Senin, 11 Agustus 2008

Budaya Melayu

KOMPAS
Jumat, 8 Agustus 2008

MelayuOnline.com (1)
MAHYUDIN "GILA"
KARENA KERIS MELAYU


Oleh Kenedi Nurhan

SATU lagi orang “gila” menyeruak di tengah kehidupan negeri ini yang kian pengap. Seorang pedagang buku dari Yogyakarta yang terbilang sukses, sejak tujuh tahun terakhir mewakafkan waktu dan tabungan yang ia kumpulkan selama 21 tahun untuk memuliakan sebuah peradaban.

Pemicunya hanya soal keris. Itu pun bukan jenis keris yang banyak dicari para kolektor lantaran memiliki “pamor” dan karena itu diyakini bertuah. Bukan! Keris yang membuat hidupnya berputar haluan itu adalah keris melayu.

Adalah Mahyudin Al Mudra (50), lelaki kelahiran Tembilahan, Riau, yang masuk dalam jebakan tuah keris Melayu itu. Sukses sebagai “pedagang buku” di tanah perantauannya di Yogyakarta, lewat bendera Penerbit AdiCita Grup yang ia dirikan tahun 1987, tidak membuat Mahyudin lupa akan keberadaan puak Melayu yang mengalir dalam tubuhnya.

Cerita bermula dari hobinya sejak mahasiswa mengoleksi keris dari berbagai daerah di Nusantara. Sekali waktu ia dihadapkan kenyataan betapa sulitnya mencari keris melayu. Dalam satu kesempatan mudik ke kampung halamannya di Tembilahan, dengan rasa percaya diri Mahyudin yakin akan mendapatkan dengan mudah keris itu saat mampir ke Pekanbaru.

Kenyataan yang ia temui justru sebaliknya. Bukan saja tidak segampang mendapatkan keris jawa, orang-orang Melayu yang ditemuinya pun banyak yang tak punya lagi ingatan akan keris melayu. Begitupun di Tembilahan, Kampar, Inderagiri, ataupun di Bengakalis. Jangankan mengoleksinya, sekadar melihat keberadaan keris itu saja tidak bisa karena tak ada yang menyimpannya.

“Di Tanjung Pinang, Bintan, yang disebut-sebut paling Melayu pun sama saja. Tidak ada. Juga di museum. Di Pekanbaru, kalau orang Melayu menikah, ya, pakai keris jawa,” tutur Mahyudin.

Perburuan Mahyudin untuk menemukan keris melayu akhir berlanjut dan menjadi semacam obsesi. Pertanyaan besar bernada kekhawatiran muncul. Ada apa dengan Melayu? Pasti ada sesuatu yang salah, tetapi apa?

Keinginan kuat memiliku keris melayu membawa perjalanan Mahyudin hingga ke Malaysia. Diborongnya 17 buku tentang kajian keris melayu. Ia kian kecut sekaligus kaget tatkala tahu bahwa sebagian besar buku tentang hal itu malah ditulis oleh orang Barat.

Berbekal buku setumpuk, yang dibelinya di berbagai kota di negara bagian Malaysia tahun 2001, Mahyudin pergi ke tempat pembuatan keris di Imogiri, Bantul. Setelah empat-lima kali dirombak, keris “langgam” melayu itu pun jadi.

Tetapi pencarian Mahyudin ke akar budaya Melayu sesungguhkan justru baru dimulai . “Dari pengalaman mencari keris melayu tersebut, saya tersadar mengapa budaya Jawa masih terpelihara. Tak lain karena ada yang telaten mendokumentasikannya,” kata Mahyudin.

Dokumentasi ternyata berperan besar dalam pelestarian peradaban. Ini yang diabaikan orang Melayu. Kalaupun ada, belum ada dokumentasi yang rapi. Warisan khazanah sejarah dan budaya Melayu masih berupa mozaik yang tersebar di mana-mana.

Berbekal semangat untuk menggali dan mendokumentasikan segala ihwal yang berkaitan dengan peradaban Melayu, tahun 2001, Mahyudin mendirikan Pusat Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (PKPBM) di Yogyakarta. Enam tahun kemudian, setelah melalui pergulatan panjang, PKPBM melahirkan “anak kandungnya” yang pertama berupa portal atau laman tentang Melayu.

Sejak itu perhatian Mahyudin terbelah. Usaha penerbitan yang sudah ia tekuni sejak 1987—dan telah mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan seperti Adikarya Ikapi (1997-2004), Penerbit Berprestasi versi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), KEHATI Award (2001), Sagang Award (2003), dan Anugerah Kebudayaan RI (2004)—justru ia jadikan “sapi perah” untuk membiayai aktivitasnya merawat peradaban Melayu melalui jaringan internet.

Tidak hanya itu. Tabungannya selama 21 tahun, senilai Rp 3 miliar lebih, sudah tersedot untuk operasional portal MelayuOnline.com yang ia pimpin. Ia pun rela kehilangan dua bidang tanah, rumah dan mobil yang turut dilego agar MelayuOnline.com tetap bisa berjalan.

Mahyudin mengakui memang berat membiayai kegiatan budaya seperti yang ia lakoni. Setiap bulan sedikit Rp 75 juta harus tersedia. Alokasi terbesar untuk sewa satelit, Rp 19 juta . Selebihnya untuk gaji 26 tenaga profesional yang menangani operasional MelayuOnline.com, cetak buku, admisnitrasi, dan biaya lain seperti pengumpulan bahan dari berbagai daerah di Nusantara.

“Tapi ini adalah konsekuensi dari suatu pilihan hidup. MelayuOnline.com yang beralamat di http://www.melayuonline.com (baca juga, Menduniakan Melayu dari Yogyakarta, hal 53) memang didedikasikan sepenuhnya bagi kegemilangan tamadun Melayu. Saya yakin investasi semacam ini akan berbuih, meski bukan dalam bentuk materi” ujarnya.

Adakah pihak-pihak yang tersentuh untuk membantu? Mahyudin cuma tertawa, lantaran banyak pejabat (baca gubernur dan bupati/wali kota) dari tanah Melayu yang menjanjikan angin surga tetapi hasilnya nol besar. Bahkan seorang menteri yang mengaku kagum pada MelayuOnline.com dan menjanjikan segera menurunkan bantuan juga setali tiga uang.

Iklan pun tak ada. Wajah seorang menteri yang terpampang di laman MelayuOnline.com tampil gratis. Tapi Mahyudin segera menukas, “Ada yang membantu kami. Seorang guru SD di Pekanbaru yang sempat menengok portal MelayuOnline.com pernah mengirimkan uang Rp 100.000. Saya sangat terharu. Bayangkan, berapa sih gaji guru SD tetapi dia rela mendermakan penghasilannya yang tak seberapa itu untuk kegiatan kebudayaan semacam ini.”

Titik balik

Sejak tamat SD (1970) dan “terdampar” bersama orangtuanya di Yogyakarta, berbagai kesulitan hidup selalu membelit keluarga mereka. Akan tetapi, anak dari pasangan Mudra Mukhlis dan Mulia ini ternyata bisa melewati masa-masa sulit itu, hingga ia berhasil menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1984).

Selesai kuliah ia tidak tertarik menjadi pamong di birokrasi pemerintahan. Juga tak tergiur terjun sebagai praktisi hukum. Mahyudin justru memilih merintis karier di dunia bisnis dengan menjadi “pedagang buku”.

“Ketika itu saya punya banyak opsi. Tetapi saya memutuskan terjun ke dunia bisnis dan memilih jadi pedagang buku. Mengapa di perbukuan? Ini tak lain karena bidang usaha ini masih bersentuhan dengan dunia keilmuan dan kebudayaan, dua hal yang jadi obsesi saya sejak kuliah untuk ikut sedikit berperan di dalamnya,” kata Mahyudin.
Sebelum dikenal sebagai pedagang buku di bawah bendera Penerbit AdiCita Grup, sejak mahasiswa Mahyudin sudah dikenal sebagai “pengecer” buku dan jurnal terbitan LP3ES dan LSP. Belum ada kios, apalagi toko buku. Kampus perguruan tinggi, khususnya di lingkungan almamaternya, adalah pasar yang dibidik Mahyudin.

“Dosen-dosen saya todong agar beli buku dan jurnal Prisma. Karena yang maksa beli aktivis mahasiswa, atau mungkin karena takut dianggap tidak ilmiah, dagangan buku dan jurnal Prisma-ku laris manis,” tutur Mahyudin.

Persinggungan Mahyudin dengan dunia perbukuan dan pemikiran kebudayaan sesungguhnya berawal dari masa-masa sulit saat ia masih di SMP. Berangkat dari keluarga yang secara ekonomi serba terbatas, tiap hari tak pernah ada uang jajan di kantongnya. Untuk bisa ikut menikmati semangkok soto saja baru terwujud bila ada teman sekolah yang mentraktirnya. Itu pun biasanya setelah sebelumnya ia mengerjakan pekerjaan rumah yang bersangkutan.

“Semasa di SMP itu, saat istirahat biasanya saya ke perpustakaan. Bukan karena saya kutu buku, tapi lantaran tak punya uang untuk ikut bersama teman-teman ke kantin sekolah. Tapi belakangan saya bersyukur, berkat hidup dalam ketiadaan itulah saya banyak belajar. Buku-buku ‘berat’ sudah saya lahap sejak di bangku SMP,” kata Mahyudin.

Kini, dari tabungan yang ia kumpulkan selama 21 tahun, laman MelayuOnline.com menorehkan andil Mahyudin untuk memuliakan tradisi besar peradaban Melayu. Akan tetapi, dengan modal yang kain menipis—sementara tawaran dari negeri serumpun yang berniat membeli laman MelayuOnline.com senilai satu juta ringgit sudah ditolak—sampai kapan ia bisa bertahan? (pra)

Tidak ada komentar: