Senin, 14 Januari 2008

Arkeologi

KOMPAS
Jumat, 8 Desember 2000

Situs Prasejarah (2)
MEREKA BERPESTA
DI TEPI KALI BAKSOKA

Oleh Kenedi Nurhan

TENTU saja GHR von Koenigswald tidak sedang bercanda ketika
engajak MWF Tweedie menggelar pesta tujuh hari tujuh malam di tepi
Kali Baksoka, di wilayah Desa Punung, Pacitan, Jawa Timur, 65 tahun
lalu. Konon, niat kurator Museum Raffles dari Singapura tersebut
menggelar pesta besar itu muncul begitu saja, sebagai bentuk
ungkapan kegembiraan Koenigswald setelah menemukan "permata
ilmu" di Kali Baksoka: sebuah situs industri alat-alat batu yang diduga
digunakan oleh manusia prasejarah bernama Homo erectus!

Pesta itu akhirnya memang dilaksanakan. Masyarakat di sekitar
Kali Baksoka pun diajak berbagi kegembiraan, antara lain, dengan
menggelar wayangan dan beberapa jenis kesenian lain. Memang tak
ada catatan mengenai lakon yang dimainkan ketika itu, apalagi
mengenai siapa dalangnya. Tetapi, itu tidaklah penting, karena esensi
dari pesta tersebut adalah semacam rasa syukur, sekaligus luapan
kegembiraan seorang anak manusia yang tiba-tiba merasa
mendapatkan suatu berkah.

Sebagaimana layaknya sebuah pesta, tentu saja "keramaian" ini
juga diiringi acara makan-minum. Bayangkan, tujuh hari tujuh malam
masyarakat di sekitar Kali Baksoka bergembira tanpa mereka paham
untuk apa sesungguhnya kegembiraan itu ditumpahkan. Penduduk di
sana malah heran, karena apa yang ditemukan lelaki londo yang
belakangan mereka kenal sebagai Koenigswald itu tidaklah istimewa.
Cuma bongkahan-bongkahan batu sebesar kepalan tangan, bukan
emas atau jenis harta karun lainnya.

Mereka tidak tahu bahwa batu-batu pipih, runcing, atau sekadar
alat-alat berbentuk serpih-pecah itulah yang kelak membuat nama
Kali Baksoka dikenal luas hingga ke daratan Eropa dan Amerika. Kini,
lebih dari 65 tahun kemudian setelah temuan bersejarah Koenigswald
pada tahun 1935 itu, hampir tak ada ahli prasejarah yang tidak
mengenal situs arkeologi Kali Baksoka khususnya, dan Pacitan
umumnya.

Saking terkenalnya wilayah ini sebagai kawasan hunian prasejarah
yang didominasi peralatan batu dari tradisi paleolitik (kehidupan
tertua dari zaman batu awal--Red), dunia kearkeologian sampai-

sampai melahirkan istilah pacitanian. Istilah yang diambil Koenigswald
dari nama Pacitan--kota terdekat dari lokasi temuan--ini belakangan
menjadi sangat populer di kalangan para ahli prasejarah. Kandungan
artefaknya yang sangat melimpah dan bervariasi, menjadikan
kawasan ini sebagai situs "eponim" untuk paleolitik Indonesia, lebih-
lebih setelah Movius (1944) menghasilkan temuan dan melahirkan
apa yang kemudian disebut tipologi pacitanian.

Padahal, seperti diakui Koenigswald, penemuan situs industri
paleolitik yang disebut-sebut amat spektakuler itu terjadi secara
kebetulan. Kala itu Koenigswald dan para peneliti lain cukup dibuat
pusing oleh kenyataan bahwa di situs Sangiran, Jawa Tengah, yang
merupakan tempat ditemukannya rangka manusia purba

Pithecanthropus (sekarang para ahli lebih cenderung menggunakan
takson Homo erectus) tidak ditemukan sumber bahan baku artefak
yang digunakan manusia purba dari Sangiran.

Koenigswald lalu berasumsi bahwa sumber bahan baku tersebut harus
dicari ke Pegunungan Seribu, karena kawasan ini merupakan hulu dari
Bengawan Solo. Bersama Tweedie ia kemudian mengunjungi daerah
Pegunungan Seribu. Namun, dalam pencarian itu mereka justru

menemukan situs paleolitik baru di Kali Baksoka.

Populer

KALI Baksoka memang populer dan sangat menarik perhatian para
peneliti prasejarah. Nama-nama seperti Helmut de Terra (1943),

Hallam L Movius (1944), Van Heekeren (1972), Teilhard de Chardin
(1974), GJ Bartstra (1976), RP Soejono (1982), dan Basoeki (1989),
seolah datang dan pergi untuk melakukan serangkaian penelitian
di kawasan ini.

Dilihat dari aspek jumlah dan keragaman tinggalan budaya yang
ada, Kali Baksoka memang luar biasa melimpah. "Bayangkan saja, saat
Koenigswald tahun 1935 menemukan situs ini ia bisa mendapatkan alat
batu hingga 200 buah dalam 10 menit. Awal tahun 1970-an, dalam 10
menit kita bisa memperolehnya sekitar 120 buah. Sekarang, hanya
dengan cara mengais-ngais di antara kumpulan batu dan di sisi-sisi
sungai ini, dalam 10 menit kita masih bisa mendapat sekitar 20-30
artefak batu," kata Truman Simanjuntak, ahli prasejarah dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas).

Dengan kata lain, situs Kali Baksoka dengan industri
pacitanian-nya merupakan bukti terpenting dari sisa kehidupan tertua,
terutama bekas hunian yang memberikan data yang lebih lengkap tentang
tipologi peralatan litik, melebihi situs lain di Indonesia. Menurut
Truman, segala tipe peralatan yang pernah ditemukan di berbagai situs
paleolitik lainnya selalu ada di situs Kali Baksoka.

"Kenyataan ini menunjukkan bahwa situs Kali Baksoka merupakan
situs yang tidak hanya kaya dalam kuantitas, tetapi juga memiliki
keragaman melimpah dalam hal kualitas artefaknya," tambahnya.

Akan tetapi, seperti antara lain dikemukakan Bellwood (1985) dari
Australian National University, meski tinggalannya melimpah namun tak
satu pun dari temuan-temuan itu yang dapat dikelompokkan dalam suatu
himpunan yang sezaman. Di samping itu, juga tidak jelas berapa besar
kisaran ukuran yang ada pada suatu periode tertentu. Dengan pernyataan
ini Bellwood sebetulnya ingin mengungkapkan bahwa dari situs ini
tidak bisa dibuat pertanggalan yang relatif bisa dipertanggungjawabkan
tentang masa hunian di kawasan tersebut.

Bartstra yang melakukan penelitian geomorfologis terhadap lapisan
bumi di kawasan ini pun hanya bisa memperkirakan bahwa sisa-sisa
peradaban itu berada antara pleistosen (zaman es) tengah hingga
pleistosen akhir. Meski demikian, menilik temuan-temuan yang telah
dikumpulkan, tampak bahwa rentang waktu huniannya meliputi kurun yang
cukup panjang. Hanya saja, demikian Bartstra, bila ditilik dari
alat-alat batu yang digunakan, maka akan lebih sesuai bila "penghuni"-
nya dikaitkan dengan keberadaan Homo sapiens daripada Homo erectus.

Kesulitan menentukan pertanggalan untuk masing-masing temuan tak
lain karena benda-benda dari berbagai zaman itu sudah bercampur satu
sama lain. Semua umumnya sudah berada di permukaan. Artefak yang yang
telah mengalami transformasi yang panjang dan bercampur dengan
endapan aluvial yang lebih muda di satu sisi, serta belum
ditemukannya sisa manusia bersama industri paleolitik itu di sisi
lain, merupakan faktor penyebab sulitnya mendapatkan kesempatan atas
pertanggalannya.

"Di Kali Baksoka kita bisa dengan mudah menemukan kapak genggam
di permukaan tanah di pinggiran sungai. Dari mana asalnya kita tidak
tahu. Bagi temuan yang sudah tidak insitu, tentu saja timbul
kesulitan untuk memberikan pertanggalan terasnya karena proses erosi
yang kuat menyebabkan kesukaran dalam studi geomorfologi teras," kata
Truman Simanjuntak menjelaskan.

Penelitian intensif

BERANGKAT dari kenyataan ini, Truman yang sejak tahun 1990
memimpin serangkaian penelitian intensif di kawasan Pegunungan Seribu
mulai mengarahkan perhatian ke situs-situs tertutup, seperti gua dan
ceruk di lereng-lereng bukit karst. Penelitian dengan pendekatan
multidisipliner-yang dimotori Bidang Prasejarah Puslit Arkenas
bekerja sama dengan Museum National d'Histoire Naturelle, Perancis-
terhadap situs gua dan ceruk itu didahului eksplorasi ke seluruh
kawasan Pegunungan Seribu, baru kemudian dilanjutkan dengan kegiatan
ekskavasi alias penggalian-penggalian.

Hipotesis dasar yang diyakini Truman adalah; kehidupan prasejarah
yang lengkap hanya bisa ditemukan di gua atau di ceruk-ceruk. Dasar
pemikiran ini sebetulnya sederhana, karena kondisi gua jarang
terjamah oleh aktivitas manusia masa kini, selain juga relatif jauh
dari pengaruh erosi. Dengan demikian, lapisan tanah yang terbentuk
setelah ribuan hingga jutaan tahun berselang-yang menimbun lapisan
budaya hasil aktivitas masyarakat pendukungnya--akan terkonservasi
dengan baik.

"Begitu kita lakukan penggalian, tiap lapisan budaya itu akan
dapat disingkap pertanggalannya dengan agak lebih teliti, karena
lewat benda-benda yang ditinggalkan itu kita dapat mengenali usia
masing-masing lapisan budaya tersebut. Kondi-si demikian tentu saja
sulit ditemukan pada situs-situs alam terbuka, yang selain kerap
dijamah oleh aktivitas manusia juga dipengaruhi kondisi alam," papar
Truman.

Belakangan, hipotesis Truman tadi sedikit demi sedikit mulai
terbukti kebenarannya. Setelah melakukan serangkaian ekskavasi di
situs tertutup seperti Song Keplek, Song Tabuhan, Song Terus (ketiga
gua ini ada di wilayah Desa Punung) dan Gua Braholo di Semugih,
Kecamatan Rongkop, Gunungkidul (DI Yogyakarta), di antara artefak
temuan itu mereka pun menemukan rangka manusia. Lapisan demi lapisan
tanah yang digali juga menampakkan karakteristik budaya dari masa
yang berbeda.

"Berdasarkan hasil penelitian sementara, setelah dilakukan dating
(pertanggalan absolut menggunakan metode C14 dan U-Th--Red) terhadap
sejumlah artefak temuan, diperoleh hasil bahwa lapisan "anthropik" di
situs Song Terus paling tidak sudah ada sejak 180.000 tahun lalu.
Sedangkan lapisan termuda berasal dari sekitar 4.500 tahun lalu,"
kata Dr Francois Semah dari Museum National d'Histoire Naturelle,
Paris, Perancis.

Dalam suatu kunjungan ke lokasi penelitian di Song Terus beberapa
waktu lalu, Kompas sempat turun ke kotak-kotak ekskavasi hingga
kedalaman 15 meter. Dipandu Francois Semah, pada tiap kedalaman
tertentu tampak secara jelas semacam pemisahan antara lapisan budaya
yang satu dengan yang lain. Pada tiap lapisan menyisakan bekas
endapan yang mengandung artefak dan sisa fauna hasil proses
resedimentasi. Di lapisan tengah, misalnya, selain artefak dan sisa
fauna juga ada semacam arang bekas pembakaran yang membentuk garis
tebal membujur mengitari kotak ekskavasi.

"Interpretasi sementara, mungkin saja di masa tertentu pada
puluhan atau ribu tahun lampau pernah terjadi kebakaran hebat yang
menimpa kawasan hutan di Pulau Jawa-khususnya di kawasan Pegunungan
Seribu-lalu abu sisa pembakaran itu menumpuk dan ditimpa oleh
lapisan-lapisan budaya lain," kata Semah.

Fase hunian gua di Song Terus memang menunjukkan fenomena
menarik. Berdasarkan bukti-bukti awal yang diperoleh, tampak bahwa
hunian gua mencapai kedalaman hingga empat meter dari permukaan.
Lapisan selanjutnya merupakan endapan sungai yang mengandung artefak
dan sisa-sisa fauna. Beberapa artefak (meski dalam jumlah yang tak
terlalu menonjol) yang ada di satu lapisan budaya, terkadang
ditemukan juga pada lapisan budaya berikutnya. Namun, secara
kronologis temuan di lapisan "anthrophik" ini berasal dari tiga
periode, di mana masing-masing periode punya kekhasan tersendiri.

Mengamati hasil temuan di Song Terus, lalu dikaitkan dengan
kondisi geografis daerah sekitarnya, Semah mencoba memunculkan teori
yang cukup menarik. Gua ini diibaratkannya seperti tempat pembuangan
"air besar", di mana segala kotoran yang dilepaskan ke kloset lalu
diguyur air, sehingga menumpuk di septic-tank yang tak lain adalah
gua itu sendiri. Pada masa tertentu terjadi semacam pengurasan pada
septic-tank melalui "saluran khusus". Dalam peristiwa alam di Song
Terus, "saluran khusus" itu adalah alur menuju ke sungai bawah tanah
yang diyakininya melintas di bagian bawah Song Terus dan Song
Tabuhan, situs prasejarah lainnya yang berjarak kurang dari 50 meter
ke arah selatan.

"Ini dimungkinkan, karena dari bukti temuan di salah satu bagian
sungai bawah tanah yang muncul ke permukaan, ditemukan sisa-sisa
artefak yang memiliki karakteristik serupa dengan temuan di Song
Terus," kata Semah yang sempat bersama arkeolog muda Dubel Driwantoro
mengikuti alur sungai bawah tanah itu hingga sekitar 500 meter ke
hulu. "Berdasarkan perkiraan, sungai bawah tanah ini memang melintas
di bagian bawah Song Terus dan Song Tabuhan," tambahnya.

Benarkah? Mungkin! Yang pasti, meski sudah seabad kawasan ini
dieksplorasi oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, namun ia
tetap menyisakan lahan luas untuk ladang penelitian...

Tidak ada komentar: