Rabu, 19 Agustus 2009

WIALAYAH PERBATASAN

KOMPAS
Rabu, 12 Agustus 2009

Nasionalisme di Tapal Batas
TAK INDONESIA HILANG DI HATI

Oleh Kenedi Nurhan


Sri Mersing lagulah Melayu
Dinyanyikan anak tanah seberang…


Senandung lagu Sri Mersing terdengar sayup. Di Nongsa, pada malam berawan cerah di penghujung Juli lalu, seberkas cahaya keperakan tampak timbul-tenggelam di laut lepas, bagai dipermainkan ombak Selat Melaka yang terlihat hitam. Dari kejauhan, senandung lagu Melayu klasik yang berkisah tentang cinta dan kesepian itu masih saja terdengar. Sendu!

Leman (41) duduk termangu dengan segelas kopi di tangan. Pandang
matanya lekat menatap gemerlap cahaya yang berpendar di seberang lautan.

“Itu Singapura. Kalau langit cerah seperti sekarang, memandang
gemerlap cahaya dari ‘Negeri Pulau’ di tanah seberang itu
kadang-kadang bisa jadi semacam pengobat kegelisahan hidup
sehari-hari yang kian berat dan melelahkan,” kata Leman, pekerja di
satu industri manufaktur di Pulau Batam, saat ditemui sedang duduk
santai di kawasan pantai Nongsa di belahan utara Batam, minggu
ketiga Juli 2009.

Sejurus Leman (41) terdiam. Ia terbuai akan masa kecilnya. Gemerlap
cahaya lampu yang berpendar dari negeri di seberang lautan itu
tiba-tiba mengingatkan Leman pada ribuan cahaya kunang-kunang
yang kerap hingga-bergelayut di rerimbunan bakau tak jauh dari
kampung halamannya, sebuah desa nelayan di Pulau Lingga.

“Kunang-kunang paling suka bertengger di pohon teruntum,” kata
Leman. Celakanya, kini pohon teruntum yang dulu banyak tumbuh
di kawasan hutan bakau di Kepulauan Riau sudah kian menipis.
“Kata orang, habis diangkut ke seberang selat, bersama pasir-pasir
yang dikeruk untuk menambah luas negeri mereka,” tambahnya.

Masih ketinggalan

Tentu saja kunang-kunang dari masa kecil Leman (nama sebenarnya
adalah Sulaiman) tidak bermetamorfose menjadi gemerlap cahaya
keperakan di negeri pulau itu, mengikuti pohon-pohon teruntum yang
diangkuti ke sana. Juga bukan jelmaan jutaan kubik pasir yang dikeruk
dari pulau-pulau di kawasan ini untuk aktivitas pembangunan di negara
tetangga tersebut, lalu seperti berterbangan di langit malam terkena
pantulan sinar bulan atau bintang.

Bukan! Cahaya keperakan yang terpancar dari gedung-gedung
bertingkat di Negeri Pulau itu menyiratkan kemajuan sebuah
peradaban. Singapura adalah kota paling atraktif di Asia Tenggara.
Sementara di kampung Leman di Pulau Lingga, juga di ratusan pulau
berpenghuni lainnya di wilayah Kepulauan Riau—di luar Batam dan
kawasan eksklusif di bagian utara Bintan—waktu seperti berhenti.

Jangankan di kampung-kampung nelayan, infrastruktur pembangunan
di Daik sebagai ibu kota Kabupaten Lingga saja masih jauh ketinggalan
dibandingkan kota-kota kecamatan di Pulau Jawa. Satu-satunya
bangunan baru yang relatif bisa dikedepankan hanya kantor bupati.
Itu pun sangat sederhana.

Memasuki kota Daik, mereka yang tahu bahwa di sinilah dulu pernah
berdiri pusat kekuasaan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Bintan-Johor-
Pahang niscaya akan terperangah. Kecuali bekas reruntuhan Istana
Damnah di pinggiran kota Daik, serta Mesjid Sultan di ‘pusat kota’ yang
masih berdiri, jejak kejayaan masa silam itu sudah hilang ditelan waktu.

Kota Daik tak ubahnya seperti pedukuhan di Jawa. Hanya berupa
kumpulan rumah panggung yang berdiri di atas rawa. Tak ada
kendaraan angkutan umum kecuali ojeg sepeda motor. Tak ada tempat
belanja kecuali warung-warung kecil di pinggir jalan. Rumah makan
hanya berupa kedai kecil. Penginapan yang tersedia pun amat
bersahaja, dengan bonus penerangan listrik yang kerap mati tiba-tiba.

“Tidak tahu, ya, Pak. Dibilang nelayan bukan, petani juga bukan.
Sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari masih didatangkan dari
luar,” kata Muhamad Nur Usman (49), warga Daik, ketika ditanya
jenis mata pencaharian masyarakat Pulau Lingga.

Laut dan selat

Tidak seperti di Kalimantan, Papua, dan NTT, garis perbatasan
Indonesia di wilayah Kepulauan Riau dengan empat negara tetangga
(Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand) hanya berupa laut dan
selat. Tak ada patok-patok di tapal batas antarnegara, sehingga apa
yang disebut perbatasan—terutama bagi masyarakat yang mendiami
kawasan ini—tak ubahnya semacam garis imajiner.

Akan tetapi, karakteristik realitas sosial kemasyaratan berikut
penanganan daerah perbatasan oleh pemerintah relatif sama. Tertinggal
dan seperti ditinggalkan! Untuk kasus Kepulauan Riau, perasaan
ditingalkan dalam proses pembangunan menuju Indonesia yang
sejahtera kerap jadi isu yang bisa melemahkan sendi-sendi nasionalisme.

Lihatlah denyut kehidupan masyarakat di Pulau Singkep yang
kehilangan darah segarnya setelah kekayaan perut bumi (baca: timah)
mereka disedot habis, lalu kini ditinggalkan. Perekonomian Singkep pun
runtuh. Masyarakat di sana—juga yang tinggal di pulau-pulau sekitar
Singkep, termasuk Lingga—yang semula menjadikan Singkep sebagai
tumpuan ikut terpukul. Migrasi ke Batam dan Bintan akhirnya jadi pilihan.

Data yang diperoleh Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan
pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menunjukkan bahwa
setelah PT Timah hengkan dari pulau ini jumlah penduduk Singkep
terus berkurang. “Sejak 1993, rata-rata penduduk Pulau Singkep yang
semula tercatat 37.686 jiwa berkurang 1.000 jiwa tiap tahunnya
karena pindah ke Pulau Batam,” kata Sutamat.

Di Batam mereka berharap dapat pekerjaan di sektor industri. Tapi, di
tempat baru ini mereka kalah bersaing. Bekal keterampilan sebagai
pekerja tambang timah ternyata tak cukup bisa diandalkan, sehingga
kebanyakan di antara mereka justru jadi pengangguran dan sebagian
jadi buruh bangunan.

Sementara Pulau Lingga yang dulu pernah jadi pusat Kesultanan
Melayu, yang wilayah kekuasaannya hingga ke Johor, Negeri Sembilan
dan Pahang di Tanah Semenanjung (Malaysia) serta Tumasik
(Singapura), setelah hampir 65 tahun Indonesia merdeka terlihat kian
miskin dan dilupakan. Sebutan daerah ini sebagai “bunda kandung
Melayu” pun tampaknya hanya sebuah romantisme.

Apatah lagi Natuna dan Anambas yang berada jauh di Laut China
Selatan. Kalau saja kawasan perairan bawah laut wilayah ini tidak
mengandung cadangan minyak yang begitu kaya, barangkali tak ada
yang mau menolehnya.

Akan halnya Batam dan Bintan, bagi masyarakat lokal, keberadaan
kawasan industri di kawasan ini tak memberi banyak peluang untuk bisa
ikut terlibat di dalamnya. Bahkan di era otonomi daerah seperti
sekarang, skenario besar yang terlihat di kawasan ini justru terkesan
sebagai pembangunan pemerintah pusat di daerah yang menempatkan
Kepulauan Riau sebagai bagian dari sistem kapitalisme global.

Di dua pulau ini, perubahan besar memang mulai terjadi. Lebih-lebih
sejak pemerintah pusat menetapkan Batam sebagai kawasan
perdagangan bebas, dan sejak akhir 1970-an mulai dikelola secara
khusus. Akan tetapi, dalam pertemuan berbagai kepentingan yang
mengambil tempat di kawasan ini, tampaknya posisi masyarakat lokal
selalu berada di pinggiran: sekadar jadi penonton!

Meski diperlakukan pemerintah pusat tak ubahnya sekadar “properti”,
di luar urusan ekonomi yang terkait langsung dengan persoalan hidup
sehari-hari, rasa kebangsaan masyarakat di daerah ini sesungguhnya
tak pernah surut. Walau realitas sosial-kultural, juga ekonomi, mereka
sangat bersinggungan dengan warga-bangsa yang berdiam di seberang
Selat Melaka, namun dalam urusan nasionalisme—tentu bukan dalam
arti sempit—Jakarta tetap jadi acuan.

Ini sebuah karunia. Kualitas keindonesiaan mereka tak pantas
diragukan. Kendati setiap malam berawan cerah orang-orang seperti
Leman menyaksikan gemerlap lampu neon dan merkuri dari tanah
seberang dengan sedikit rasa iri, atau menyaksikan tayangan televisi
Singapura dan Malaysia tanpa harus pakai parabola, mereka tetaplah
“penjaga” nilai-nilai kebangsaan di tapal batas.

Meminjam gaya ungkap Hang Tuah ketika mengobarkan semangat
“tak Melayu hilang di Bumi” di masa silam, masyarakat
Kepulauan Riau sekarang pun masih bisa berkata lantang:
tak Indonesia hilang di hati!

Tapi, sampai kapan?

Tidak ada komentar: