Rabu, 18 Juni 2008

Arkeologi

KOMPAS
Jumat, 13 Juni 2008

Jejak Peradaban (1)
PERBURUAN MANUSIA PURBA
DI SANGIRAN


Oleh Kenedi Nurhan

SENIN siang di awal Juni 2008, Museum Prasejarah Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kedatangan sejumlah tamu istimewa. Tiga polisi dan dua jaksa dari Sragen tiba-tiba bertandang ke sana. Kalau bukan terkait soal fosil-fosil purba, lalu apa?

“Memang masih urusan fosil, tapi bukan soal temuan fosil dalam kaitan Sangiran sebagai sebuah pusat evolusi manusia yang terkemuka di dunia. Mereka datang untuk melengkapi berkas perkara terkait kasus perdagangan fosil yang berhasil diungkap oleh pihak kepolisian,” kata Harry Widianto, ahli arkeologi prasejarah, yang juga adalah Kepala Balai Pelestarian Manusia Purba Sangiran.

Kasus perdagangan fosil purba asal Sangiran yang melibatkan lelaki berinisial Sad alias Subur itu sendiri sebetulnya terjadi pada pertengahan Oktober 2007. Sedikitnya tujuh fosil hewan vertebrata yang sedianya akan dibawa ke Malang, Jawa Timur, digagalkan oleh polisi. Selain Sbr—warga Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Sragen, yang memang dikenal luas sebagai tengkulak sekaligus ‘pedagang’ fosil purba—polisi juga mengamankan dua tersangka lain.

Ketujuh fosil hewan purba dimaksud terdiri atas dua rahang atas dan satu rahang bawah gajah (Elephas Sp), rahang atas kerbau (Bubalus paleokarabau), kepala banteng (Bo bibos paleosondaicus), rahang atas kuda nil (Hippopotamus Sp), serta satu rahang bawah buaya (Crocodillus Sp). Semua asli, meski benda cagar budaya tersebut telah dimodifikasi dan direkonstruksi dengan bahan semen. Selama lebih setengah tahun para pelaku hanya berstatus tersangka, pada Juni 2008 akhirnya Sad alias Subur ditahan oleh pihak kepolisian.

Bukan hal baru

Kasus jual-beli fosil hasil temuan dan atau perburuan secara ilegal di situs arkeologi prasejarah yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Dunia (World Heritage) oleh UNESCO sejak 6 Desember 1996 tersebut sebetulnya bukan hal baru. Cukup banyak kasus yang sudah mencuat ke permukaan. Hanya saja, semua kasus berakhir tanpa kejelasan, apalagi sampai disidangkan di pengadilan.

Tahun 1993, misalnya, 42 fosil asal Sangiran yang akan diselundupkan ke Washington, AS, digagalkan oleh petugas bea dan cukai di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Hingga sejauh ini tak jelas sanksi hukum apa yang menjerat para pelaku, yang antara lain melibatkan pemilik sebuat art shop di Yogyakarta.

Kasus paling menghebohkan, juga di tahun 1993, tentu saja terkait temuan fosil tengkorak manusia purba oleh Sugimin, penduduk Desa Grogolan, Kecamatan Plupuh, Sragen. Setelah beberapa kali pindah tangan, fosil ini sampai ke tangan Donald E Tyler dengan transaksi senilai Rp 3,8 juta.

Namun, dalam suatu jumpa pers di Yogyakarta, ahli antropologi ragawi dari Universitas Idaho, AS, itu mengklaim fosil tengkorak manusia purba tersebut hasil temuannya dalam suatu penelitian di Sangiran. Belakangan, semua omong kosong Tyler itu terbongkar. Tyler justru membelinya dari Sad alias Sbr, salah satu tengkulak dalam rantai perdagangan fosil Sangiran, yang kini ditahan polisi untuk kasus berbeda.

Tyler pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, entah kenapa, Tyler yang sudah dicekal oleh pihak imigrasi diloloskan pergi ke ke luar negeri, pulang ke kampung halamannya di AS. Bahkan, kepergian Tyler atas izin Kejaksaan Agung tersebut kemudian diikuti pernyataan Jaksa Agung (waktu itu) Singgih bahwa penyidikan kasus Tyler resmi dihentikan.

Memapas bukit

Kasus-kasus lain berderet, tetapi tak satu pun yang berakhir di meja pengadilan. Sementara di sisi lain, perburuan atas fosil-fosil purba yang melibatkan penduduk di kawasan ini terus berlangsung.

Modus perburuan fosil Sangiran sebetulnya sederhana. Dibelit oleh kemiskinan, warga yang tinggal di lahan-lahan kering dan tandus itu mendatangi sisi-sisi bukit yang diperkirakan mengandung fosil.

Perburuan terutama dilakukan pada musim penghujan. Bila hujan turun, lapisan tanah di sisi-sisi bukit di kawasan Sangiran sangat rentan erosi, sehingga fosil-fosil yang ada kerap tersingkap. Pekerjaan berikutnya hanya tinggal melakukan penggalian untuk menemukan kemungkinan ada fosil-fosil lain.

Penduduk yang tinggal di kawasan situs seluas 56 kilometer persegi tersebut umumnya tahu persis lokasi mana saja yang berpotensi mengandung fosil. Mereka juga tahu ciri-ciri umum tanah yang diperkirakan menyimpan fosil atau artefak dari masa 1,5 juta hingga 700.000 tahun lampau tersebut. Tanah yang dicurigai mengadung fosil dideteksi terlebih dahulu dengan linggis atau dengan menusukkan pipa besi yang berujung runcing.

“Kalau di lapisan tanah itu banyak ditemukan batu krakal dan batu-batu bulat, hampir bisa dipastikan di dalamnya ada fosil,” kata Asmorejo (62), satu di antara puluhan “pemburu” fosil yang tinggal di Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh.

Di luar pekerjaan tetapnya sebagai petani, Asmorejo mengaku sudah puluhan tahun menekuni pekerjaan sampingan sebagai pencari fosil. Di rumahnya, beragam jenis fosil yang tak utuh lagi, hanya berupa serpihan-serpihan atau fragmen tulang-tulang purba, dia simpan di ruang bagian belakang.

Potongan rahan gajah dan serpihan gigi warak (sejenis babi hutan purba), batu bulat yang oleh kalangan arkeolog disebut batu bola (stone ball) berdiameter sekitar 13 cm, serta potongan-potongan kecil gading gajah, satu per satu ia deretkan di lantai rumah.

Asmorejo tahu persis potongan-potongan fosil itu berasal dari rangka hewan jenis apa, juga bila mendapatkan bagian dari tengkorak manusia purba. Tak berlebihan bila kemampuan lelaki yang tak tamat SD dalam mengidentifikasi jenis fosil itu membuat ia dijuluki oleh masyarakat di sana sebagai “Pak Sinyur” alias “Pak Insinyur”.

Sejak dua tahun terakhir muncul modus baru. Lahan milik penduduk yang berada di kawasan perbukitan disewa atau dibeli oleh ‘investor’. Dengan dalih untuk mengambil tanah dan pasirnya sebagai bahan bangunan, puluhan penduduk dipekerjakan untuk memapas bukit.

Namun, warga dan aparat pemerintahan desa dan kecamatan di sana sebetulnya tahu ada tujuan lain di balik aktivitas tersebut. Pemapasan sisi-sisi tanah berbukit, terutama di wilayah Desa Manyarejo, juga dimaksudkan untuk mencari fosil yang terkandung di dalamnya.

Fosil-fosil hasil perburuan itu umumnya dijual kepada tengkulak yang berpusat di Desa Krikilan. Keberadaan toko-toko souvenir yang memajang “fosil” hasil kerajinan penduduk, sudah bukan rahasia lagi juga menjadi semacam tempat transaksi fosil-fosil asli. Tak hanya turis, peneliti dan kalangan akademik pun banyak memanfaatkan jasa mereka, seperti yang dilakukan Donald E Tyler.

Hasil penelusuran Bambang Sulistyanto, arkeolog dari Puslitbang Arkeologi Nasional yang tengah melakukan penelitian untuk disertasinya di Universitas Indonesia (UI), terlihat bahwa tengkulak adalah otak dari keseluruhan sistem transaksi fosil di Sangiran. Pelaku kedua adalah pemburu, dalam hal ini adalah orang yang ditugaskan tengkulak untuk berburu fosil.

Pemburu atau pencari fosil tersebut, bersama tengkulak, dalam praktiknya juga melakukan provokasi kepada penduduk supaya ikut mencari fosil dan jika menemukan disuruh melaporkan kepada mereka. Dalam kaitan ini, keterlibatan penduduk tidak bersifat mutlak, tetapi hanya aktivitas sampingan.

“Jadi, kalau mau memutus rantai perdagangan fosil di Sangiran sebetulnya gampang. Kuncinya ada pada tengkulak,” kata Bambang Sulistyanto.

Penyidikan yang dilakukan aparat keamanan, baik polisi maupun jaksa, atas kasus perdagangan fosil yang melibatkan salah satu pentolannya, Sad alias Sbr, seharusnya dijadikan titik berangkat untuk masuk lebih jauh. Sebab, Sad alias Sbr hanya satu di antara sekian banyak tengkulak yang berpusat di Desa Krikilan...


1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di blog ini bagus-bagus dan berguna bagi para pembaca. Anda bisa lebih mempromosikan artikel Anda di infoGue.com dan jadikan artikel Anda Topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!

http://arkeologi.infogue.com/perburuan_manusia_purba_di_sangiran