Rabu, 19 Agustus 2009

WILAYAH PERBATASAN

KOMPAS
Jumat, 13 Februari 2009

Daerah Perbatasan
DUNIA LAIN DI SEBERANG SELAT

Oleh Kenedi Nurhan

Mak Sarijah hanya duduk tepekur di kamar hotel tempatnya menginap
di kawasan Geylang, Singapura. Sesekali matanya melirik ke luar
jendela, mengintip keramaian di salah satu sudut kota metropolis
paling atraktif di Asia Tenggara tersebut.

Meski baru pertama kali bertandang ke negara pulau yang berjarak
hanya "sepelemparan batu" dari kampungnya di Keke, Bintan Timur,
Kepulauan Riau, nama Singapura sebetulnya tidak asing bagi Mak
Sarijah (71). Sebab, almarhum suaminya, Muhamad Atan Rahman,
berasal dari Kampung Kurau, Singapura.

Nama besar Singapura sebagai salah satu pusat perniagaan dunia
juga bukan tidak diketahui Mak Sarijah. Semasa suaminya masih hidup,
ia kerap diceritai tentang gemerlap kehidupan kota pulau yang dulu
hanyalah bagian kecil dari wilayah Kesultanan Melayu. Jauh berbeda
dengan denyut perekonomian di kampungnya, juga di Pulau Bintan
pada umumnya, yang tak beringsut dari waktu ke waktu.

Dan, dulu-terutama sebelum tahun 1970-an-tidak sedikit orang
sekampungnya yang "hilir mudik" menyeberang selat hanya berperahu
pancung, berdagang kebutuhan hidup sehari- hari hingga ke Singapura.
Bahkan, banyak di antara mereka adalah para inang, sebutan untuk
perempuan yang ikut terlibat dalam perniagaan rakyat antarpulau di
kawasan Selat Melaka.

Akan tetapi, ketika benar-benar menginjakkan kaki di Singapura,
Mak Sarijah tetap saja terperangah menyaksikan bekas "kampung
halaman" suaminya itu. Padahal, lokasi tempat ia menginap dalam
rangka ikut pentas Makyong di Singapore Arts Festival tersebut
bukanlah kawasan pusat bisnis.

Di seberang hotel memang ada pasar rakyat, Geylang Serai.
Pengunjungnya pun sebagian besar orang Melayu yang bercakap juga
dalam bahasa Melayu. Namun, atmosfer yang dirasakan Mak Sarijah
jauh berbeda dibandingkan saat ia melancong ke pusat kota Tanjung
Pinang sebagai ibu kota Kepulauan Riau atau di Batam sekalipun.

Tikungan sejarah

Membanding-bandingkan kemajuan Singapura-juga Johor Bahru di tepi
Selat Tebrau yang menghadap langsung ke Singapura-dengan capaian
di daerah Kepulauan Riau hanya menyembulkan sedikit rasa iri. Tentu
terlalu berlebihan bila ada yang mengibaratkannya bagai langit dan
bumi, tetapi kesenjangan itu jelas tampak di pelupuk mata.

Betul bahwa Mak Sarijah tidak paham sejarah. Akan tetapi, sedikit
banyak ia kerap mendengar kisah bahwa dulu Singapura bukanlah
apa-apa dibandingkan Bintan. Ketika masih bernama Tumasik, Singapura
hanyalah pulau kecil yang tak berarti dalam lingkup kekuasaan Kesultanan
Melayu, yang pada masa kegemilangannya berpusat di Pulau Bintan dan
Lingga.

Namun, sejarah tak mengenal garis linear. Selalu saja ada tikungan
dalam sejarah peradaban suatu bangsa, yang-ironisnya-kerap
menisbikan kegemilangan masa lampau. Dan, itulah yang terjadi pada
alam Melayu di kawasan Riau kepulauan, di mana kemajuan peradaban
gagal bersanding dengan gerak laju perekonomian masyarakatnya.

Letak geografis yang sangat strategis, berada di Selat Melaka
sebagai "hatinya lautan" (meminjam ungkapan ahli sejarah maritim AB
Lapian) yang mengalirkan semua aktivitas dari Atlantik ke kawasan
Pasifik, Riau kepulauan gagal menangkap momentum sejarah.

Singapura meluncur bagai meteor sebagai tempat transit dalam
perdagangan internasional, sementara Bintan dan Riau kepulauan
pada umumnya hanya jadi penonton.

Menurut catatan Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL), pada pertengahan abad XIX sebetulnya Singapura dan Riau
kepulauan saling berlomba menjadi pusat transit perdagangan dunia.
Semangat yang melapikinya jelas, yakni untuk mengambil keuntungan
ekonomi dari posisi strategis masing-masing yang berada di
bibir "hatinya lautan".

Setelah Traktat London 1824 ditandatangani Inggris dan Belanda-
yang secara sepihak membagi wilayah Kesultanan Melayu menjadi dua:
kawasan Tanah Semenanjung dan Riau kepulauan-keinginan
membangun pelabuhan laut sudah mereka gaungkan.

Inggris yang kemudian membeli Singapura dari Sultan Husein dan
Tumenggung Abdul Rahman sebagai penguasa Kesultanan
Melayu-Johor, dengan imbalanmasing-masing "hanya" 33.200 dan
26.000 ringgit Spanyol, langsung bergerak cepat. Pada 1875, Thomas
Stamford Raffles sebagai penguasa Singapura sudah berhasil mewujudkan
pulau di ujung Tanah Semenanjung itu menjadi pelabuhan besar.

Akan halnya wilayah Riau kepulauan, Residen Netscher yang mewakili
Pemerintah Hindia Belanda ternyata kalah hebat dibandingkan Raffles.
Padahal, saat itu peluang menjadikan Bintan sebagai pelabuhan besar
tempat aktivitas perdagangan dunia terbuka lebar.

Perekonomian dunia sedang membaik. Hasil perkebunan karet, kopra,
dan gambir sebagai komoditas utama kala itu-selain timah, juga
rempah-rempah dari belahan timur Nusantara-pun terus meningkat.

"Bahkan, pada tahun 1870 harga kopra di pasaran dunia naik
sehingga pendapatan melalui cukai diperkirakan dapat membiayai
pembangunan fisik pelabuhan," tutur Sutamat.

Dalam perkembangannya ternyata Bintan kalah bersaing dengan
Singapura. Pelabuhan Bintan di Tanjung Pinang saat ini tak ada apa-
apanya dibandingkan Singapura. Jangan ditanya pelabuhan di Daik,
Lingga, yang dulu juga menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Melayu.
Pelabuhan Jagoh di Daik bahkan cuma untuk berlabuh kapal cepat dari
Bintan dan Batam.

Namun, selalu ada sisi lain yang pantas dikedepankan dari tikungan
sejarah yang suram. Kalah bersaing membangun perekonomian dari
Singapura, bukan penghalang bagi masyarakat Riau kepulauan untuk
maju di bidang lain. Sebagian penduduk di wilayah Kesultanan Melayu
tersebut mengembangkan "keunggulan" di sektor lain, seperti seni
sastra dan budaya.

"Pada masa perekonomian membaik, Singapura mampu membangun
pelabuhan dagang, sedangkan Riau kepulauan berhasil
mengembangkan identitas dirinya melalui kesusastraan dan bahasa
Melayu," tutur Sutamat.

Atau, dalam bahasa sastrawan Taufik Ikram Jamil, "... keunggulan
Singapura dalam bidang ekonomi sama sekali tidak menjatuhkan Riau
dalam kebudayaan Melayu. Pada saat Singapura bangkit dengan
materinya, kehidupan spiritual di Riau marak pula sampai awal abad XX."

Ada rasa bangga dalam pengucapan kata-kata tersebut, namun-diakui
atau tidak-di balik itu terselip pengakuan samar- samar betapa kita
sebagai bangsa gagal memperbaiki keadaan. Ketika abad berganti dan
masing- masing wilayah menjadi negara yang berdaulat, kemajuan di
seberang Selat Melaka itu bagai dunia lain yang jauh dari jangkauan
sebagian besar masyarakat di negeri ini, tak terkecuali mereka yang
tinggal di daerah perbatasan (baca: Riau kepulauan).

Kawasan industri

Bagai ingin mengulang sejarah kejayaan Kesultanan Melayu di masa
lampau, awal 1990-an digalang kerja sama antartiga kawasan:
Singapura-Johor-Riau alias Sijori! Tujuannya sangat ideal, yakni
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sifatnya saling
menguntungkan. Pada saat hampir bersamaan, guna mengejar
ketertinggalan dari Singapura (juga Malaysia), Pemerintah Indonesia
juga mengembangkan Pulau Batam sebagai kawasan industri dengan
penanganan khusus. Sejak itu, Batam pun berkembang pesat sebagai
daerah industri dan pergudangan.

Di belahan lain, persisnya di daerah Sebong Lagoi di Bintan Utara,
juga telah dibangun kawasan wisata terpadu dengan atmosfer serba
Singapura. Bisa dimaklumi, mengingat pengelola kawasan ini umumnya
pengusaha dari negara pulau tersebut. Mereka sudah menjalin kontrak
sewa pakai selam 30 tahun. Namun, informasi dari sejumlah sumber
menyebutkan, sebagian besar kawasan seluas 19.000 hektar itu sudah
disewa para pengusaha dari Singapura untuk 80 tahun ke depan.

Dampak dari kerja sama Sijori memang membuat perekonomian Batam
dan Bintan ikut berdenyut. Hanya saja, seperti terlihat dari neraca
ekspor impor Batam yang selalu negatif, perolehan keuntungan tetap
saja lebih banyak mengalir ke seberang Selat Melaka: Singapura!

"Teori balon" yang pernah diyakini BJ Habibie akan terwujud
terkait pengembangan industri di Batam dan Bintan, yakni suatu ketika
terjadi balon-balon kecil sebagai limpahan dari balon besarnya (baca:
Singapura), sudah hampir 20 tahun ternyata masih sekadar impian.
Masyarakat yang mendiami daerah Riau kepulauan terus menunggu
sekaligus berharap cemas: jangan-jangan justru balon-balon kecil itu
suatu saat akan meletus.

1 komentar:

pak muliadi mengatakan...

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.