Prasejarah Sangiran. Kebanyakan justru dijual ke tengkulak, dan oleh tengkulak “dipasarkan” ke luar melalui jaringan yang mereka miliki.

Rendahnya nilai ganti rugi oleh pemerintah, serta panjangnya rantai birokrasi yang berakibat pada lambannya ganti rugi bisa mereka terima, adalah penyebab utama mengapa tengkulak menjadi pilihan. Memang tak ada patokan pasti nilai ganti rugi fosil oleh pemerintah. Begitupun pada tengkulak. Besar-kecil “harga” yang ditetapkan sangat bergantung pada keutuhan dan kelangkaan fosil yang ditemukan.

“Bahkan kalau hanya berupa potongan-potongan fosil, apalagi yang biasa-biasa saja, pihak museum kerap tak mau menerimanya. Karena kesal, akhirnya temuan fosil utuh pun lebih banyak diserahkan ke tengkulak. Uangnya pun bisa langsung diterima,” ujar seorang penduduk Krikilan yang ditemui di sekitar museum.

Pengelolaan situs Sangiran tidak hanya dihadang konflik antara kepentingan pelestarian dengan kepentingan penduduk yang memanfaatkan kawasan ini sebagai bagian dari mata pencaharian. Konflik kepentingan juga melibatkan kalangan arkeolog dengan Pemerintah Kabupaten Sragen dan Karanganyar, yang secara administratif sebagai “pemilik” wilayah Sangiran.

Kasus pembangunan menara pandang untuk kepentingan pariwisata di Desa Pagerejo oleh Pemerintah Kabupaten Sragen, tahun 2002, telah memicu polemik terbuka dengan otoritas pengelola situs Sangiran sebagai Warisan Dunia. Begitupun rencana Pemerintah Kabupaten Karanganyar, yang berniat menjadikan wilayah Desa Dayu di Kecamatan Gondangrejo sebagai tempat pembuangan akhir sampah.

Meski untuk sementara konflik kepentingan yang muncul itu sudah mereda, namun benih-benihnya masih bisa berkecambah. Di sinilah pentingnya duduk bersama guna membicarakan berbagai hal. Termasuk di dalamnya menyangkut model pengelolaan “bersama” yang bersifat saling menguntungkan.





1 komentar:

Djoko Poetjoeng mengatakan...

sepertinya sistim upah dan ganti rugi sama saja dengan sistim jual ke tengkulak mas..harus ada sistim baru yang lebih bijaksana