Kamis, 17 Januari 2008

Transmigran

Kompas
Jumat, 10 April 1992

Lebaran Sepanjang Batumarta-Ungaran (3-Habis)
DEWARUCI, TKI,
DAN TRADISI "MUDIK"



Oleh Kenedi Nurhan

BAGI orang Jawa, lakon Dewaruci tentang bagaimana kisah
Werkudara --juga dikenal dengan Bima-- berhasil menemukan air suci
sudah dikenal luas. Kesadaran Werkudara bahwa keperkasaan yang
dimiliki bukan segala-galanya, telah menghantarkan ksatria Pandawa
ini menemukan berkah dan rahmat Ilahi. Sumber air hidup itu tidak
berada di alam luar --tidak di atas gunung, di dalam gua di sebuah
hutan yang jauh, atau di dasar samudera seperti yang ditunjukkan
Durna-- melainkan ada dalam diri manusia itu sendiri.

Kesadaran inilah yang akhirnya melahirkan ketentraman batin
Werkudara. Bahwa untuk mencapai tingkat kesadaran itu manusia perlu
kembali pada dirinya sendiri guna mencapai kesempurnaan sejati. Di
sana, tatkala ia memasuki alam batinnya, muncul suatu kesadaran baru
bahwa hakikat hidup yang paling mendalam adalah manunggal dengan
yang Ilahi. Apabila manusia sampai pada batinnya sendiri, meminjam
istilah Franz Magnis Suseno, maka ia tidak hanya mencapai
kenyataannya sendiri melainkan kenyataan Ilahi.

Pandangan dan nilai yang terkandung dalam kisah Dewaruci ini,
meski tak terlalu identik, masih dianut oleh banyak pemudik ketika
mereka ingin menyatakan rasa syukur dengan cara berlebaran di
kampung halaman masing-masing. Ketentraman batin ini pulalah yang
acapkali mendasari sekaligus menjadi bagian tak terpisahkan dari
tradisi "mudik" dari tahun ke tahun.

SURYO (46), tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Madura,
sejak dua tahun terakhir bekerja sebagai buruh bangunan di
Kualalumpur, Malaysia. Bersama 14 rekan TKI lain yang tergabung
dalam kelompoknya, menjelang Lebaran tahun ini Suryo pulang kampung
guna merayakan Idul Fitri bersama istri dan anak-anaknya di tanah
air.

"Lebaran tahun lalu saya memang tidak pulang. Di sana, bersama
empat rekan TKI lainnya, di negeri orang itulah kami berlebaran.
Jauh dari kampung halaman, jauh dari anak dan istri," tuturnya
ketika berbincang dengan Kompas di atas geladak kapal penyeberangan
Bakauheni-Merak.

"Bagi kami uang tidak soal. Kami sengaja membeli seekor kambing
yang cukup besar untuk dibuat guling dan disate. Tapi toh hati ini
tetap merasa sepi. Batin terasa seperti ada yang kosong. Terus
terang, meski sudah setua ini, pada malam Lebaran, saat suara
takbir menggema, saya menangis sedih. Hati ini betul-betul merasa
tercabik, rindu pada kampung halaman."

Pertemuan Kompas dengan rombongan pemudik yang bekerja di
negeri jiran tersebut sesungguhnya terjadi secara kebetulan. Tiket
yang diperoleh dari "petugas" di loket bus simpang masuk menuju
daerah transmigrasi Batumarta --tempat perjalanan mudik lebaran ini
dimulai-- itu sedianya direkomendasi untuk naik PO Nusantara Grup.
Namun karena keluarga transmigran yang akan diikuti ke kampung
halamannya dinaikkan oleh "petugas" loket lainnya ke PO Tunas,
Kompas pun ikut-ikutan naik.

"Tidak masalah. Yang begini ini sih biasa," jelas mereka
setelah melakukan "pendekatan" dengan kondektur dan sopir bus PO
Tunas tujuan Solo yang segera membawa kami ke Semarang.

Dari pendekatan "bisik-bisik" dengan beberapa penumpang
diperoleh keterangan, sebagian dari mereka itu ternyata adalah TKI
yang sehari-harinya bekerja di Malaysia. Mereka berangkat dari
Kualalumpur seminggu sebelumnya, Senin (23/3), melalui pelabuhan
Batu Pahat. Dari sini perjalanan diteruskan dengan naik pompong ke
Tanjung Balai Karimun, untuk kemudian naik boat pancung menuju Riau
daratan. Di Pekanbaru, perjalanan panjang mudik lebaran ini baru
dilanjutkan ke Jawa menggunakan bus.

"Semua itu diatur oleh Pak Udin," ujar Saroji (25), TKI asal
Sampang, Madura, sembari menunjuk secara sembunyi-sembunyi seorang
lelaki tinggi kekar yang duduk di bagian depan. Sebagai "balas
budi", para TKI yang sebagian besar berasal dari Madura itu harus
menyetor Rp 550.000 per orang. "Kami tau-nya beres sampai ke
kampung," tambahnya. Di Kualalumpur, seperti juga Suryo dan rekan
seperjalanannya yang lain, Saroji mengaku bekerja sebagai buruh
bangunan dengan gaji 40 ringgit (sekitar Rp 30.000) per hari.

Akan halnya lelaki yang dipanggil Pak Udin, pembawaannya selalu
curiga. Dengan celana jeans dan T-Shirt katun warna hijau muda,
penampilannya cukup keren. Lebih-lebih bila orang melirik bandolan
kalung emas di leher serta dua cincin emas besar di dua jari
kirinya, kesan bahwa ia adalah "tuan besar" dari rombongan itu
semakin jelas. Bahkan saat bus istirahat di Cikampek pada Minggu
(28/3) dinihari sekitar pukul 03.00 WIB, orang yang disebut-sebut
Pak Udin itu menawari beberapa penumpang yang menjadi
"tanggungannya" untuk minum di sebuah kedai kopi pinggiran jalan.

***

MENGOREK keterangan dari mereka tidaklah mudah. Suryo, yang
secara tidak langsung bertindak sebagai pimpinan rombongan lainnya,
semula sempat bungkam saat ditanya kapan mereka berangkat dari
Malaysia.

Ayah dua anak kelahiran Madura yang sejak beberapa tahun
terakhir mengaku tinggal di Malang ini semula malah mengira Kompas
adalah petugas yang sedang menyamar. Baru setelah diyakinkan dengan
kebohongan, bahwa orang yang tengah mengajaknya bicara hanyalah
mahasiswa biasa yang akan berlebaran di Semarang, baru obrolan
berkembang. Bahkan dia menyodorkan alamatnya di Malaysia. "Kalau
suatu saat ke Malaysia cari saja Bapak di alamat ini."

Sebagai buruh bangunan yang cukup berpengalaman, setelah
sekitar dua tahun tinggal di negera tetangga itu, Suryo mengaku
berpenghasilan 50 ringgit per hari. "Kalau dinilai dengan uang kita,
ya, kira-kira Rp 40.000," jelasnya seraya menyebutkan bahwa jenis
pekerjaan yang ditekuninya saat ini adalah mem-plester bangunan.
"Tapi kalau cuma merekat batu bata dengan adonan semen, gajinya
hanya antara 30-40 ringgit per hari," tambahnya.

Katanya, tidak gampang untuk bisa sampai ke Malaysia. Ada
banyak "pos" yang harus dilewati, sehingga butuh biaya cukup besar.
Setelah mengkalkulasi sederet angka berikut pengeluaran untuk
masing-masing "pos" yang harus diselusupi hingga sampai ke pelabuhan
Batu Pahat di Johor, Suryo sampai pada kesimpulan bahwa calon
pencari kerja sedikitnya mesti siap uang Rp 350.000.

"Soal pekerjaan gampang. Apalagi kalau Mas bisa nyetir mobil,
paling sedikit gajinya 50 ringgit per hari. Pokoknya, serendah-
rendahnya gaji di sana kita masih dapat menyimpan uang Rp 400.000
setiap bulan," simpulnya.

***

MESKI dari paparan Suryo penghasilan para TKI itu cukup besar
dibanding pekerja harian di tanah air, namun sikap dan penampilan
mereka kelihatan tak lebih baik dibandingkan buruh harian di
berbagai kota di tanah air. Tak tampak kesan bahwa mereka adalah
pekerja "sukses". Pakaian mereka lusuh. Bahkan dari sandal jepit
kotor yang mereka pakai pun mencuatkan kesan bahwa rombongan ini tak
ubahnya kelompok transmigran kebanyakan yang juga tengah mudik
Lebaran.

Saroji sendiri mengaku harus mengirit agar tidak kehabisan
bekal selama di perjalanan. Ini antara lain terlihat dari pilihan
tempat dan menu makanan jika bus yang kami tumpangi istirahat, baik
di Kotabumi (Lampung Utara) maupun pada sebuah rumah makan di KM-18
Cirebon. Sedangkan di terminal-terminal yang dilewati, jangankan
untuk turun berbelanja, para penjaja makanan yang mengerubuti bus
pun tampak dibuat kesal karena jika tak terlalu terpaksa nyaris tak
ada penumpang yang membeli.

"Sebagian dari penghasilan mereka sebetulnya sudah dikirim ke
kampung halaman masing-masing. Yang ada pada mereka sekarang memang
cuma bekal secukupnya selama di perjalanan," ucap Suryo. Ketika
ditanya apakah usai Lebaran mereka akan kembali, seperti koor
panjang mereka sepakat menjawab dengan anggukan.

"Kami pulang hanya untuk berlebaran. Setelah itu kami akan
mencari modal lagi agar bisa kembali. Ya, barangkali satu atau dua
minggu kemudian," ujar salah seorang dari mereka saat tidur-tiduran
di atas aspal pinggir jalan raya Cikampek, ketika bus yang kami
tumpangi istirahat pada Minggu (29/3) dinihari.

Tampaknya tradisi mudik pada setiap Idul Fitri telah begitu
lekat dalam diri mereka. Pada saat itu, kata "pulang" telah menjadi
semacam tuntutan batin. Pemenuhannya hanya bisa didapatkan tatkala
berada di kampung asalnya, tempat mereka bisa menemukan jati diri
masing-masing.

Di sanalah "air suci" dalam lakon Dewaruci itu seolah mereka
temukan. Seperti halnya kesadaran Werkudara, ternyata sumber air
hidup memang tidak berada di alam luar. Tidak juga di negeri tempat
mereka bisa meraup ringgit demi ringgit, tetapi ada dalam diri
sendiri, ada dalam batin mereka. Perjalanan mudik sebetulnya dalah
perjalanan spiritual.

Tidak ada komentar: