Minggu, 13 Juni 2010

Muara Enim

Potensi Kepariwisataan
di Muara Enim

• Wisata Pedesaan dan Rekayasa Budaya: Sebuah Gagasan

Oleh Kenedi Nurhan

Menjelang pergantian abad lalu, di saat jutaan orang dengan penuh harap dan cemas berdiri di tubir zaman menyambut kehadiran milenium baru, milenium kedua di awal abad ke-21, kawasan pegunungan dan hutan hujan tropis Peru di Amerika Selatan tiba-tiba jadi begitu terkenal. Para petualang dari berbagai belahan dunia berduyun-duyun datang ke sana, mencari sesuatu yang lebih bersifat metafisik, yakni suatu jalan yang akan menuntun mereka menemukan kebenaran kosmis dan proses transformasi spiritual.

Adalah James Redfield lewat The Celestine Prophecy (Manuskrip Celestine) yang jadi pemicunya. The Celestine Prophecy adalah novel pertama dari trilogi kisah pencarian spiritual yang bertumpu pada keaslian alam yang digarap Redfield, sebelum ia menulis dua novel lainnya: The Tenth Insight (Wawasan Kesepuluh); dan The Secret of Shambhala: In Search of the Eleventh Insight (Rahasia Shambhala: Mencari Wawasan Kesebelas). Sejak itu, hutan hujan tropis Peru tidak saja jadi pusat perhatian mereka yang mulai bosan dengan keriuhan dunia yang serba matrialistik, tapi juga diyakini memendam "kekuatan" luar biasa, yang memberi kemungkinan bagi para pencari wawasan dan energi baru untuk memahami makna kehidupan sesungguhnya di milenium kedua ini.

Novel The Celestine Prophecy itu sendiri berkisah tentang proses pencarian Sembilan Wawasan Kehidupan. Melalui kisah penemuan manuskrip kuno dari masa 600 sebelum Masehi di pedalaman hutan dan pegunungan di Peru, pembaca diajak untuk menelusuri satu demi satu dari sembilan wawasan yang termuat dalam manuskrip, bagai mengupas lapisan bawang sebelum sampai dan menemukan intisarinya.

Berkat kepiawaian Redfield bertutur dan memberi gambaran detail tentang hutan hujan tropis di Peru, yang dipadukan dengan perjalanan spiritual tokoh-tokoh cerita rekaannya itu, rasa ingin tahu banyak orang pun muncul. Lalu, berduyun-duyunlah para petualang memasuki hutan-hutan lebat di sana, terlibat dalam apa yang disebut Redfield sebagai parabel petualangan sambil berwisata, sekaligus menikmati proses kembali ke alam dalam pengertian yang sesungguhnya.

“Ramalan” John Naisbitt dan istrinya Patricia Aburdene (Megatrends 2000) yang mengkonstantir bahwa menjelang abad ke-21 umat manusia akan lebih menitikberatkan pada dimensi spritual menemukan pembenarannya. Dalam The Celestine Prophecy, fenomena kebangkitan spritualisme baru itu ditandai romantisme untuk kembali ke alam, di mana alam dengan segala misteri yang dikandungnya dijadikan semacam wahana sekaligus titik keberangkatan dalam pencarian jatidiri.

Dalam konteks perbincangan kita hari ini, kesadaran baru semacam itu ternyata memberi dampak positif pada dunia kepariwisataan. Ada pelajaran berharga yang patut dipetik. Bahwa, daya tarik alam dan lingkungan tidak semata ditafsir dalam arti sempit: hanya berkutat pada hamparan pasir pantai yang putih, alam pengunungan yang elok, keindahan bawah laut dengan aneka jenis terumbu karang berikut keanekaragaman biota lautnya, ataupun eksotisme budaya masyarakat di satu destinasi wisata. Daya tarik alam dan lingkungan ternyata bisa didekati (baca: dijual) dari dimensi lain, yakni lewat pemaknaan baru dengan menghadirkan “cerita” berikut petualangan tokoh-tokoh parabelnya dalam merajut hubungan antarsesama manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta alam semesta.

Dalam kasus Indonesia, sebelum kemunculan novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata, rasanya nama Pulau Belitung (juga Bangka) tidak banyak dikenal orang selain sekadar pulau penghasil lada dan timah. Akan tetapi, setelah novel pertama dari tetralogi-nya Andrea Hirata [tiga buku lain: Sang Pemimpi (2007), Endesor (2007), dan Maryamah Karpov (2008)] lewat perjalanan hidup tokoh Ikal yang merepresentasikan biografi penulisnya itu sukses di pasaran, persepsi dan pandangan banyak orang terhadap Pulau Belitung ikut bergeser. Belitung ternyata tidak sekadar timah dan lada, tetapi juga ada keindahan yang selama ini seolah tersembunyi berikut “sisa peradaban timah” dengan kelas sosialnya yang pantas ditoleh dan ditengok.

Lebih-lebih setelah Laskar Pelangi diangkat ke layar lebar oleh sineas Mira Lesmana, dengan judul yang sama, keindahan pantai dengan pasir putih berikut batu-batu besar yang terserak di sana tervisualisasikan lebih nyata melalui gambar hidup. Terlepas dari isi cerita novel dan film Laskar Pelangi yang lebih subtil; berbicara tentang situasi pendidikan dan kehidupan sosial masyarakat setempat yang timpang saat timah lagi jaya, sejak itu Belitung makin dikenal justru berkat hamparan pantai pasir putih dan batu-batu besarnya di kawasan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Paling tidak, daya tarik pulau ini yang dihadirkan lewat novel dan film Laskar Pelangi tersebut telah menggugah minat banyak wisatawan lokal untuk berkunjung ke Belitung.

Menikmati Kopi Semendo

Fenomena kepariwisataan yang dipicu oleh kisah rekaan dalam sebuah novel, sebagaimana dua contoh kasus di atas, sesungguhnya bisa jadi semacam inspirasi untuk mengembangkan potensi kepariwisataan yang ada di Kabupaten Muara Enim. Dalam wujud yang berbeda, Muara Enim memiliki cukup banyak potensi yang bisa dikemas untuk ditawarkan sebagai daerah baru tujuan wisata di Tanah Air. Tanpa harus didahului ada buku atau film yang—disengaja atau tidak—“mempromosikan” daerah ini, tanpa mesti diawali “penciptaan” obyek-obyek baru yang berorientasi proyek, langkah ke arah itu tetap bisa dilakukan dengan memberi sedikit sentuhan dan pencitraan baru terhadap obyek-obyek wisata potensial yang sudah ada.

Memang tidak bisa dipungkiri potensi kepariwisataan yang ada di kabupaten ini sesungguhnya juga dimiliki oleh daerah-daerah lain, tetapi hal itu tidak berarti Muara Enim kehilangan daya saing dan daya tarik. Bukankah salah satu alasan utama orang mendatangi suatu obyek wisata adalah terkait faktor keunikan dan suasana baru dan berbeda yang ditawarkan? Berangkat dari kesadaran semacam ini, berarti harus ada upaya “menciptakan” keunikan itu dan bagaimana menghadirkan suasana baru yang membuat wisatawan merasa berada di lokasi yang berbeda dibandingkan daerah tujuan wisata lainnya. Di sinilah perlu sentuhan kecil melalui apa yang disebut proses rekayasa yang bersifat positif, termasuk rekayasa budaya di lingkungan daerah sasaran.

Sejarah mencatat, Muara Enim sudah sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil kopi (Semendo atau Semende), minyak dan gas bumi (Prabumulih dan Pendopo), serta batubara (Tanjung Enim). Tahun 1990, dalam suatu napak tilas menelusuri catatan Tobrink (1864), Knapp (1902), Westenenk, Bosch, dan F Schnitger, tim dari Pusat Arkeologi Nasional menemukan kembali bekas reruntuhan candi di Bumiayu (Tanah Abang), dan kini sebagian dari reruntuhan itu sudah dipugar ulang. Muara Enim juga punya obyek wisata alam air terjun Curug Tenang di Desa Bedegung (Semendo) dan Curug Ambatan (Tanjung Agung), serta wisata arung jeram di Sungai Bedegung.

Melalui pendekatan khusus, obyek-obyek di atas bisa dijadikan tujuan wisata andalan Muara Enim melalui model pengemasan dalam satu paket menarik. Salah satu gagasan yang ditawarkan di sini adalah dengan mengawalinya sebagai bagian dari apa yang disebut wisata pedesaan. Konsep yang paling pas adalah dengan menerapkan model home-stay, rumah tinggal, yang melibatkan keikutsertaan aktif masyarakat setempat. Model ini diharapkan menghasilkan dua tujuan sekaligus: menjadikan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah tujuan wisata, sekaligus melibatkan peran serta dan atau pemberdayaan masyarakat.

Daerah Semendo yang beriklim sejuk dengan daya tarik tanaman kopi arabika-nya yang khas itu pantas dipertimbangkan sebagai pusat pengembangan (baca: percontohan) wisata pedesaan di Kabupaten Muara Enim dengan model home-stay. Menikmati istimewanya harum aroma bunga kopi di pagi dan sore hari niscaya merupakan pengalaman tak terlupakan bagi para wisatawan. Itu baru satu hal. Kehidupan sosial-budaya masyarakat Semendo yang masih memegang teguh adat istiadat dalam keseharian mereka, termasuk adat tunggu tubang-nya, adalah nilai lebih yang bisa dihadirkan sebagai kelengkapan sajian bagi wisatawan. Melibatkan mereka dalam pembuatan barang-barang kerajinan, taruhlah seperti membuat anyam-anyaman macam berunang yang terbuat dari bambu sebagai tempat menampung kopi, juga sensasi lain yang tidak kalah menarik bagi masyarakat kosmopolitan.

Di bawah udara perbukitan yang sejuk, wisatawan bisa diajak menikmati keindahan air terjun Curug Tenang di Bedegung, atau berjalan-jalan (tracking) di jalur khusus yang sengaja dipersiapkan untuk kepentingan menarik wisatawan. Bekerja sama dengan PT Bukit Asam, bisa juga dirancang suatu paket kunjungan ke lokasi tambang batubara di Air Laya, Tanjung Enim, untuk memperkenalkan dari dekat sejarah dan proses penambangan “emas hitam”. Kota Tanjung Enim itu sendiri adalah monumen hidup yang bisa dijadikan obyek wisata sejarah tentang proses terbentuknya suatu kawasan berkat kehadiran aktivitas tambang.

Obyek-obyek kunjungan tadi sifatnya hanya pelengkap. Adapun sajian utama paket wisata pedesaan yang layak dikembangkan di Semendo sebagai daya tarik justru pada “penciptaan” kegiatan pelibatan wisatawan agar mereka bisa merasakan bagaimana sensasi menjadi “petani kopi”. Bukan sekadar penikmat kopi, tapi juga mengalami (walau hanya sesaat: satu-dua hari) berada di kebun kopi. Wisatawan bisa diajak menanam bibit kopi di lokasi percontohan yang sengaja dipersiapkan untuk kepentingan turistik; menyiangi daun dan rerantingan, serta bagaimana memperlakukan tanaman kopi, memetik buah kopi yang sudah matang, hingga diajak menjemur dan memprosesnya secara tradisional untuk dijadikan bubuk kopi yang siap diseduh dan dihidangkan.
Pada malam hari, sesudah makan malam, sembari menikmati sajian kopi khas Semendo, kesenian tradisi yang hidup dan berkembang di Kabupaten Muara Enim (tidak mesti dari Semendo) bisa ditampilkan sebagai suguhan atraktif menjelang istirahat. Waktu 2-3 hari rasanya tidak akan terasa membosankan, bahkan mungkin terlalu pendek dirasakan oleh wisatawan untuk menikmati uniknya “petualangan” singkat di Bumi Serasan Sekundang ini.

Namun, untuk mewujudkan gagasan ini tantangan terbesarnya adalah pada penyiapan sikap dan cara hidup masyarakat yang akan dijadikan daerah tujuan wisata itu sendiri. Menyiapkan lokasi dan tempat home stay tidak terlalu sulit. Pemerintah kabupaten bisa membantu mengalokasikan sedikit dana untuk membenahi rumah-rumah penduduk yang siap dijadikan rumah tinggal bagi calon wisatawan. Termasuk di dalamnya pengadaan sanitasi yang sehat serta tambahan pendidikan dan keterampilan penyediaan makanan yang higienis. Boleh juga membangun rumah-rumah khusus, tetapi jangan terkesan eksklusif, mesti merupakan bagian dari perkampungan. Persoalannya, sudah siapkah masyarakat menerima kehadiran “orang asing” dan memperlakukan para wisatawan itu sebagai bagian dari mereka, sekaligus sebagai tamu yang harus di-“open”-i? Di sinilah tugas pemerintah menunggu.

Jejak Peradaban

Sejarah tentang peradaban umat manusia selalu menarik dan menggugah minat orang untuk mengetahuinya. Tidak heran bila peninggalan sejarah dalam berbagai wujud dan dimensi kegunaannya selalu mendapat tempat dalam dunia kepariwisataan dunia. Sisa-sisa puing bangunan dari masa kejayaan Romawi misalnya, sengaja dipertahankan sebagai bagian dari “atraksi” wisata. Bukan terutama semata karena bentuknya, tapi lebih karena makna kesejarahan yang dikandungnya. Pemerintah Jerman—sekadar menyebut satu contoh kasus—bahkan sengaja membangun ulang kawasan Nikolaiviertel di jantung Kota Berlin, yang porak poranda akibat Perang Dunia II, persis aslinya hanya untuk menandai bahwa di sanalah cikal bakal kota ini ada dan bermula dengan sederet bangunan gaya Romantik dari Abad Pertengahan.

Dalam wujud yang berbeda, sejarah tentang peradaban umat manusia juga bisa ditelusuri jejak-jejaknya di wilayah Kabupaten Muara Enim. Temuan sumur minyak di wilayah Benakat (1870) dan Suban Jeriji (1901) adalah jejak awal industri minyak dan gas bumi di Tanah Air, yang harus diakui telah ikut mewarnai peradaban baru industri-kapitalis dunia. Sejak itu, satu demi satu ladang minyak baru ditemukan di wilayah ini, termasuk di daerah Talang Ubi, Pendopo, yang hingga kini masih beroperasi.

Sebagai bagian dari sejarah peradaban umat manusia, daerah-daerah temuan ladang minyak itu—terutama sumur-sumur yang sudah ditinggalkan, tidak lagi beroperasi—sesungguhnya dapat dikembangkan sebagai obyek wisata khusus. Memang butuh persiapan dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Akan tetapi, ini peluang yang mestinya bisa ditangkap. Jika dikemas dengan baik, khususnya menyangkut bagaimana menghadirkan kisah-kisah penemuan ladang-ladang minyak itu berikut bukti-bukti “arkeologis” yang masih bisa dihadirkan sebagai bagian dari sejarah peradaban bangsa, bukan tidak mungkin “potensi tidur” ini bisa menjadi bagian dari paket wisata menarik di Kabupaten Muara Enim.

Jejak peradaban yang sesungguhnya jauh lebih menakjubkan adalah temuan situs sejarah di wilayah Desa Bumi Ayu. Lebih 20 tahun lalu, dalam sebuah ekspedisi oleh tim kecil dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menapaktilasi catatan Tobrink (1864), Knapp (1902), Westenenk, Bosch, dan F Schnitger tentang tinggalan arkeologi di Sumatera Selatan, di mana penulis berkesempatan ikut di dalamnya, tim hanya menemukan sisa-sisa batu bata dan serpihan antefix (simbar) untuk bagian sudut dan tengah candi, serta sepotong kemuncak yang biasanya ditempatkan pada bagian atap candi di sebuah gundukan tanah yang di atasnya berdiri kantor kepala desa setempat (Kompas, 5 Agustus 1990). Setelah melalui serangkaian penelitian lanjutan, sebagian dari sisa-sisa reruntuhan candi bercirikan perpaduan Hindu-Budha itu kini sudah dipugar. Memang masih jauh dari sempurna. Infrastruktur pendukung yang ada pun belum memadai. Akan tetapi setidaknya tapak sejarah peradaban masa lampau tersebut sudah bisa dijadikan aset wisata budaya.

Meski belum sebanding dengan keberadaan Borobudur dan Prambanan, juga masih kalah populer daripada kompleks percandian di Muara Jambi di Provinsi Jambi, bagaimanapun, jejak peradaban di tepian Sungai Lematang ini memiliki nilai historis yang layak dikedepankan. Bukan tidak mungkin apa yang disebut-sebut sebagai perguruan tinggi Syakiyakirti—tempat ribuan mahasiswa yang ingin memperdalam ajaran agama Budha dari berbagai belahan dunia, di samping Nalanda, India—yang sangat tersohor di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu justru lokasinya adalah bekas reruntuhan temuan candi di Bumiayu tersebut. Mengingat luasnya cakupan wilayah situs candi di kawasan ini, dibarengi asumsi bahwa keberadaan kampus tempat mendidik calon-calon pemimpin spritual mestinya ada di lokasi yang tenang dan jauh dari keriuhan pusat perdagangan di ibu kota Sriwijaya (baca: Palembang), keberadaan sejumlah bangunan pendukung yang terpencar-pencar di kawasan situs ini boleh jadi adalah asrama para biksu dan pelajar yang tengah menuntut ilmu,

Dengan dukungan fakta dan bukti-bukti arkeologis, persoalannya tinggal bagaimana menempatkan hasil rekonstruksi sejarah masa silam itu dalam bingkai cerita masa kini yang menarik. Sebagai obyek wisata budaya, sesungguhnya bukan semata-mata nilai fisik bangunan sejarah itu sendiri yang menarik untuk diketahui dan dikunjungi, tetapi tidak kalah penting adalah nilai ekstrinsiknya berupa pemaknaan atas fisik bangunan. Tanpa pemaknaan atas obyek sejarah yang ingin dipromosikan, tanpa ada upaya untuk meletakkan obyek-obyek tersebut dalam pesan yang sengaja direkonstruksi dan diaktualkan dengan kondisi masa kini, maka keberadaan sisa-sisa peradaban masa lampau itu tidak ubahnya sekadar lukisan sejarah yang hampa makna kesejarahannya.

Epilog

Berangkat dari kesadaran bahwa potensi kepariwisataan di Muara Enim tidaklah terlalu istimewa, dalam arti apa yang ada di daerah ini sesungguhnya juga ada tempat lain, maka harus ada upaya untuk menghadirkan nilai lebih terhadap potensi-potensi yang dimiliki tersebut. Persoalannya adalah bagaimana menghadirkannya agar menjadi lebih menarik, unik, dan khas, sehingga layak untuk dikunjungi.

Dalam konteks ini, dua contoh kasus di awal tulisan ini menjadi relevan untuk dipikirkan lebih lanjut. Mencermati fenomena di kalangan para pelancong yang tidak semata-mata berpergian untuk mendatangi obyek-obyek wisata alam yang serba eksotik, atau mendatangi kota-kota besar tertentu untuk berbelanja aneka produksi industri kapitalistik sekadar memuaskan nafsu konsumtif mereka, tetapi di sisi lain tidak sedikit wisatawan yang lebih berorientasi untuk mencari pengalaman baru di tengah atmosfer alam kehidupan yang berbeda. Kemunculan para backpackers, yang mendatangi tempat-tempat terpencil dengan modal seadanya hanyalah salah satu contoh. Namun, tidak sedikit di antara orang-orang yang mapan juga mulai menyukai wisata petualangan hanya untuk mendapat sesuatu yang baru di luar kebiasaan wisatawan kaya pada umumnya. Bersama keluarga atau kerabat dan teman-teman sepandangan, mereka mendatangi titik-titik tujuan wisata yang tidak umum, bahkan hingga ke tempat-tempat terpencil sekalipun.

Wisata pedesaan yang dikemas dalam paket-paket kecil, seperti gambaran di atas, barangkali bisa mewadahinya. Di luar pengembangan obyek-obyek wisata yang sudah masuk dalam perencanaan selama ini, pengembangan wisata pedesaan yang berbasis masyarakat rasanya juga layak dikembangkan di Kabupaten Muara Enim. Potensi itu ada, tinggal memberi sedikit sentuhan dan tambahan infrastruktur yang memadai. Sesudahnya? Tinggal menggarap model pemasaran yang cocok untuk jenis kepariwisataan semacam ini. ®

Tulisan ini disajikan dalam "Seminar Wisata dan Investasi (di) Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 10 Juni 2010, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta.

3 komentar:

TONGKAT GURAH VAGINA mengatakan...

Bagus pak infonya...
Oiya sekedar kasih info pak kini telah hadir obat tradisional tanpa efefk samping.

sanggam tobing mengatakan...

Orang Semendo terkenal fanatik bertani kopi. Sayang harga kopi yg sering jatuh membuat fanatisme itu hilang, terpaksa cari pekerjaan lain atau ganti tanaman

Unknown mengatakan...

assalamualaikum ...
pak boleh gak, artikel bpak saya gunakan ?