KOMPAS
Kamis, 9 April 1992
Lebaran Sepanjang Batumarta-Ungaran (2)
INI TERMINAL RAJABASA, BUNG!
Oleh Kenedi Nurhan
Benar-benar di luar dugaan. Perjalanan panjang mudik lebaran menyusuri jalur lintas Sumatera dan pantai utara Pulau Jawa yang Kompas ikuti bersama pasangan suami-istri muda, I Wayan Melaya (24) dan Nuryati (20), berserta anak tunggal mereka, Agus Setiawan (2,5), berjalan mulus. Pengalaman mudik lebaran dari Pulau Sumatera ke Jawa tahun ini (baca: 1992) ternyata terlepas dari kesan ‘angker’ seperti yang diceritakan beberapa rekan yang sempat melakukan perjalanan serupa tahun-tahun sebelumnya.
Sejak berangkat dari dari simpang Batumarta hari Sabtu, 28 Maret 1992, sekitar pukul 09.45 WIB, tak ada gangguan berarti yang mengadang. Kecuali pilihan tempat persinggahan untuk istirahat, semua berjalan lancar.
PO Tunas No Pol BA 3515 L yang membawa Kompas bersama keluarga Nuryati memuat penumpang masih dalam batas yang wajar. Baru ketika bus memasuki wilayah Lampung, tiga penumpang tambahan yang naik di Kecamatan Muara Datu terpaksa duduk di bangku cadangan. Tetapi ini tak terlalu jadi masalah. Penumpang lain masih bisa menggerakkan otot-otot kaki dan berganti posisi duduk, walau—tentunya—tak seleluasa naik kereta api atau bus ber-AC.
***
“Dua tahun lalu saya berangkat dengan bus DAMRI, dan di dalam kaleng beroda raksasa itu saya menjadi ikan pindang. Kami disusun sedemikian rupa, seinci demi seinci, seolah benda mati yang tak bergerak atau beringsut lagi. Perjalanan keong ribuan kilometer itu telah menghabiskan waktu tiga hari empat malam, dan berakhir dengan kedua kaki bengkak karena begitu lama tak bergerak. Bahkan untuk bernapas pun rasanya kita harus berebutan supaya jangan menghirup udara bekas.”
Ini adalah pengakuan Saidol, transmigran asal Kencong, Lumajang, Jawa Timur, sebagaimana dilaporkan Kompas ketika mengikuti perjalanan mudik lebaran keluarga itu tahun 1984. Pengakuan relatif sama juga terungjap dari pengalaman beberapa penumpang teman perjalanan Kompas mudik lebaran tahun ini. Begitu pula cerita-cerita yang beredar di kalangan masyarakat transmigran yang ada di Batumarta.
Tak jarang mereka dipaksa berganti-ganti kendaraan, meski saat membeli tiket di loket pertama dijanjikan bahwa bus yang akan mereka tumpangi dijamin langsung ke tujuan. Umumnya mereka Cuma pasrah. Juga ketika mereka harus menunggu bus pengganti di terminal atau tempat-tempat pemberhentian lain. Paling-paling yang muncul cuma gerutuan. Belum lagi jika kendaraan yang akan ditumpangi itu lebi sempit, tubuh mereka pun “ditumpuk” seperti orang menyusun dendeng di papan jemuran.
Sangat boleh jadi, pengalaman perjalanan yang serba tidak menyenangkan inilah yang mendorong sekelompok transmigran dari Desa Lubukbanjar, Batumarta IV, sengaja langsung memesan kendaraan dari tempat asal mereka di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Sebuah minibus plat hitam jenis L-300 dengan nomor polisi AA 8182 E yang dijajdikan semacam travel itu, Jumat (27/03/1992) pagi tampak sudah siap membawa 16 transmigran pulang kampung. Bahkan, menurut Sujah (58), Kepala Desa Lubukbanjar, masih ada satu minibus lainnya yang juga sudah dipesan dari Dieng agar menjemput transmigran yang berniat mudik lebaran ke kampung asal mereka.
“Ongkosnya memang lebih mahal, Rp 30.000 per orang (padahal jika mereka naik bus non-AC biayanya cuma sekitar Rp 20.000 per orang). Tetapi, meski harus keluar ongkos lebih besar, cara ini jauh lebih baik dibandingkan naik bus yang akan membuat sengsara selama di perjalanan,” ujar Sujah.
Sedianya, oleh pertugas dari Kandep Transmigrasi Ogan Komering Ulu, Kompas disarankan agar ikut rombongan keluarga yang berasal dari Desa Dieng tersebut. Namun atas berbagai pertimbangan, tawaran simpatik itu terpaksa Kompas tolak. Selain terkesan terlalu “mewah”, pengalaman pun selama pun dikhawatirkan kurang bervariasi. Tetapi, terlepas dari semua itu, kenyataan ini sekaligus menyiratkan kesan bahwa tingkat kemakmuran kelompok pemudik dari Desa Lubukbanjar tersebut cukup menggembirakan.
***
“Begitu tiba di Rajabasa nanti, semua penumpang harap tetap duduk di tempat masing-masing. Pintu belakang jangan dibuka. Bahaya!”
Sopir bertubuh gendut beraut muka lucu itu memberi aba-aba peringatan ketika bus menikung memasuki terminal antarkota Rajabasa, Bandar Lampung. Semua penumpang terdiam, seolah diingatkan ada suatu bahaya yang tengah mengancam. Tak ada penjelasan lebih lebih lanjut, mengapa begitu memasuki terminal yang tampak sibuk itu kami diminta tetap diam di tempat. Bahkan untuk membuka kaca jendela pun ada semacam larangan tak tertulis.
“Ini terminal Rajabasa, Bung!” Cuma itu jawaban yang diperoleh Kompas ketika mencoba bertanya kepada kondektur muda, yang jika disimak dari tampang dan gaya bicaranya bisa dipastikan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Tak ada penjelasan tambahan. Begitu PO Tunas yang kami tumpangi merayap perlahan di antara ber-sliwer-annya bus-bus antarkota lain, s ekelompok anak muda pengasong berebut menjajakan barang dagangannya.
“Aus, Pak… Jolly dingin, jolly dingin. Atau kalau mau aqua juga ada,” tawar seorang anak muda berkaos putih bergaris merah hati seraya memaksa membuka pintu belakang yang dikunci dari dalam. Tak ada sahutan. Tak ada reaksi. Semua penumpang di bagian belakang bungkam. Namun, dengan kegigihan yang “luar biasa”, anak muda satu ini tetap ngotot, bahkan setengah memaksa agar pintu dibuka. Akhirnya ia cuma bisa menguak kaca samping yang biasa digunakan sebagai ventilasi.
Ketegangan pun nyaris menimbulkan keributan, tatkala penumpang mencoba menutupnya kembali dengan menggeser kaca ke posisi semula. Dengan wajah berang, anak muda tadi mengancam akan menusuk penumpang yang berani mencoba menutup kaca jendela tersebut. Di belakangnya ada empat pemuda lain berdiri memandang sembari tersenyum pengejek para penumpang bus.
Tetapi aksi bungkam yang diperlihatkan penumpang PO Tunas berhasil menutup kemungkinan ketegangan itu berlanjut. Begitu kondektur usai dengan urusannya di pos penjagaan terminal, bus kembali bergerak menuju Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.10 WIB. Begitu waktu magrib tiba, buka puasa terpaksa dilakukan di jalan, hanya dengan mereguk air putih dalam botol plastik.
***
Ketika semua penumpang diminta turun dari bus—setelah masing-masing diberi tiket naik ke kapal—Kompas baru menyadari bahwa di antara teman seperjalanan ada sedikitnya 30 orang TKI asal Jawa Timur yang bekerja di Malaysia juga tengah mudik lebaran. Mereka terdiri atas dua rombongan, masing-masing dipimpin oleh Suryo (46) dan seorang lelaki tinggi kekar yang dipanggil Pak Udin oleh para anak buahnya.
“Dialah yang mengatur perjalanan kami sejak dari Kuala Lumpur hingga sampai ke tujuan,” kata Saroji (25), TKI asal Sampang, Madura, sembari berbisik bahwa untuk itu mereka dipungut biaya Rp 550.000 per orang.
Sekitar pukul 21.00 WIB kapal merapat di Pelabuhan Merak. Saat bus kembali akan meneruskan perjalanan terjadi peristiwa lucu. Salah seorang penumpang tertinggal di kapal. Ketika kondektur turun mencarinya, saat bersamaan—tanpa diketahui sopir—ada penumpang lain yang juga ikut-ikutan turun dengan maksud yang sama. Alhasil, begitu penumpang yang tertinggal tadi berhasil ditemukan dan bus kembali bergerak, seorang ibu ribut suaminya tidak ada. Setalah dicari sekitar 10 menit, sementara bus terpaksa diparkir di luar kawasan pelabuhan, baru penumpang yang “kesasar” itu berhasil di-“tangkap” kembali, sehingga perjalanan bisa dilanjutkan.
Perjalanan malam hari dari Merak ke arah timur menyusuri pantai utara Jawa (saat itu, tahun 1992, belum ada jalan tol Merak-Jakarta—pen) betul-betul berjalan mulus. Kota-kota yang dilalui, termasuk Jakarta, sudah mulai tertidur. Bekasi, Karawang dan Cikampek malah telah pulas.
Saat fajar menyingsing, “armada” yang kami tumpangi memamsuki Pamanukan. Jatibarang dan Cirebon pun dilewati. Kota udang yang juga terkenal dengan keraton Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman serta makan Sunan Gunungjati (salah seorang Wali Songo) kelihatan mulai sibuk. Angkutan umum dari arah berlawanan juga mulai ramai, meski sebagian besar tempat duduknya kelihatan kosong. Pukul 10.20 WIB perjalanan baru memasuki wilayah Jawa Tengah. Losari, Tanjung dan Brebes—di mana pada kedua sisi jalan tampak mengampar tanaman sayur-mayur menghijau—juga sudah dilewati. Bus merayap terus, menyusup ke wilayah Tegal. Pemalang, Pekalongan, Comal, Kendal dan Weleri.
Akhirnya, pukul 15.40 WIB PO Tunas memasuki Kota Semarang. Penumpang yang akan terus ke timur lewat pantai utara Jawa, atau yang memang memiliki tiket ke Semarang, diturunkan dihalte di daerah Tugu. Dari sini, Kompas bersama pasangan suami-istri I Wayan Melaya dan Nuryati memesan opelet menuju pusat kota. Setelah naik bus kota ke pasar Ungaran, dengan menyewa mobil omprengan perjalanan dilanjutkan ke Desa Gogik di kaki Gunung Ungaran (2.050 meter).
Ketika mobil yang kami tumpangi memasuki kampung kelahiran Nuryati hari sudah gelap. Jalanan hanya “diciprati” lampu neon yang dipasang di beranda beberapa rumah penduduk. Mobil berhenti di samping sebuah rumah besar milik mantan kepala desa setempat. Kami masuk lorong di sampingnya yang gelap, dan sampai di sebuah rumah beratap rendah.
Di sanalah kerinduan Nuryati tumpah di pelukan ibundanya tercinta. Dan, tangis Nuryati pun pecah manakala mendengar barita bahwa Pak Sumadi, bapaknya, ternyata telah meninggal dunia tanpa sempat ia ketahui sebelumnya. Sebuah antiklimaks perjalanan mudik lebaran telah berlangsung.
Kamis, 17 Januari 2008
Trasmigran
Diposting oleh Blog Kenedi Nurhan di 1/17/2008 08:57:00 PM
Label: Perubahan Sosial-Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar