KOMPAS
Jumat, 21 November 2008
Ekstraksi SDA (01)
MAGNET TIMAH DI UJUNG SENJA
Oleh Kenedi Nurhan
SEJAK setahun terakhir Mario (48) hanya tinggal di rumah. Jalannya pincang. Itupun harus pakai kruk. Alat bantu terbuat dari kayu tersebut kini selalu menemani Mario ke mana pun melangkah, menyangga kaki kanannya yang cacat karena kecelakaan di lubang tambang setahun silam.
“Beruntung bisa selamat, setelah dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Engsel yang ada di antara paha kanan dan badan sempat lepas, merobek kulit, hingga keluar dari tempatnya,” kata Mario saat ditemui di Dusun Parit II, Kelurahan Kepoh, Kecamatan Toboali, Bangka Selatan, Oktober lalu.
Siang menjelang senja itu Dusun Parit II sepi. Hanya ada sedikit anak yang bermain. Beberapa ibu rumah tangga terlihat duduk-duduk di sebuah warung di ujung dusun. Sebagian besar warga, khususnya laki-laki, sesore itu masih sibuk mengumpulkan pasir timah dari lubang-lubang tambang di lokasi hutan produksi Lubuk Besar, tak jauh dari dusun mereka.
Sejak tubuhnya terkulai dihantam runtuhan tanah yang longsor secara tiba-tiba saat berada di lubang tambang, dan menguburnya hingga sebatas pinggang, Mario seperti kehilangan masa depan.
Untuk kembali menyiangi kebun lada yang sudah bertahun-tahun tak dirawat, Mario tak punya modal. Sudah lama kebun lada mereka ditelantarkan, sudah menyemak, yakni semenjak akses rakyat Bangka Belitung untuk ikut menambang timah sedikit dibuka oleh PT Timah dan diizinkan oleh pemerintah setempat pasca-reformasi 10 tahun silam.
“Tapi hasil dari betimah sudah lama habis untuk biaya berobat,” ujarnya.
Kini keluarga Mario sangat bergantung pada anak tertuanya, yang juga masih mengandalkan pendapatan dari mendulang pasir timah. Padahal hari-hari belakangan ini harga timah jatuh, terjun bebas seperti nilai tukar rupiah atas dolar AS, terkena imbas krisis global yang melanda dunia. Jika dulu harga pasir timah di tingkat kolektor sempat menyentuh angka Rp 90.000 per kilogram, pada pertengahan Oktober lalu turun hingga Rp 36.000/kg.
Mereka yang punya modal kini berangsur-angsur mundur teratur dari lubang tambang, mencari peluang usaha di bidang lain. Kembali bertanam lada, yang saat ini harganya juga berada di titik terendah—antara Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per kilogram, sementara nilai keekonomiannya berada di kisaran Rp 32.000/kg—jelas bukan pilihan menarik.
Sembari menunggu harga timah kembali membaik, di antara mereka ada yang mulai melirik tanaman sawit. Akan tetapi, bagi yang tidak punya modal seperti keluarga Mario, tak ada pilihan lain kecuali meneruskan kegiatan pendulangan pasir timah.
“Kalau tidak, ya, dari makan sumber uang untuk makan sehari-hari,” tutur Mario.
“Remah” yang tersisa
Timah dan lada! Dua komoditas ekspor ini hampir identik dengan kehidupan masyarakat Bangka Belitung. Keduanya bagai ‘dua sejoli’ yang ikut membentuk struktur sosial-ekonomi masyarakat di dua pulau ini. Timah dan lada pula yang—secara garis besar—pada awalnya membentuk struktur sosial-ekonomi masyarakat Bangka Belitung (Melayu) berbeda dengan warga keturunan.
Sejak pemerintah kolonial mendatangkan orang-orang dari daratan Tiongkok dalam jumlah besar pada 1733 untuk dipekerjakan sebagai buruh tambang timah, kedua golongan masyarakat ini boleh dibilang berkembang di dua sektor kehidupan yang berbeda. Orang-orang pribumi yang sejak awal tak diberi akses menggarap komoditas pertambangan akhirnya memusatkan pada kehidupan bercocok tanam dan nelayan, sedangkan pendatang dari daratan Tiongkok hanya berkutat di bidang pertambangan timah.
Setelah hampir tiga abad berlalu, sisa-sisa perbedaan itu masih terlihat dari konsentrasi permukiman mereka. Warga keturunan umumnya masih mendominasi permukiman di sekitar bekas pusat kegiatan tambang, seperti di Pangkalpinang, Sungailiat, serta Jebus dan Belinyu.
Di wilayah bagian utara Bangka ini, pada 1920, komposisi penduduk pendatang dari daratan Tiongkok bahkan jauh lebih besar. Jika di Sungailiat tercatat 26.720 dari 41.970 adalah warga keturunan, di Bangka bagian utara warga keturun lebih dominan lagi. Dari 30.698 penduduk Bangka bagian utara yang dicatat Ministerie van Kolonien (Konflik di Kawasan Pertambangan Timah: Persoalan dan Alternatif Solusi, 2005:45), 21.161 di antaranya berasal dari etnis China
Meski mereka hidup dalam dua wilayah mata pencaharian berbeda, tetapi tak tercatat pertikaian serius di antara keduanya. Bahkan di beberapa tempat terjadi semacam akulturasi budaya, saling memengaruhi, semisal unsur-unsur yang digunakan dalam upacara perkawinan.
Ketika resesi ekonomi dunia terjadi pada 1930-an, yang juga berimbas pada mata dagangan timah, tak sedikit warga keturunan ikut bertanam lada agar bisa bertahan dari krisis global kala itu. Sementara di pihak lain, warga pribumi tetap dilarang membuka lubang-lubang tambang.
Selama berabad-abad, timah memang tidak memberi sumbangan yang cukup berarti bagi penghuni asli Pulau Bangka dan Belitung. Kenyataan ini dicatat Dr F Epp (Dampak Kehadiran Timah Indonesia Sepanjang Sejarah, 2007:79). Katanya, “... sampai sekarang hanya sedikit sekali yang telah diperbuat orang untuk perkembangan dan peradaban di dalam negeri ini...” Begitupun di masa kemerdekaan, penduduk Bangka dan Belitung diposisikan tak lebih hanya sebagai penonton.
Baru setelah era reformasi, ditandai jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, larangan menambang pasir timah bagi rakyat Bangka Belitung sedikit dibuka. Akan tetapi, cadangan timah yang tersedia sesungguhnya hanya tinggal “remah” dari sisa usaha tambang PT Timah selaku pemilik kuasa pertambangan (KP) di Bangka dan Belitung. Deposit timah yang “disisakan” untuk rakyat itu memang sudah tidak ekonomis diusahakan dalam skala besar, tetapi masih cukup menguntungkan bila digarap dengan model tambang rakyat.
Dalam beberapa tahun ke depan, cadangan timah yang tersisa itu pun akan habis. Padahal, kini rakyat Bangka Belitung sudah telanjur berpaling ke timah, meninggalkan mata pencaharian pokok mereka selama ini: berkebun lada dan nelayan.
Bagai nasib Mario yang terkulai akibat musibah di lubang tambang, pada senja di pertengahan Oktober lalu itu pun awan kelabu menyaput langit Bangka Belitung yang berkabut di atas Bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Dari balik jendela pesawat, masih tampak jelas “wajah bopeng” pulau ini akibat bentang alamnya berlubang-lubang bekas galian tambang...
Jumat, 21 November 2008
Ekstraksi SDA (01)
MAGNET TIMAH DI UJUNG SENJA
Oleh Kenedi Nurhan
SEJAK setahun terakhir Mario (48) hanya tinggal di rumah. Jalannya pincang. Itupun harus pakai kruk. Alat bantu terbuat dari kayu tersebut kini selalu menemani Mario ke mana pun melangkah, menyangga kaki kanannya yang cacat karena kecelakaan di lubang tambang setahun silam.
“Beruntung bisa selamat, setelah dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Engsel yang ada di antara paha kanan dan badan sempat lepas, merobek kulit, hingga keluar dari tempatnya,” kata Mario saat ditemui di Dusun Parit II, Kelurahan Kepoh, Kecamatan Toboali, Bangka Selatan, Oktober lalu.
Siang menjelang senja itu Dusun Parit II sepi. Hanya ada sedikit anak yang bermain. Beberapa ibu rumah tangga terlihat duduk-duduk di sebuah warung di ujung dusun. Sebagian besar warga, khususnya laki-laki, sesore itu masih sibuk mengumpulkan pasir timah dari lubang-lubang tambang di lokasi hutan produksi Lubuk Besar, tak jauh dari dusun mereka.
Sejak tubuhnya terkulai dihantam runtuhan tanah yang longsor secara tiba-tiba saat berada di lubang tambang, dan menguburnya hingga sebatas pinggang, Mario seperti kehilangan masa depan.
Untuk kembali menyiangi kebun lada yang sudah bertahun-tahun tak dirawat, Mario tak punya modal. Sudah lama kebun lada mereka ditelantarkan, sudah menyemak, yakni semenjak akses rakyat Bangka Belitung untuk ikut menambang timah sedikit dibuka oleh PT Timah dan diizinkan oleh pemerintah setempat pasca-reformasi 10 tahun silam.
“Tapi hasil dari betimah sudah lama habis untuk biaya berobat,” ujarnya.
Kini keluarga Mario sangat bergantung pada anak tertuanya, yang juga masih mengandalkan pendapatan dari mendulang pasir timah. Padahal hari-hari belakangan ini harga timah jatuh, terjun bebas seperti nilai tukar rupiah atas dolar AS, terkena imbas krisis global yang melanda dunia. Jika dulu harga pasir timah di tingkat kolektor sempat menyentuh angka Rp 90.000 per kilogram, pada pertengahan Oktober lalu turun hingga Rp 36.000/kg.
Mereka yang punya modal kini berangsur-angsur mundur teratur dari lubang tambang, mencari peluang usaha di bidang lain. Kembali bertanam lada, yang saat ini harganya juga berada di titik terendah—antara Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per kilogram, sementara nilai keekonomiannya berada di kisaran Rp 32.000/kg—jelas bukan pilihan menarik.
Sembari menunggu harga timah kembali membaik, di antara mereka ada yang mulai melirik tanaman sawit. Akan tetapi, bagi yang tidak punya modal seperti keluarga Mario, tak ada pilihan lain kecuali meneruskan kegiatan pendulangan pasir timah.
“Kalau tidak, ya, dari makan sumber uang untuk makan sehari-hari,” tutur Mario.
“Remah” yang tersisa
Timah dan lada! Dua komoditas ekspor ini hampir identik dengan kehidupan masyarakat Bangka Belitung. Keduanya bagai ‘dua sejoli’ yang ikut membentuk struktur sosial-ekonomi masyarakat di dua pulau ini. Timah dan lada pula yang—secara garis besar—pada awalnya membentuk struktur sosial-ekonomi masyarakat Bangka Belitung (Melayu) berbeda dengan warga keturunan.
Sejak pemerintah kolonial mendatangkan orang-orang dari daratan Tiongkok dalam jumlah besar pada 1733 untuk dipekerjakan sebagai buruh tambang timah, kedua golongan masyarakat ini boleh dibilang berkembang di dua sektor kehidupan yang berbeda. Orang-orang pribumi yang sejak awal tak diberi akses menggarap komoditas pertambangan akhirnya memusatkan pada kehidupan bercocok tanam dan nelayan, sedangkan pendatang dari daratan Tiongkok hanya berkutat di bidang pertambangan timah.
Setelah hampir tiga abad berlalu, sisa-sisa perbedaan itu masih terlihat dari konsentrasi permukiman mereka. Warga keturunan umumnya masih mendominasi permukiman di sekitar bekas pusat kegiatan tambang, seperti di Pangkalpinang, Sungailiat, serta Jebus dan Belinyu.
Di wilayah bagian utara Bangka ini, pada 1920, komposisi penduduk pendatang dari daratan Tiongkok bahkan jauh lebih besar. Jika di Sungailiat tercatat 26.720 dari 41.970 adalah warga keturunan, di Bangka bagian utara warga keturun lebih dominan lagi. Dari 30.698 penduduk Bangka bagian utara yang dicatat Ministerie van Kolonien (Konflik di Kawasan Pertambangan Timah: Persoalan dan Alternatif Solusi, 2005:45), 21.161 di antaranya berasal dari etnis China
Meski mereka hidup dalam dua wilayah mata pencaharian berbeda, tetapi tak tercatat pertikaian serius di antara keduanya. Bahkan di beberapa tempat terjadi semacam akulturasi budaya, saling memengaruhi, semisal unsur-unsur yang digunakan dalam upacara perkawinan.
Ketika resesi ekonomi dunia terjadi pada 1930-an, yang juga berimbas pada mata dagangan timah, tak sedikit warga keturunan ikut bertanam lada agar bisa bertahan dari krisis global kala itu. Sementara di pihak lain, warga pribumi tetap dilarang membuka lubang-lubang tambang.
Selama berabad-abad, timah memang tidak memberi sumbangan yang cukup berarti bagi penghuni asli Pulau Bangka dan Belitung. Kenyataan ini dicatat Dr F Epp (Dampak Kehadiran Timah Indonesia Sepanjang Sejarah, 2007:79). Katanya, “... sampai sekarang hanya sedikit sekali yang telah diperbuat orang untuk perkembangan dan peradaban di dalam negeri ini...” Begitupun di masa kemerdekaan, penduduk Bangka dan Belitung diposisikan tak lebih hanya sebagai penonton.
Baru setelah era reformasi, ditandai jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, larangan menambang pasir timah bagi rakyat Bangka Belitung sedikit dibuka. Akan tetapi, cadangan timah yang tersedia sesungguhnya hanya tinggal “remah” dari sisa usaha tambang PT Timah selaku pemilik kuasa pertambangan (KP) di Bangka dan Belitung. Deposit timah yang “disisakan” untuk rakyat itu memang sudah tidak ekonomis diusahakan dalam skala besar, tetapi masih cukup menguntungkan bila digarap dengan model tambang rakyat.
Dalam beberapa tahun ke depan, cadangan timah yang tersisa itu pun akan habis. Padahal, kini rakyat Bangka Belitung sudah telanjur berpaling ke timah, meninggalkan mata pencaharian pokok mereka selama ini: berkebun lada dan nelayan.
Bagai nasib Mario yang terkulai akibat musibah di lubang tambang, pada senja di pertengahan Oktober lalu itu pun awan kelabu menyaput langit Bangka Belitung yang berkabut di atas Bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Dari balik jendela pesawat, masih tampak jelas “wajah bopeng” pulau ini akibat bentang alamnya berlubang-lubang bekas galian tambang...
1 komentar:
Happy Wednesday! Bloghoppin' here... Hey, I have an interesting tutorial for you that I have written myself. It is about adding Adsense on your Single Post in XML template. I hope you'll like it! God Bless you!
Posting Komentar