Senin, 14 Januari 2008

Arkeologi

Kompas
Jumat, 8 Desember 2000

Situs Arkeologi (1)
MEMBURU JEJAK MANUSIA PURBA
DI TEPI KALI BAKSOKA

Oleh Kenedi Nurhan

LAGU Angin Paramaribo yang dilantunkan Didi Kempot terdengar
sayup hingga ke bilik-bilik rumah Pak Toesimin. Kabut tipis yang
turun perlahan dari perbukitan kapur di kawasan Pegunungan Seribu
masih mengambang di atas Desa Punung, Pacitan, Jawa Timur.

Namun, sepagi itu, hiruk-pikuk pedagang di pasar yang terletak di
jantung Desa Punung justru mulai mencapai puncaknya, karena hari
itu adalah hari pasaran utama; bertepatan dengan kalender
penanggalan Jawa yang jatuh pada Kamis Pahing bulan Jumadilawal.

Entah sejak kapan masyarakat Punung memutuskan bahwa setiap Kamis
Pahing adalah hari pasaran utama. Yang pasti, pada Kamis Pahing,
Jumadilawal--bertepatan 28 September 2000-pasar kecil Punung penuh
sesak. Jalanan pun macet, hingga membentuk antrean kendaraan
sepanjang hampir satu kilometer.

Persis di depan rumah Pak Toesimin, sejumlah pedagang menggelar
barang-barang jualannya hingga ke badan jalan, termasuk pedagang
kaset keliling yang sepagi itu memutar lagu-lagu keroncong pop Jawa
oleh penyanyi yang lagi naik daun: Didi Kempot!

Dalam iringan lagu berirama keroncong pop Jawa itulah Pak Rokhus
Due Awe keluar dari biliknya, lalu duduk menghadapi cangkang-cangkang
moluska (molusca) dan serpihan tulang-tulang kera (macaca) dari masa
prasejarah yang ditaruh persis di bawah sorot lampu meja 25 watt.
Mengenakan kemeja kerja berupa baju terusan warna putih seperti
yang biasa dipakai para dokter saat praktik, paleontolog otodidak-
khususnya tentang sisa-sisa fauna masa prasejarah-pensiunan dari
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) ini tampak tak
peduli dengan keriuhan di sekitarnya.
Suasana di luar, yang hiruk-pikuk berikut hamparan benda-benda
kekinian yang diwakili nyanyian Didi Kempot tadi, sungguh kontras
dengan aktivitas Pak Rokhus yang bergulat dengan masalah kelampauan.
Di ruang sebelahnya, dua kandidat doktor dari Intitut de
Paleontologie Humaine, Paris, Perancis (Florent dan Xavier), juga
tampak sibuk mengklasifikasi temuan-temuan terbaru hasil penggalian
arkeologis dari situs Song Terus, satu dari puluhan situs gua
prasejarah di wilayah Pacitan.
Di bilik-bilik rumah Pak Tosimin-yang dijadikan semacam base camp
oleh tim peneliti dari Puslit Arkenas yang dipimpin Dr Harry Truman
Simanjuntak setiap kali melakukan penelitian arkeologi prasejarah di
Pacitan-bertumpuk-tumpuk kotak berisi hasil temuan memenuhi ruangan.
Masing-masing kotak didaftar menurut jenis temuan, waktu dan asal
kotak penggalian, serta klasifikasi penanda lainnya untuk mempermudah
pemanfaatannya. Alhasil, sejak penelitian di wilayah ini dilakukan
secara intensif tahun 1990, rumah Pak Toesimin tak ubahnya seperti
museum prasejarah.
***

PUNUNG hanyalah satu titik kecil di tengah luasnya wilayah hunian
manusia purba di kawasan Pegunungan Seribu, yang oleh penduduk
setempat lebih dikenal dengan sebutan Gunung Sewu. Kawasan ini
merupakan bagian dari jajaran pegunungan selatan Jawa, membentang
sepanjang sekitar 85 kilometer; mulai dari Teluk Pacitan (Jawa Timur)
hingga ke Kali Oya (Gunungkidul, DI Yogyakarta). Dari garis pantai
Samudera Indonesia, lebarnya mencapai sekitar 25 kilometer, menempati
kawasan seluas sekitar 1.300 kilometer persegi.
Bentang alamnya sungguh khas, berupa ribuan bukit karst yang
terbentuk melalui proses erosi dan karstifikasi sejak akhir kala
pliosen (zaman dalam sejarah perkembangan kerak bumi) pada sekitar 2-
3 juta tahun lampau. Meski sebagian besar berupa bukit-bukit karst
yang tersusun oleh batu gamping koral, di beberapa tempat terdapat
cekungan yang membentuk dataran sempit, lembah, dan danau. Pada
sekitar 2 juta hingga 4.000 tahun lampau, kawasan yang kering dan
gersang ini masih tertutup hutan, dan danau-danau yang kini juga
kering kerontang itu masih berfungsi sebagai daerah tampungan air.
Kondisi geografis tersebut memungkinkan terbentuknya sungai-
sungai yang mengalir di sela-sela perbukitan, dan terkadang membentuk
sungai bawah tanah. Di bukit-bukit yang jumlahnya mencapai 40.000
buah itu pula terdapat banyak gua, tempat hunian manusia purba yang
masih menyisakan "jejak lengkap" kehidupan masa lampau.
"Bentang alam yang khas itu agaknya menarik manusia purba untuk
menghuni daerah ini sejak masa paling tua. Ini bisa dilihat dari
berbagai tinggalan prasejarah yang ditemukan, mulai dari corak budaya
paleolitik (zaman batu awal; 2 juta-10.000 tahun lalu) hingga ke masa
yang jauh lebih muda, yakni corak budaya paleometalik alias zaman
mulai dikenalnya peralatan dari logam pada beberapa ribu tahun lalu,"
kata Harry Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslit
Arkenas.
Di kawasan ini ada ratusan situs prasejarah, baik yang menempati
bentang alam terbuka maupun gua dan ceruk-ceruk di sisi-sisi bukit
karst. Sisa-sisa budaya masa lampau itu tersebar dalam berbagai
bentuk tinggalan, seperti artefak litik dan berbagai jenis peralatan
batu. Dari Kali Baksoka-sebuah situs industri paleolitik yang masih
berada di wilayah Punung-misalnya, ditemukan tipe-tipe pokok kapak
berimbas, kapak penetak, pahat genggam, proto kapak genggam, dan alat-
alat serpih.
Bahkan di Song Keplek, Song Terus (masih di wilayah Punung) dan
Gua Braholo (di Desa Semugih, Gunungkidul, DI Yogyakarta), ditemukan
sejumlah rangka manusia. Rangka-rangka manusia purba itu berada di
antara sejumlah temuan lain; mulai dari artefak yang bercirikan
alat-alat serpih hingga sisa-sisa fauna dalam berbagai ukuran.
Menilik berbagai bukti yang sudah dikumpulkan, tampak bahwa
tinggalan budaya prasejarah di wilayah Pacitan tidak terbatas pada
satu kesatuan waktu, tetapi merunut dan berkesinambungan. Jenis dan
ragam peralatan yang menunjang budaya masyarakat pendukungnya pun
amat kaya, tersebar luas di situs-situs terbuka dan tertutup seperti
di gua dan ceruk.
Menyimak itu semua, menjadi tidak berlebihan bila Truman
Simanjuntak sampai pada satu dugaan, "Bahwa dulu, di suatu masa pada
puluhan ribuan tahun lampau, kawasan Pegunungan Seribu barangkali
merupakan "ibu kota prasejarah". Kenyataannya memang daerah ini
merupakan the most prolific sites di antara situs-situs prasejarah di
kepulauan Nusantara."
***

KAWASAN Pegunungan Seribu, khususnya wilayah Pacitan-lebih khusus
lagi daerah sekitar Punung-di Jawa Timur, memang sejak lama dikenal
luas sebagai situs prasejarah penting. Sudah puluhan ribu artefak
terkumpul dari serangkaian hasil penelitian di wilayah ini, tersimpan
di berbagai instansi dalam dan luar negeri.
Pada awalnya, kekhasan perbukitan karst yang jumlahnya mencapai
puluhan ribu-berbentuk setengah bulatan atau kerucut-itulah yang
menarik perhatian para peneliti dibandingkan keberadaan situs-situs
prasejarahnya. Dalam catatan Truman Simanjuntak, daerah ini telah
dikunjungi oleh para naturalis sejak awal abad ke-19. Junghuhn (1936)
adalah naturalis pertama yang mendeskripsikan fenomena Gunung Sewu
alias Pegunungan Seribu. Setelah itu peneliti-peneliti lain turut
memberikan pandangan masing-masing tentang formasi karst tersebut,
seperti Van Dijk, Verbeek, dan Fennema.
Sejak itu, kawasan ini semakin menarik peneliti dari berbagai
disiplin ilmu, termasuk ahli-ahli prasejarah yang dimulai oleh Van
Stein Callenfels pada tahun 1927. Dalam laporannya (1932), Callenfels
menginformasikan keberadaan ratusan situs neolitik (zaman batu muda,
4.000-1.500 tahun lampau-Red) di sekitar Punung. Dalam penggalian di
beberapa tempat ia menemukan serpih-serpih "rijang" (bahan pembuat
beliung atau mata panah yang merupakan salah satu aktivitas pokok
budaya pendukung tradisi neolitik-Red). Temuan ini sangat berarti
bagi dunia arkeologi, karena mengindikasikan adanya situs industri
perbengkelan pada masa neolitik.
Namun, temuan yang dianggap paling spektakuler adalah ketika GHR
von Koenigswald bersama MWF Tweedie (1935) menemukan situs Kali
Baksoka, juga di daerah Punung (lihat: Mereka Berpesta di Kali
Baksoka). Hasil temuan mereka berupa aneka peralatan batu yang lebih
tua, yakni dari tradisi paleolitik; mulai dari alat-alat masif
seperti kapak berimbas, kapak penetak, pahat genggam dan alat batu
inti hingga alat-alat serpih-bilah. Bahan pembuat peralatan itu
umumnya menggunakan tufa kersikan (silicified tuff), gamping kersikan
(silicified limestone), di samping fosil kayu, batu kuarsa dan
beberapa jenis batu lainnya.
Penemuan yang diakui Koenigswald terjadi secara kebetulan itu
kemudian dipublikasikan dalam Bulletin Museum Raffles dengan
menyebutnya sebagai pacitanian, yang ia ambil dari kata Pacitan
sebagai kota terdekat dari lokasi temuan. Di kemudian hari, istilah
pacitanian yang dimunculkan Koenigswald-lalu dilengkapi HG Movius
(1944) yang melahirkan apa yang disebut tipologi pacitanian-ini
menjadi sangat populer di kalangan ahli prasejarah dunia untuk
merujuk industri paleolitik paling eksklusif di Indonesia tersebut.
"Sejak itu situs Kali Baksoka menjadi sasaran penelitian
berkelanjutan. Sangat banyak peneliti yang datang ke situs ini," kata
Truman seraya menyebut beberapa nama, seperti de Terra (1943), HG
Movius (1944), Van Heekeren (1972), GJ Bartsra (1976), dan RP Soejono
(1982). Kendati demikian, hingga sejauh itu mereka belum berhasil
menemukan sisa dari rangka manusia pengguna peralatan itu.
Jika Kali Baksoka sangat banyak menarik perhatian peneliti, tidak
demikian dengan situs-situs lain di kawasan ini. Ratusan situs gua
dan ceruk, serta puluhan situs lain yang tersebar di Pegunungan
Seribu seperti terlupakan, tertutup oleh popularitas dan "kebesaran"
nama pacitanian-nya Kali Baksoka yang telah mendunia.
Penelitian situs gua/ceruk memang telah dilakukan pertama kali
tahun 1936, yakni ketika Koenigswald meneliti sebuah ceruk di sisi
timur Gunung Cantelan. Dari ceruk ini ditemukan serpih-serpih batu
api, perkutro andesit, mata panah, perhiasan dari cangkang, dan gigi
manusia lepas. Penelitian berikutnya dilaporkan tahun 1954 di Song
Terus, tak jauh dari Punung, oleh RP Soejono dan Basoeki. Mereka
menemukan alat-alat neolitik dan mesolitik.
Setelah itu terjadi kevakuman yang cukup panjang. Penelitian
intensif terhadap situs-situs gua/ceruk sesungguhnya baru dilakukan
awal tahun 1990, dimotori oleh Bidang Prasejarah Puslit Arkenas
bekerja sama dengan Museum National d'Histoire Natutelle (Perancis).
Setelah hampir 10 tahun berselang, tim yang dipimpin Truman
Simanjuntak ini bukan saja mendapatkan temuan lain yang melimpah
dengan aneka artefak yang relatif masih bisa "dibaca", di beberapa
gua ditemukan juga rangka manusia purba dalam keadaan relatif utuh.
Gua dan ceruk ternyata merupakan ruang multifungsi bagi manusia
purba. Di Song Keplek dan Gua Braholo, misalnya, dari sisa aktivitas
kehidupan yang ditemukan paling tidak teridentifikasikan tiga fungsi
gua hunian. Selain sebagai tempat tinggal, gua atau ceruk hunian itu
juga sebagai lokasi kegiatan "industri" dan penguburan. Masing-masing
fungsi menempati lokasi berbeda, di mana tempat penguburan cenderung
berada di bagian yang agak terisolasi, biasanya di dekat dinding
gua.
Namun, khusus menyangkut manusia purba yang tinggal di gua atau
di ceruk-ceruk, Dr Harry Widianto punya teori yang lebih spesifik.
Setelah mengkaji ciri-ciri fisik rangka manusia purba dari Song
Keplek dan Gua Braholo, ahli paleoantropolog dari Balai Arkeologi
Yogyakarta ini sampai pada kesimpulan; mereka berasal dari ras
Austronelanesoid yang bermigrasi dari Asia Tenggara daratan pada masa
glasiasi akhir sekitar 11.000 tahun lampau.
Lalu, di mana posisi dan hubungannya dengan Homo sapiens serta
berbagai ras yang bermigrasi ke kawasan Nusantara, seperti ras Melayu
yang kemudian menjadi cikal bakal nenek moyang orang-orang Indonesia?


1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://arkeologi.infogue.com/memburu_jejak_manusia_purba